Fase perdagangan
Islam masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan di perkirakan abad ke-7 M sampai dengan abad ke-11 M, begitu pula perkembangan Islam. Melalui para pedagang dari luar Indonesia maupun pedagang Indonesia sendiri, Islam disebarkan di pelabuhan-pelabuhan sepanjang jalur perdagangan, misalnya di sekitar selat Malaka, Samudra, Palembang, menyusul Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, serta Indonesia Timur.[1]
Agama Islam tersebar pertama kali di pulau Sumatera kira-kira abad ke-7 M (abad I H).[2] Yang mana disebabkan letak geografinya dan dalam alur pelayaran serta adanya pelabuhan alam yang menjadi persinggahan para pedagang, baik untuk memasarkan atau untuk mencari barang dagangan.
Penyebaran agama Islam di Sumatera secara intensif diperkirakan bersamaan waktunya dengan kemunduran Sriwijaya dan berdirinya Kerajaan-Kerajaan Islam di Perlak dan Samudera Pasai. Proses penyebaran agama Islam di daerah Minangkabau pada akhir abad ke-14 dan 15 M sudah memperoleh pengikut yang amat banyak, sekalipun masih ada hambatan dari penguasa yang masih beragama Hindu. Agama Islam terus menyebar ke daerah-daerah lain sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh suku Batak, Daerah ini di-Indonesiakan oleh orang Aceh. Sedang orang-orang Batak di daerah pesisir banyak yang masuk Islam karena pengaruh orang-orang suku Melayu.[3]
Untuk mengetahui lebih jauh, penduduk daerah pesisir yang secara ekonomi bergantung pada perdagangan Internasional, cenderung menerima Islam dalam rangka mempertahankan para pedagang muslim yang sudah berada di Nusantara sejak kurang lebih abad ke-7 M untuk tetap mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. Dengan masuk islam, penguasa local pada batas tertentu mengadopsi aturan-aturan perdagangan Islam untuk digunakan dalam masyarakat pelabuhan sehingga pada gilirannya akan menciptakan suasana yang mendukung bagi perdagangan. Contoh kasus ini adalah Konversi penguasa Malaka, Prameswara, yang agaknya menerima Islam demi menarik kedatangan para pedagang muslim ke pelabuhannya yang baru di bangun.[4]
Fase perkawinan
Penyebaran agama Islam juga ditempuh melalui perkawinan. Cara ini ditempuh oleh para penyebar sekitar abad ke-11 M sampai dengan abad ke-13 M. Para pedagang Gujarat, Benggala, Arab, dan sebagainya kawin di Indonesia. Karena mereka orang-orang kaya dan terhormat maka mereka memperistri orang-orang terhormat, raja-raja, pejabat-pejabat, dan sebagainya.
Cara ini ternyata cukup strategis, sebab wanita yang dikawin oleh para penyebar Islam itu di Islamkan terlebih dahulu, dan ini merupakan modal pada usaha penyebaran Islam. Sekalipun pendekatan lewat perkawinan ini tidak selalu berhasil, seperti Maulana Ishaq tidak berhasil mengislamkan raja dan rakyat blambangan, tetapi pada umumnya usaha ini banyak dipakai oleh para penyebar Islam maupun oleh para pedagang muslim, dan hasilnya diakui banyak keluarga-keluarga pihak istri yang masuk Islam dan menjadi tulang punggung usaha penyebaran Islam selanjutnya. Dalam cerita babad dikenal perkawinan antaara Sunan Ampel dengan Nyi Gede Manila putri Tumenggung Wilatikta. Sayyid Abdurrahman seorang muslim Arab kawin dengan Putri Raden Ariya Teja putri Aria Dikara (Bupati)Tuban, Sunan Gunung Jati kawin dengan Putri Kawunganten serta Sunan Giri kawin dengan putri Ki Ageng Bungkul penguasa (bangsawan) Majapahit di Surabaya. Banyak pedagang-pedagang muslim yang kawin dengan anak-anak bangsawan atau wanita-wanita rakyat biasa. Usaha ini sering juga didukung dengan keahlian menyembuhkan penyakit , seperti peristiwa Maulana Ishaq sendiri dan Syekh Nuruddin Ibrahim dari Cirebon.[5]
Fese Akulturasi Budaya
Kurang lebih abad ke-12 M sampai dengan abad ke-14 M, cara akulturasi budaya ditempuh untuk memberi kesan adanya persesuaian dan agar masyarakat tidak merasa adanya keterpaksaan dalam memeluk agama Islam. Seperti cara para Sunan wali songo dalam menyebarkan agama Islam melalui seni wayang, lagu-lagu, permainan dan lain sebagainya.
