Upaya Meningkatkan Kedisiplinan Remaja Di Tingkat Sekolah Menengah Ke Atas Menurut Teori Perkembangan Moral Hurlock

Justify Full
Merasakan Adanya Masalah
Saat ini kebiasaan tidak disiplin telah banyak terjadi dikalangan pelajar terutama di lingkungan sekolah menengah ke atas (SMA). Salah satunya yaitu kebiasaan membolos yang tidak asing lagi bagi mereka. Pada remaja tertentu membolos ini malah menjadi rutinitas disebagian hari efektif sekolah. Seperti halnya yang terjadi pada kasus di Kediri.

Pada pertengahan bulan Desember 2007 tim gabungan Polresta Kediri mengadakan razia pelajar yang membolos. Sasarannya adalah tempat wisata dan pusat perbelanjaan. Razia yang dimulai sejak pagi tersebut berhasil menjaring enam orang pelajar yang terbukti membolos. Sebagian dari mereka tertangkap saat bermain play station dan beberapa yang lain sedang bersantai-santai di sejumlah warung. Keenam pelajar tersebut langsung dibawa ke Mapolresta Kediri untuk mendapat pembinaan.

Kasus diatas merupakan salah satu contoh ketidak disiplinan remaja pada saat ini. Berbohong, melakukan kecurangan, mencuri dan merusak merupakan beberapa contoh lain dari ketidakpatuhan dan ketidakdisiplinan yang marak dikalangan pelajar SMA. Meskipun ketidakdisiplinan dan ketidakpatuhan sebagai bentuk perilaku buruk yang sengaja dilakukan tersebut terkesan tidak begitu serius, namun jika tidak segera tidak ditemukan penyelesaiannya maka kebiasaan tersebut akan berlanjut hingga usia dewasa.

Eksplorasi atau Analisis Masalah
Adapun penyebab-penyebab perilaku tidak disiplin dikalangan remaja diantaranya: Tidak menyukai sekolah, nilai-nilai buruk, kurangnya penerimaan teman-teman sebaya, tidak naik kelas, dan hukuman karena perilaku yang salah.

1. Perasaan tidak suka terhadap sekolah. Perasaan ini mungkin muncul akibat kebosanan terhadap rutinitas sekolah atau memang sejak awal seorang remaja tersebut merasa tidak nyaman belajar di sekolah tersebut. Perasaan inilah yang membuat pelajar itu malas pergi sekolah dan memutuskan untuk membolos.
2. Nilai-nilai buruk. Merasa malu dikarenakan nilai-nilain yang buruk maka seorang remaja bisa saja membolos. Nilai buruk pada salah satu mata pelajaran kadang juga membuat mereka putus asa sehingga dia pikir tak ada gunanya untuk terus mengikuti pelajaran tersebut dan mungkin mereka lebih memilih pergi ketempat kesukaannya.
3. Tidak naik kelas. Predikat sebagai “siswa tidak naik kelas” akan sangat mengganggu perasaan beberapa remaja tertentu. Hal itu wajar terjadi karena disaat remaja menjalani masa peralihan dimana dirinya ingin selalu diperhatikan, sebaliknya dia malah akan merasa diremehkan dengan tidak naik kelas. Oleh karena itulah pelajar yang tidak naik kelas itu cenderung tidak disiplin di sekolahnya.
4. Kurangnya penerimaan teman-teman sebaya. Saat memasuki masa remaja, seorang anak lebih senang menghabiskan waktu bersama teman-teman sebayanya daripada hanya bersama keluarga di rumah. Ketika remaja tersebut kurang diterima dalam pergaulannya di sekolah, maka mereka akan merasa bosan dan kesepian sehingga mereka lebih nyaman berada di lingkungan sekolah, bahkan saat pelajaran masih berlangsung.
5. Hukuman karena perilaku yang salah. Hukuman atas perilaku yang salah, selain berfungsi sebagai alat mencegah dan mendidik, juga bertujuan untuk memberikan motivasi. Namun bagi sebagian besar remaja, hukuman ini hanya akan membuat mereka tidak respect terhadap pemberi hukuman. Apabila yang menghukum tersebut dari pihak sekolah, maka untuk menghindarinya remaja seringkali membolos.

Penyajian Masalah
Masalah kurangnya kedisiplinan pelajar usia SMA ini patut mendapatkan perhatian yang lebih serius walau keberadaannya selama ini banyak di anggap remeh. Karena ketidakdisiplinan merupakan salah satu indikator kurang berkembangnya aspek moral pada remaja, maka penyelesaiannya juga akan membahas tentang tumbuh kembang moral remaja usia SMA.

Dalam hal ini masalah ketidakdisiplinan akan dituntaskan menurut teori perkembangan moral Hurlock. Dengan mengetahui letak perkembangan moral remaja menurut Hurlock, maka akan diketahui pula cara menanamkan disiplin remaja SMA sebagai salah satu aspeknya.

Pemecahan Masalah
Menurut teori perkembangan moral Hurlock, para pelajar SMA yang tengah berada masa remaja menduduki fase kedua yaitu perkembangan konsep moral. Pada waktu anak mencapai remaja, kode moralnya sudah agak terbentuk, walaupun mereka masih akan berubah bila harus tunduk pada tekanan sosial yang kuat. Bila perubahan terjadi, perubahan ini biasanya melibatkan pergeseran dalam penekanan. Pergeseran ini umumnya menjurus ke arah moralitas konvensional atau moralitas kelompok sosial orang dewasa.(E.B.Hurlock,1987 )

Di tengah-tengah terbentuknya kode moral tersebut, remaja kadang kala melakukan pelanggaran-pelanggaran misalnya dalam hal kedisiplinan. Hal itu wajar terjadi karena kode moral belum terbentuk secara matang dan masih mengalami perkembangan kearah kedewasaan. Namun, pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak serta merta hilang dengan sendirinya tanpa pengarahan nilai moral pada pelaku pelanggaran.

Salah satu contoh pelanggaran nilai moral yang dibahas disini adalah masalah ketidakdisiplinan remaja tingkat sekolah menengah ke atas (SMA).

Disiplin merupakan sikap perilaku yang terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan seseorang terhadap lingkungan. Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah keluarga, sekolah (pendidikan formal) dan masyarakat, serta implementasi dari sikap disiplin pun berlaku di lingkungan-lingkungan tersebut. Disiplin selalu dianggap perlu bagi perkembangan anak karena ia memenuhi beberapa kebutuhan yaitu rasa percaya diri, motivasi, kebahagiaan, dan pengendalian perilaku. Adapun unsur-unsur disiplin mencakup beberapa hal pokok diantaranya peraturan, konsistensi tehadap peraturan tersebut, hukuman, dan penghargaan.(E.B.Hurlock,1987 )

Melihat pentingnya disiplin sebagai salah satu aspek pembentukan moral remaja maka di bawah ini akan diterangkan beberapa cara menanamkan disiplin pada remaja menurut teori perkembangan moral Hurlock.

Cara-cara Menanamkan Disiplin
Pertama, yaitu cara mendisiplin otoriter. Peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang diinginkan menandai semua jenis disiplin yang otoriter. Tekniknya mencakup hukuman yang berat bila terjadi pelanggaran, sama sekali tidak adanya persetujuan, pujian atau tanda-tanda bila anak memenuhi standar yang diharapkan atau melakukan perbuatan yang dianggap baik. Disiplin otoriter berkisar antara pengendalian perilaku yang wajar hingga yang kaku yang tidak memberikan kebebasan bertindak, kecuali yang sesuai dengan standar yang ditentukan. Disiplin otoriter selalu berarti mengendalikan melalui kekuatan dalam bentuk hukuman terutama hukuman badan. Dalam keluarga dengan cara disiplin otoriter yang lebih wajar anak tetap dibatasi dalam tindakan mereka, dan keputusan-keputusan diambil oleh orang tua. Namun keinginan mereka tidak seluruhnya diabaikan, dan pembatasan yang kurang beralasan, misalnya larangan melakukan apa yang dilakukan oleh teman sebaya.

Kedua, cara mendisiplin yang permisif. Disiplin permisif sebetulnya berarti sedikit disiplin atau tidak berdisiplin. Biasanya disiplin permisif tidak membimbing anak ke perilaku yang tidak sesuai dengan norma masyarakat yang berlaku dan tidak menggunakan hukuman. Bagi orang tua, disiplin permisif merupakan protes terhadap disiplin yang kaku dan keras pada masa anak-anak mereka sendiri. Dalam hal seperti itu anak-anak sering tidak diberi batas-batas atau kendala yang mengatur apa saja yang boleh dilakukan, mereka diizinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat sekehendak mereka sendiri.