Menjelang masuknya Islam di Indonesia telah ada kebudayaan baru hasil akulturasi antara budaya Indonesia dan budaya Hindu, yaitu melalui Akulturasi kebudayaan. Setelah islam masuk dengan nilai-nilai budaya maka terjadi lagi akulturasi kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Islam. Akhirnya, lahirlah corak kebudayaan baru dalam kebudayaan Indonesia.
Segi bangunan, terutama sekali dalam bentuk bangunan masjid dengan corak baru beratap tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil. Jumlah susunannyua ganjil, tiga ada juga yang lima. Di Bali atap tumpang masih di pakai untuk kuil corak baru pada bangunan masjid pada jaman Madya adalah tudak adanya menara (kecuali masjid Kudus dan masjid Banten).[6]
Segi makam, dalam perkembangannya bentuk makam islam masih terpengaruh pola lama sebelum Islam, yaitu terletak pada tempat yang dianggap suci, agak tinggi atau kalau di tempat yang latar diberi undak-undak seperti punden berundak di jaman pra sejarah. Makam biasanya diberi cungkup (rumah), bagaikan menggantikan funsi candi dimasa sebelum Islam dalam makam yang baru biasanya diberi atau dilengkapi masjid.
Fase Kerajaan
Pada abad ke-13 M, di pesisir aceh sudah ada pemukiman muslim. Persentuhan antara penduduk pribumi dengan pedagang muslim daari Arab, Persia, dan India memang pertama kali terjadi di daerah ini. Karena itu, proses Islamisasi sudah berlangsung sejak persentuhan itu terjadi. Dengan demikian, kerajaan Islam pertama berdiri di Kepulauan Nusantara di Aceh. Kerajaan Samudera Pasai berdiri pada Abad ke-13 M. Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke-15 M, di daerah ini lahir Kerajaan Islam yang kedua di Asia Tenggara. Kerajaan ini cepat berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari kerajaan Samudra Pasai yang kalah bersaing.[7]
Dapat diketahui bahwa daerah-daerah di bagian pesisir Sumatera Utara dan Timur selat Malaka, yaitu dari Aceh sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat dan Kerajaan-kerajaan Islam. Sementara di Jawa, proses Islamisasi sudah berlangsung, sejak Abad ke-11 M, meskipun belum meluas, terbukti dengan diketemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 Hijriyah.
Berita tentang Islam di Jawa pada Abad ke-11 M memang masih langka. Akan tetapi, sejak akhir Abad ke-13 M dan abad-abad berikutnya, terutama ketika majapahit mencapai puncaknya, bukti-bukti adanya proses Islamisasi sudah banyak, dapat ditemukannya beberapa puluh nisan kubur di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Bahkan di pusat Majapahit maupun di pesisir, terutama di kota-kota pelabuhan, telah terjadi proses Islamisasi dan sudah pula terbentuk masyarakat muslim.
Fase para dewan wali sembilan (songo)
Banyak cerita tradisional mengenai para wali, yaitu orang yang saleh yang diduga telah menyebarkan agama Islam di Jawa. Dikisahkan kehidupan, mukjizat, dan keyakinan mereka dibidang mistik Islam dan Teologi. Wali-wali di Jawa kabarnya berpusat di masjid Demak, masjid yang mereka dirikan bersama. Disitulah mereka agaknya mengadakan pertemuan untuk bertukar pikiran tentang pengembangan ajaran agama Islam di Jawa.[8] disamping oleh para pedagang penyebaran agama Islam juga dilakukan oleh para wali atau utusan dengan melakukan dakwah-dakwah (sekitar awal Abad ke-15 M). Selain para wali memiliki pengetahaun tentang agama Islam, Ia juga dianggap memiliki pengetahuan tentang ilmu mujizat (ajaib atau yang dapat menimbulkan keheranan).
Wali yang sembilan adalah dipercayai oleh orang Jawa sebagai peletak dasar batu pertama ditanah Jawa. Meskipun pribadi para wali itu sudah di selimuti oleh berbagai dongeng, namun cerita-cerita dongeng tersebut banyak memberikan pertolongan kepada kita didalam membuktikan bahwasannya meskipun telah menerima Islam, orang Jawa belum sampai hati membuang sama sekali sisa-sisa dari pada kepercayaan yang lama.[9]
Adapun para wali tersebut adalah :[10]
1) Maulana Malik Ibrahim, disebut juga Maulana Magribi atau jumadil kubro yang kabarnya berasal dari Persia dan kemudian berkedudukan di Gresik.
2) Sunan Ampel, yang semula bernama Raden Rahmat berkedudukan di Ampel dekat Surabaya.
3) Sunan Bonang, yang semula bernama Makdum Ibrahim, putra Raden Rahmat dan berkedudukan di Bonang, dekat Tuban
4) Sunan Drajat, yang semula bernama Munat yang merupakan anak dari Raden Rahmat berkedudukan di Drajat dekat Sedayu, Surabaya.
5) Sunan Giri, yang semula bernama Raden Paku, murid Sunan Ngampel berkedudukan di bukit Giri dekat Gresik.
6) Sunan Muria, yang berkedudukan di Gunung Muria di daerah Kudus.
7) Sunan Kudus yang semula bernama Udung berkedudukan di Kudus.
8) Sunan Kalijaga, yang semula bernama Joko Said berkedudukan di Kadilangu dekat Demak
9) Sunan Gunung Jati, yang semula bernama Fatahilah atau Faletehan yang berasal dari Samudera Pasai dapat merebut Sunda Kelapa, Banten dan kemudian menetap di Gunung Jati dekat Cirebon.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, 2002, Jaringan Global dan Lokal Islam, Jakarta: Mizan
H.J. De Graaf dan Th. Pigeaud, 2001, Kerajaan Islam Pertama Di Jawa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Syamsudduha, 1987, Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik, Protestan di Indonesia, Surabaya : Usaha Nasional
Waridah Siti, 2001, Sejarah Nasional dan Umum, Yogyakarta: Bumi Aksara. Cet. 1
Yatim Badri, 2000, Sejarah Peradapan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hamka, 1981, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta: Bulan Bintang
CATATAN KAKI
[1] Siti Waridah dkk, Sejarah Nasional dan Umum SMU.(Yogyakarta: Bumi Aksara,2001) hal. 125
[2] Dr. Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam.(Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 2000) Hal. 191 dan Menurut seminar yang ada di Medan tahun 1963, telah menetapkan rumusan-rumusan yang antara lain menyatakan bahwa islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah (abad ke-7 M)
[3] Jamsudduha.Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik, Protestan di Indonesia.(Surabaya : Usaha Nasional, 1987) hal. 23
[4] Azyumardi Azra,Jaringan Global dan Lokal Islam.(Jakarta : Mizan, 2006) hal : 19
[5] Ibid, hal : 28
[6] Siti Waridah dkk.Sejarah Nasional dan Umum.(Yogya : Bumi Aksara,2001) Hal. 129
[7] Dr. Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam.(Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 2000) Hal. 196
[8] H.J. De Graff dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam pertama di Jawa.(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2001) hal. 31
[9] Siti Waridah dkk. Op. cit, hal 135
[10] Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam IV (Jakarta : Bulan Bintang, 1981) hal. 135
Islam masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan di perkirakan abad ke-7 M sampai dengan abad ke-11 M, begitu pula perkembangan Islam. Melalui para pedagang dari luar Indonesia maupun pedagang Indonesia sendiri, Islam disebarkan di pelabuhan-pelabuhan sepanjang jalur perdagangan, misalnya di sekitar selat Malaka, Samudra, Palembang, menyusul Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, serta Indonesia Timur.[1]
Agama Islam tersebar pertama kali di pulau Sumatera kira-kira abad ke-7 M (abad I H).[2] Yang mana disebabkan letak geografinya dan dalam alur pelayaran serta adanya pelabuhan alam yang menjadi persinggahan para pedagang, baik untuk memasarkan atau untuk mencari barang dagangan.
Penyebaran agama Islam di Sumatera secara intensif diperkirakan bersamaan waktunya dengan kemunduran Sriwijaya dan berdirinya Kerajaan-Kerajaan Islam di Perlak dan Samudera Pasai. Proses penyebaran agama Islam di daerah Minangkabau pada akhir abad ke-14 dan 15 M sudah memperoleh pengikut yang amat banyak, sekalipun masih ada hambatan dari penguasa yang masih beragama Hindu. Agama Islam terus menyebar ke daerah-daerah lain sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh suku Batak, Daerah ini di-Indonesiakan oleh orang Aceh. Sedang orang-orang Batak di daerah pesisir banyak yang masuk Islam karena pengaruh orang-orang suku Melayu.[3]
Untuk mengetahui lebih jauh, penduduk daerah pesisir yang secara ekonomi bergantung pada perdagangan Internasional, cenderung menerima Islam dalam rangka mempertahankan para pedagang muslim yang sudah berada di Nusantara sejak kurang lebih abad ke-7 M untuk tetap mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. Dengan masuk islam, penguasa local pada batas tertentu mengadopsi aturan-aturan perdagangan Islam untuk digunakan dalam masyarakat pelabuhan sehingga pada gilirannya akan menciptakan suasana yang mendukung bagi perdagangan. Contoh kasus ini adalah Konversi penguasa Malaka, Prameswara, yang agaknya menerima Islam demi menarik kedatangan para pedagang muslim ke pelabuhannya yang baru di bangun.[4]
Fase perkawinan
Penyebaran agama Islam juga ditempuh melalui perkawinan. Cara ini ditempuh oleh para penyebar sekitar abad ke-11 M sampai dengan abad ke-13 M. Para pedagang Gujarat, Benggala, Arab, dan sebagainya kawin di Indonesia. Karena mereka orang-orang kaya dan terhormat maka mereka memperistri orang-orang terhormat, raja-raja, pejabat-pejabat, dan sebagainya.
Cara ini ternyata cukup strategis, sebab wanita yang dikawin oleh para penyebar Islam itu di Islamkan terlebih dahulu, dan ini merupakan modal pada usaha penyebaran Islam. Sekalipun pendekatan lewat perkawinan ini tidak selalu berhasil, seperti Maulana Ishaq tidak berhasil mengislamkan raja dan rakyat blambangan, tetapi pada umumnya usaha ini banyak dipakai oleh para penyebar Islam maupun oleh para pedagang muslim, dan hasilnya diakui banyak keluarga-keluarga pihak istri yang masuk Islam dan menjadi tulang punggung usaha penyebaran Islam selanjutnya. Dalam cerita babad dikenal perkawinan antaara Sunan Ampel dengan Nyi Gede Manila putri Tumenggung Wilatikta. Sayyid Abdurrahman seorang muslim Arab kawin dengan Putri Raden Ariya Teja putri Aria Dikara (Bupati)Tuban, Sunan Gunung Jati kawin dengan Putri Kawunganten serta Sunan Giri kawin dengan putri Ki Ageng Bungkul penguasa (bangsawan) Majapahit di Surabaya. Banyak pedagang-pedagang muslim yang kawin dengan anak-anak bangsawan atau wanita-wanita rakyat biasa. Usaha ini sering juga didukung dengan keahlian menyembuhkan penyakit , seperti peristiwa Maulana Ishaq sendiri dan Syekh Nuruddin Ibrahim dari Cirebon.[5]
Fese Akulturasi Budaya
Kurang lebih abad ke-12 M sampai dengan abad ke-14 M, cara akulturasi budaya ditempuh untuk memberi kesan adanya persesuaian dan agar masyarakat tidak merasa adanya keterpaksaan dalam memeluk agama Islam. Seperti cara para Sunan wali songo dalam menyebarkan agama Islam melalui seni wayang, lagu-lagu, permainan dan lain sebagainya.
Menjelang masuknya Islam di Indonesia telah ada kebudayaan baru hasil akulturasi antara budaya Indonesia dan budaya Hindu, yaitu melalui Akulturasi kebudayaan. Setelah islam masuk dengan nilai-nilai budaya maka terjadi lagi akulturasi kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Islam. Akhirnya, lahirlah corak kebudayaan baru dalam kebudayaan Indonesia.
Segi bangunan, terutama sekali dalam bentuk bangunan masjid dengan corak baru beratap tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil. Jumlah susunannyua ganjil, tiga ada juga yang lima. Di Bali atap tumpang masih di pakai untuk kuil corak baru pada bangunan masjid pada jaman Madya adalah tudak adanya menara (kecuali masjid Kudus dan masjid Banten).[6]
Segi makam, dalam perkembangannya bentuk makam islam masih terpengaruh pola lama sebelum Islam, yaitu terletak pada tempat yang dianggap suci, agak tinggi atau kalau di tempat yang latar diberi undak-undak seperti punden berundak di jaman pra sejarah. Makam biasanya diberi cungkup (rumah), bagaikan menggantikan funsi candi dimasa sebelum Islam dalam makam yang baru biasanya diberi atau dilengkapi masjid.
Fase Kerajaan
Pada abad ke-13 M, di pesisir aceh sudah ada pemukiman muslim. Persentuhan antara penduduk pribumi dengan pedagang muslim daari Arab, Persia, dan India memang pertama kali terjadi di daerah ini. Karena itu, proses Islamisasi sudah berlangsung sejak persentuhan itu terjadi. Dengan demikian, kerajaan Islam pertama berdiri di Kepulauan Nusantara di Aceh. Kerajaan Samudera Pasai berdiri pada Abad ke-13 M. Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke-15 M, di daerah ini lahir Kerajaan Islam yang kedua di Asia Tenggara. Kerajaan ini cepat berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari kerajaan Samudra Pasai yang kalah bersaing.[7]
Dapat diketahui bahwa daerah-daerah di bagian pesisir Sumatera Utara dan Timur selat Malaka, yaitu dari Aceh sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat dan Kerajaan-kerajaan Islam. Sementara di Jawa, proses Islamisasi sudah berlangsung, sejak Abad ke-11 M, meskipun belum meluas, terbukti dengan diketemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 Hijriyah.
Berita tentang Islam di Jawa pada Abad ke-11 M memang masih langka. Akan tetapi, sejak akhir Abad ke-13 M dan abad-abad berikutnya, terutama ketika majapahit mencapai puncaknya, bukti-bukti adanya proses Islamisasi sudah banyak, dapat ditemukannya beberapa puluh nisan kubur di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Bahkan di pusat Majapahit maupun di pesisir, terutama di kota-kota pelabuhan, telah terjadi proses Islamisasi dan sudah pula terbentuk masyarakat muslim.
Fase para dewan wali sembilan (songo)
Banyak cerita tradisional mengenai para wali, yaitu orang yang saleh yang diduga telah menyebarkan agama Islam di Jawa. Dikisahkan kehidupan, mukjizat, dan keyakinan mereka dibidang mistik Islam dan Teologi. Wali-wali di Jawa kabarnya berpusat di masjid Demak, masjid yang mereka dirikan bersama. Disitulah mereka agaknya mengadakan pertemuan untuk bertukar pikiran tentang pengembangan ajaran agama Islam di Jawa.[8] disamping oleh para pedagang penyebaran agama Islam juga dilakukan oleh para wali atau utusan dengan melakukan dakwah-dakwah (sekitar awal Abad ke-15 M). Selain para wali memiliki pengetahaun tentang agama Islam, Ia juga dianggap memiliki pengetahuan tentang ilmu mujizat (ajaib atau yang dapat menimbulkan keheranan).
Wali yang sembilan adalah dipercayai oleh orang Jawa sebagai peletak dasar batu pertama ditanah Jawa. Meskipun pribadi para wali itu sudah di selimuti oleh berbagai dongeng, namun cerita-cerita dongeng tersebut banyak memberikan pertolongan kepada kita didalam membuktikan bahwasannya meskipun telah menerima Islam, orang Jawa belum sampai hati membuang sama sekali sisa-sisa dari pada kepercayaan yang lama.[9]
Adapun para wali tersebut adalah :[10]
1) Maulana Malik Ibrahim, disebut juga Maulana Magribi atau jumadil kubro yang kabarnya berasal dari Persia dan kemudian berkedudukan di Gresik.
2) Sunan Ampel, yang semula bernama Raden Rahmat berkedudukan di Ampel dekat Surabaya.
3) Sunan Bonang, yang semula bernama Makdum Ibrahim, putra Raden Rahmat dan berkedudukan di Bonang, dekat Tuban
4) Sunan Drajat, yang semula bernama Munat yang merupakan anak dari Raden Rahmat berkedudukan di Drajat dekat Sedayu, Surabaya.
5) Sunan Giri, yang semula bernama Raden Paku, murid Sunan Ngampel berkedudukan di bukit Giri dekat Gresik.
6) Sunan Muria, yang berkedudukan di Gunung Muria di daerah Kudus.
7) Sunan Kudus yang semula bernama Udung berkedudukan di Kudus.
8) Sunan Kalijaga, yang semula bernama Joko Said berkedudukan di Kadilangu dekat Demak
9) Sunan Gunung Jati, yang semula bernama Fatahilah atau Faletehan yang berasal dari Samudera Pasai dapat merebut Sunda Kelapa, Banten dan kemudian menetap di Gunung Jati dekat Cirebon.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, 2002, Jaringan Global dan Lokal Islam, Jakarta: Mizan
H.J. De Graaf dan Th. Pigeaud, 2001, Kerajaan Islam Pertama Di Jawa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Syamsudduha, 1987, Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik, Protestan di Indonesia, Surabaya : Usaha Nasional
Waridah Siti, 2001, Sejarah Nasional dan Umum, Yogyakarta: Bumi Aksara. Cet. 1
Yatim Badri, 2000, Sejarah Peradapan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hamka, 1981, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta: Bulan Bintang
CATATAN KAKI
[1] Siti Waridah dkk, Sejarah Nasional dan Umum SMU.(Yogyakarta: Bumi Aksara,2001) hal. 125
[2] Dr. Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam.(Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 2000) Hal. 191 dan Menurut seminar yang ada di Medan tahun 1963, telah menetapkan rumusan-rumusan yang antara lain menyatakan bahwa islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah (abad ke-7 M)
[3] Jamsudduha.Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik, Protestan di Indonesia.(Surabaya : Usaha Nasional, 1987) hal. 23
[4] Azyumardi Azra,Jaringan Global dan Lokal Islam.(Jakarta : Mizan, 2006) hal : 19
[5] Ibid, hal : 28
[6] Siti Waridah dkk.Sejarah Nasional dan Umum.(Yogya : Bumi Aksara,2001) Hal. 129
[7] Dr. Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam.(Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 2000) Hal. 196
[8] H.J. De Graff dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam pertama di Jawa.(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2001) hal. 31
[9] Siti Waridah dkk. Op. cit, hal 135
[10] Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam IV (Jakarta : Bulan Bintang, 1981) hal. 135
ada asal mula dari segi bangunan g gan ?
ReplyDelete