Ketiga, cara mendisiplin demokratis. Metode demokratis menggunakan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak mengerti apa perilaku tertentu diharapkan. Metode ini lebih menekankan aspek edukatif dari disiplin daripada aspek hukumannya. Disiplin demokratis menggunakan hukuman dan penghargaan, dengan menekankan yang lebih besar terhadap penghargaan. Hukuman tidak pernah keras dan biasanya tidak berbentuk hukuman badan. Hukuman hanya akan digunakan bila terdapat bukti bila anak secara sadar menolak melakukan apa yang diajarkan. Bila perilaku anak memenuhi perilaku yang diharapkan, orang tua yang demokratis akan menghargainya dengan pujian atau pernyataan persetujuan yang lain. Falsafah yang mendasari disiplin demokratis ini adalah falsafah bahwa disiplin bertujuan mengajar anak mengembangkan kendali atas perilaku mereka sendiri sehingga mereka akan melakukan apa yang benar, meskipun tidak ada penjaga yang mengancam mereka dengan hukuman bila mereka melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan.

Di antara ketiga cara mendisiplin tersebut, cara mendisiplin yang tepat bagi remaja tingkat SMA pada umumnya adalah cara ketiga yaitu cara mendisiplin demokratis. Cara tersebut dirasa paling sesuai karena untuk membentuk kematangan pada moral remaja, cara ini mengandung kekuatan dari dua cara lainnya dan menghilangkan kelemahan-kelemahannya. Kekuatan tersebut terletak pada pengutamaan aspek pendidikan dan penghargaan daripada hukuman. Hal itu sesuai dengan perkembangan remaja yang pada fase perkembangan konsep moral itu mereka mulai terbentuk kode moralnya, sehingga hanya perlu diberi kesempatan untuk mengerti tentang perilaku-perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sekitarnya baik lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

Refleksi Terhadap Proses dan Hasil Pemecahan
Dalam perkembangan moral remaja, terdapat satu aspek yang menemui permasalahannya pada saat ini, terutama yang terjadi di kalangan remaja SMA. Masalah tersebut berkenaan dengan masalah kedisiplinan baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Salah satu contoh kecil dari masalah ketidakdisiplinan pelajar SMA tersebut adalah membolos. Banyak orang menilai bahwa masalah letidakdisiplinan itu adalah masalah kecil, namun menurut Jensen (1985), membolos merupakan salah satu dari kenakalan remaja dalam kategori melawan status. Menurut Jensen, perilaku-perilaku mereka memang belum melanggar hukum dalam arti yang sesungguhnya karena yang dilanggar adalah status-status dalam lingkungan primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang memang tidak diatur oleh hukum secara terinci. Akan tetapi, kalau kelak remaja ini dewasa, pelanggaran status ini dapat dilakukannya terhadap atasannya di kantor atau petugas hukum di dalam masyarakat. Karena itulah pelanggaran status ini oleh Jensen digolongkan juga sebagai kenakalan dan bukan sekedar perilaku menyimpang.(S.W.Sarwono, 2006)

Selain menurut teori Hurlock, permasalahan ini juga bisa dicermati menurut teori perkembangan moral Piaget. Menurut Piaget, remaja tengah memasuki tahap kedua perkembangan moral yaitu tahap moralitas otonomi yang bertepatan dengan “tahapan operasional formal” pada perkembangan kognitif. Tatkala anak mempertimbangkan semua cara yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu dan dapat bernalar atas dasar hipotesis dan dalil. Ini memungkinkan anak untuk melihat masalahnya dari berbagai sudut pandangan dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk memecahkannya. (E.B.Hurlock, 1987 ) Dengan kemampuan bernalar ini, maka seorang remaja bisa mulai bernalar masalah pentingnya moral dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam hal kedisiplinan. Sehingga dengan cara mendisiplin demokratis, remaja SMA diharapkan dapat mempunyai kesadaran terhadap pentingnya kedisiplinan tersebut guna mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan kecenderungan untuk tidak disiplin (membolos).

DAFTAR PUSTAKA
B. Hurlock, Elizabeth. 1987. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga
Wirawan Sarwono, Sarlito. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Rafindo Persada
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Aneka Cipta

1 comment: