BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan bahan renungan yang amat berharga, terutama sekali bagi kaum Muslim Indonesia. Sejak zaman prakebangkitan nasional, disusul lagi dengan zaman pergerakan merintis kemerdekaan hingga era Revolusi Fisik, selalu ditemukan orang-orang yang berani mempertaruhkan jiwa dan raga untuk bangsa dan negaranya. Dengan menyimak sejarah itu, ternyata yang menjadi tulang punggung perjuangan bangsa adalah orang-orang yang tidak hanya berkemampuan pemikiran intelektual, melainkan cenderung pada manusia-manusia takwa. Kesadaran mereka sebagai hamba Allah Tuhan Yang Mahaesa, mampu menjadikannya ikhlas berkorban. Mereka tidak memperhitungkan untung rugi secara matematis maupun ekonomis, melainkan penghayatan dan pengamalan terhadap tuntutan agamanya secara intensif yang membuatnya ikhlas berkorban.
Dalam hal ini, para ulama dan para kyai mempunyai pengaruh yang sangat besar. Terlebih karena sifat pendidikan agama di pesantren, pondok atau madrasah yang mengarah pada orientasi vertical kalangan santri kepada para gurunya – yanga dalam filosofis diartikan harus di “gugu” dan di ”tiru” – menyebabkan pengaruh kewibawaan para ulama dan kyai sangat besar. Karena itulah, dlam menjangkau perspektif pembangunan politik di Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya, para ulama sangat berperan.
Peranan itu tentu saja mulai dimainkan sejak Islam diajarkan di seluruh tanah air, hingga sampai melewati masa penjajahan oleh bangsa asing. Pada masa penjajahan itulah, para ulama mulai memainkan peranan multifungsi, tidak hanya dalam bidang pengajaran ilmu agama, melainkan juga dalam bidang politik dan militer. Walaupun pada dasarnya peranan dalam bidang politik dan pendidikan ini telah dijalankan pada masa kerajaan-kerajaan Islam dahulu, namun perjuangan itu selalu berkembang dalam segala bidang seiring dengan tuntutan kondisi dan situasi. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk mengulas sedikit tentang peranan ulama dalam melawan penjajahan di Indonesia yang tentu saja tidak sedikit mendapat ancaman dari pihak penjajah dengan berbagai usahanya.
2. RUMUSAN MASALAH
Apa saja peranan ulama dalam usaha melawan pengaruh penjajahan di Indonesia?
Apa usaha pihak penjajah Belanda dan Jepang dalam menghadapi kekuatan umat Islam di masa pendudukannya?
3. TUJUAN
Mengetahui peranan ulama dalam usaha melawan pengaruh penjajahan di Indonesia.
Mengetahui usaha-usaha pihak penjajah Belanda dan Jepang dalam menghadapi kekuatan umat Islam di masa pendudukannya.
PEMBAHASAN
1. Peranan Ulama dalam Usaha Melawan Pengaruh Penjajahan di Indonesia
Masuknya agama Islam ke Indonesia memberikan pengaruh yang mengakibatkan munculnya kelompok baru yang disebut ulama dan santri, yang kemudian oleh penguasa asing ingin dijauhkan dari pengaruh politik. 1
Pandangan dan cara hidup Islam yang memunculkan ulama dengan pesantrennya, dinyatakan tidak hanya dengan mengadakan perubahan sosial saja, tetapi lebih cenderung menumbuhkan revolusi sosial sebagai perubahan yang radikal dan meluas yang berdasar pada perubahan sikap mental. Arus perubahan seperti ini pada gilirannya mendapatkan tantangan baru, yakni adanya agresi perdagangan dan agama yang dilancarkan oleh imperialis Barat.2 Menjawab tantangan ini, para ulama bekerja keras untuk membina santri-santrinya agar memiliki sikap combative spirit (semangat siap tempur). Pesantren yang tadinya merupakan lembaga pendidikan, bertambah fungsinya sebagai tempat kegiatan membina pasukan sukarela yang akan disumbangkan untuk mempertahankan negara, bangsa dan agama.
Gerakan sosial yang dipimpin oleh para ulama pernah berbelok menjadi gerakan Ratu Adil. Hal ini disebabkan karena runtuhnya wibawa raja-raja atau pemerintahan pribumi yang didukungnya, sehingga umat Islam merasa tidak lagi memiliki pemerintahan yang patut dipatuhi. Kalangan petani miskin yang hidup dalam alam feodal merupakan kelompok masyarakat tertindas. Satu-satunya pemimpin yang dianggap mampu dan masih memihak kepada kepentingannya adalah ulama.
1.1 Ulama Sebagai Pelopor Pembaharuan
Setelah Islam tersebar dan akhirnya mulai menjadi way of life bangsa Indonesia, maka konsep ajaran Hindu yang asli mulai ditanggalkan. Hukum syariat menjadi landasan dasar kesultanan di Indonesia dan para ulama menduduki berbagai jabatan penting. 3
Pemunculan kelompok ulama ini bukanlah hasil dari voting (pemilihan suara) atau dari pengaruh karisma raja, tetapi lahir dari perkembangan Islam itu sendiri yang memandang ulama sebagai kelompok intelektual Islam, dan tampaknya telah menjadi watak dasar bangsa Indonesia yang selalu mengangkat kalangan berilmu sebagai pemimpinnya. Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharuan, dan pengaruh ulama pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren.
Ternyata pesantren tidak hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus berfungsi sebagai wahana merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral yang tinggi. Di hatinya telah ditanamkan ajaran jihad untuk membela agama, Negara dan bangsa dengan harta, ilmu, dan jiwanya. Keyakinan ajaran yang dijiwai Islam ini merupakan faktor psikologis yang sangat penting dalam menghadapi apapun. Dengan demikian bagi seorang penguasa memeluk agama Islam akan mendapat dua keuntungan, yaitu para ulama kedudukannya dikukuhkan sebagai Pangeran Muslim, dan memperoleh dukungan dari rakyat serta memiliki pasukan sukarela yang memiliki daya juang tinggi.
Sepintas lalu ulama hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren. Akan tetapi peranannya dalam sejarah cukup militan. Sekalipun banyak penulis sejarah yang menyingkirkan namanya dalam karyanya, namun Thomas Stamford Raffles menuliskan betapa besar peranan ulama dalam menunjang para Sultan melawan Belanda. Antara lain dinyatakan: “and they become the most dangerous instrument in the hands of the native authorities opposed to the Dutch interest” (dan mereka [Ulama-pen.] menjadi aparat yang sangat berbahaya di tangan penguasa-penguasa pribumi dalam melawan kepentingan Belanda). Selanjutnya dikatakan pula: The Mahometan priests have almosth invariably been found most active in every case of insurrection (Ulama-ulama selalu tidak berubah dan selalu dijumpai dalam setiap pemberontakan).4
Data sejarah di atas memberikan ilustrasi kepada kita tentang betapa besarnya peranan ulama dalam setiap perlawanan bersenjata. Tidak hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren, tetapi telah diakui oleh Thomas Stamford Raffles bahwa ulama merupakan partnership para pengusaha dalam melawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian, ulama memegang peranan multifungsi, termasuk bidang politik dan militer. 5
Ditinjau dari angka penerbitan buku Raffles di atas (1817), seperti memberikan kesan bahwa jumlah ulama saat itu sangat banyak. Tetapi nyatanya jumlah ulama kurang lebih 50.000 (lima puluh ribu), yang merupakan sepersembilan belas dari seluruh jumlah penduduk. Dengan demikian, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa ulama mempunyai peranan penting dalam pembangunan militer. Kapasitas pasukan santrinya telah mensuplai kepentingan politik, perdagangan dan agama. Serta akibat lain dari peranan yang didudukinya, menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai sumber norma dalam memerintah seluruh kegiatan rakyat.
Kelanjutan dari pengaruh ulama yang demikian luas tersebut tidak hanya terbatas di bidang politik dan militer saja, melainkan meluas juga terhadap ekonomi yang telah meninggalkan bekas-bekasnya atas the ecology of economic activities. Pasar tidak hanya merupakan kegiatan jual beli barang dagangan, tetapi juga dijadikan arena dakwah, sehingga kegiatan pasar sangat dipengaruhi oleh hari-hari besar Islam. Jadi, Islam sebagai agama yang disebarkan di Indonesia oleh para ulama, memiliki peran yang positif dalam menunjang kegiatan perekonomian dan perdagangan. Menurut Clifford Geertz, hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Hindu Jawa yang menganggap rendah terhadap dunia.6
Kalau kita perhatikan data di atas ini, jelaslah kepentingan Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama, terutama di bidang perdagangan. Belanda melihat kegiatan umat Islam yang mempunyai dwifungsi sebagai pedlar missionaries (da’i dan pedagang). Akibatnya, usaha perdagangan Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam. Tidaklah mengherankan kalau that there too Islam was used as political weapon, in this case against Calvinism of the Dutch Company (Islam dijadikan sebagai senjata politik, dalam hal ini melawan Calvinisme VOC).
1.2 Pemberontakan Santri Abad ke-19
Bukanlah mudah bagi belanda untuk memperkokoh penjajahannya. Seluruh masa penjajahannya (350 tahun) tidaklah pernah suci, disetiap abad, pahlawan-pahlawan dari suku-suku bangsa Indonesia, yang didorong oleh rasa iman dan agamanya untuk menentang penjajahan itu. Timbullah beberapa pahlawan dalam abad ketujuh belas, yang menjadi kemegahan bagi sejarah suku-suku bangsa Indonesia, terutama dalam agama Islam. Karena kalau kita kembali membongkar sejarah itu dengan tenang dan penuh perasaan, akan kelihatanlah bahwa pada lahirnya adalah perebutan kekuasaan dalam ekonomi dan politik, tetapi pada batinnya, tenaga pendorong bagi timbulnya perlawanan yang hebat itu ialah agama.7
Di tambah lagi dengan kondisi pesantren yang tadinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi a center of anti ducth sentiment (sebagai pusat pembangkit anti Belanda). Dalam abad ini saja Belanda menghadapi empat kali pemberontakan santri yang besar. Pertama, perang Cirebon (1802-1806). Kedua, perang Diponogoro sebagai peperangan terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa 8(1825-1830). Ketiga, perang Padri di Sumatra Barat (1821-1838). Keempat, di Aceh sebagai pemberontakan santri yang terpanjang atau terlama (1873-1908). Belanda menghadapi pemberontakan santri Aceh sampai akhir kekuasaannya, di mana para ulama tidak pernah absen melancarkan gerilya hingga tahun 1942.
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan untuk membebaskan diri dari pengaruh Belanda tidak pernah putus. Akan tetapi, usaha-usaha itu selalu gagal karena beberapa sebab, di antaranya: (1) Belanda diperlengkapi dengan organisasi dan persenjataan modern sementara kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia masih bersifat tradisional, (2) penduduk Indonesia sangat tergantung kepada wibawa seorang pemimpin, sehingga ketika pemimpinnya tertangkap atau terbunuh praktis perang atau perlawanan terhenti dengan kemenangan di pihak Belanda, (3) tidak ada kesatuan antara kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan Belanda, karena (4) Belanda berhasil menerapkan politik adu domba, dan (5) dengan politik adu domba itu, banyak penduduk pribumi yang ikut memerangi rekan-rekannya sendiri. 9
Partisipasi ulama dalam perlawanan bersenjata atau Perang Sabil tidak hanya pada abad ke-19 saja, tetapi sejak kedatangan Portugis pada 1511. harry J, Benda menyatakan bahwa partisipasi ulama tersebut berlangsung selama empat abad.10 Oleh karena itu, Belanda mencoba meletakkan sistem baru bagaimana mengeliminasi peran ulama yang sangat dominan itu.
Pada mulanya Belanda menempuh cara menghancurkan ulama dan Islam dengan melancarkan politik agama non Islam.11 Akan tetapi, sekali pun gerakan ini dibiayai oleh pemerintah, namun ternyata hanya mampu menarik suku-suku asing dari agamanya.
Latar belakang semangat pemberontakan oleh pasukan umat Islam yang dipimpin oleh para ulama ini digambarkan oleh K. H. Saifuddin Zuhri dalam bukunya antara lain sebagai berikut.
“Tuan jangan tergesa-gesa menyalahkan ulama-ulama Indonesia di zaman itu yang menurut ukuran Tuan terlalu dilandasi oleh fanatisme yang meluap-luap. Ambillah contoh, misalnya tentang sikap mereka mengharamkan dasi, pantalon, dan topi serta lain-lain atribut orang barat. Akan tetapi Tuan janganlah lupa, bahwa orang-orang Belanda colonial serta pemerintahannya, demikian pula kolonialisme barat pada umumnya, mereka telah menghancurkan segala-galanya milik kita, tanah air kita, pemerintahan nasional, harta kekayaan kita, martabat kita, cita-cita kita, dan terutama lagi agama kita. Yang harus disimpulkan adalah, bahwa sikap ulama tersebut (sikap fanatis) di atas semata-mata merupakn perlawanan yang reaktif sebagai orang yang dijajah dan diperlakukan tidak adil. Perlawanan itu bersifat abadi selama pihak sana (colonial) tidak merubah sikapnya.” 12
1.3 Membangkitkan Gerakan Nasional
Waktu yang tepat untuk mengadakan perubahan akhirnya datang pula struktur penjajahan yang ingin menciptakan Pax Neer Landica telah menemukan efek samping yang menguntungkan umat Islam Indonesia. Penindasan yang diderita telah melahirkan persamaan nasib. Islam bagi bangsa Indonesia identik dengan tanah air.
Para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik masyarakat supaya motifasinya bangkit kembali dibidang ekonomi perdagangan.13 Untuk keperluan ini H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (16 oktober 1905). Setahun kemudian dirubahnya menjadi Sarekat Islam.
1.4 Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
Dutch Islamic Policy ciptaan Snouck yang mencoba menjauhkan umat Islam dari pengaruh politik, ternyata gagal. Akibat sistem politik yang diarahkan untuk mematahkan peranan umat Islam dalam bidang politik, ekonomi dan sosial, ditambah dengan dilancarkannya Politik Pengkristenan dari imperialis Belanda menyebabkan respons dari umat Islam yang berbentuk usaha perbaikan agama, ekonomi, politik dan sosial.
Di bawah situasi yang demikian, K. H. Ahmad Dahlan mengadakan perubahan sistem pendidikan bangsa Indonesia. Masa perlawanan bersenjata telah berlalu. Demikian pula system menyelenggarakan pendidikan dengan cara sederhana sambil berperang perlu diakhiri. Untuk merealisasikan gagasan ini diperlukan wahana, yaitu Muhammadiyah (18 November 1912) yang didirikan di Yogyakarta. Pesantren yang banyak didirikan dalam masa perang, perlu ditingkatkan dengan system pendidikan yang teratur.
Kalangan ulama Jawa Timur memandang perlu untuk meningkatkan organisasi Taswirul Afkar (1914). Dari hasil reorganisasinya dibentuklah Nahdlatul Ulama (1926). NU adalah gerakan dari ulama-ulama Islam di Indonesia yang dipelopori oleh K. H. Hasyim Asy’ari dari Jombang, Jawa Timur. Sekalipun NU mempertahankan “ortodoksi-ortodoksi” abad pertengahan, namun dalam konteks membangkitkan semangat umat Islam, gerakan ini berhasil. Melalui lembaga-lembaga pendidikan pondok pesantren, NU berhasil menanamkan semangat dan watak antikolonialisme. Dengan berpegang teguh pada ajaran Islam dan memelihara semangat ahlus sunnah wal jamaah, NU berhasil menggalang persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia. 14
2. Usaha-usaha Penjajah dalam Menghadapi Kekuatan Umat Islam pada Masa Pendudukannya
2.1 Masa Penjajahan Belanda
2.1.1 Dutch Islamic Policy
Sejak 1889 taktik Belanda menghadapi ulama dan umat Islam berubah. Perubahan kebijaksanaan politik ini diletakkan dasarnya oleh Prof. Dr. Snouck Hurgronje, yang diangkat sebagai Adviseur voor Inlandsche Zaken. Dari hasil risetnya baik selama di Makkah maupun di Aceh, diakuinya bahwa ulama dan santri merupakan kelompok kecil yang sangat mempengaruhi pendangan politik rakyat dan raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia.
Melihat perkembangan ulama yang demikian ini, Snouck mencoba memberikan diagnosis yang dijadikan Dutch Islamic Policy.15 Dia melihat ulama dan santri itu sendiri tidak berbahaya, sekalipun mereka berada di desa-desa dekat dengan para petani. Oleh karena itu diciptakan diagnosis “Menciptakan ulama dan santri di desa-desa menjadi tuna politik (depolitisasi).” Pemerintah tidak perlu takut kepada ulama dan santri, asal mereka dijauhkan dari propaganda politik, baik dari kegiatan politik dalam negeri maupun luar negeri.
Untuk merealisasikan diagnosis tersebut, dianjurkan supaya pemerintahan menjalankan dwikebijaksanaan (twin policies), yakni menganjurkan adanya toleransi agama, dan menindak dengan kekerasan terhadap ulama yang masih melanjarkan kegiatan politik dan militer.
2.1.2 Mematahkan Ulama Melalui Tanam Paksa
Untuk dapat mencapai target diagnosis tersebut, Belanda memerlukan kawan. Snouck menasehatkan supaya pemerintah menggunakan tenaga Pangreh Praja. Keadaan Jawa memungkinkan untuk tujuan tersebut. Belanda telah berhasil melumpuhkan basis suplai ulama dan santri. Pengreh Praja yang merasa mendapatkan keuntungan dari tanam paksa, dengan menyalahgunakan kekuasaan telah ikut memperluas dan meratakan kemiskinan rakyat.16
Ulama dan santri yang bermata pencaharian sebagai petani akan mudah dipatahkan dengan penguasaan atas tanah. Tanam paksa benar-benar telah melumpuhkan rakyat. Pemerintah takut terhadap ulama dan santri Jawa Barat yang memberontak selama mereka mampu menguasai tanah sawahnya. Karena itu pelaksanaan tanam paksa harus diperkeras dan diperlama. Akibatnya, kemelaratan benar-benar menindih kehidupan petani muslim di Jawa Barat.
Rusaknya Mental Penguasa Pribumi
Petani sebagai basis suplai yang telah rusak kehidupannya, tidak mendapatkan pembelaan dari Pangreh Praja saat itu. Raja-raja tidak mampu berbuat untuk menolong rakyat. Mereka telah kehilangan syari’at Islam sebagai landasan hukum dasarnya. Selanjutnya, Ronggo Warsito memberikan gambaran tentang sikap penguasa pribumi setelah lepas hubungannya dengan ulama. Tingkah laku mereka mengejar kemewahan, menambah merajalelanya penderitaan rakyat. Kondisi yang demikian digambarkan oleh Harry J. Benda: Bangsawan Indonesia telah kehilangan tambatan budaya dan politik mereka sebagai akibat penaklukan Belanda.17
2.1.3 Depolitisasi Ulama Desa
Kedudukan ulama benar-benar menyedihkan. Ulama desa yang tuna politik tidak tahu tentang struktur pemerintahan di atasnya. Para ulama desa dan pengikut-pengikutnya diputuskan hubungannya langsung dengan kalangan priyayi atau bangsawan di atasnya. Mereka tidak memiliki pengetahuan apapun tentang struktur kenegaraan.
Berita Nahdlatul Ulama dalam hal ini memberikan gambaran betapa parahnya orientasi ulama saat itu, antara lain: “Para ulama kita satu dengan yang lainnya tak kenal mengenal atau kurang rapat hubungannya hanya selaku kenalan saja. Tiada sampai pada bersama-sama kerja untuk agama dan umat umum. Bahkan kadang-kadang ada kalanya yang diantara mereka sembur-semburan antara satu dengan yang lainnya, dikarenakan berselisih dalam masalah atau sebab lain. Sebagian dari mereka tidak mengetahui keadaan kehinaan umat Islam yang diluar pagar rumahnya.” 18
Ilustrasi di atas memberikan gambaran betapa parahnya orientasi ulama saat itu sebagai korban dari depolitisasi ulama. Gambaran ini terjadi di Jawa. Bagaimana halnya dengan ulama di Aceh yang tidak mau menyerah kalah terhadap pemerintah kolonial? Snouck menganjurkan untuk dilancarkan “kebijaksanaan yang tanpa kenal belas kasih terhadap para ulama”. Belanda membuat ulama tidak mungkin lagi menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan cara melancarkan serangan dan gangguan yang meletihkan. Selain itu, juga menggunakan “ulama bayaran”. Ulama macam ini dibelinya dan dipersenjatainya, dan ditugaskan untuk menyerang ulama-ulama militan. Sejarah mencatat ulama bayaran ini adalah Teuku Uma. 19
Memang sejarah mencatat hasil dari aggressive policy Snouck yamg ditunjang dengan kekuatan militer, berhasil menggantung beberapa ulama. Tetapi tidak demikian halnya dengan ideologinya. Keadaan semacam ini pun sama dengan yang di Jawa. Para ulama berusaha dengan melalui educational opportunity dan social mobility untuk tetap struggle for real.
2.2 Masa Penjajahan Jepang
Dalam menghadapi umat Islam, Jepang sebenarnya mempunyai kebijaksanaan politik yang sama dengan Belanda. Hanya dalam awal pendekatannya, Jepang memperlihatkan sikap bersahabat, karena Jepang berpendirian bahwa umat Islam merupakan powerful forces dalam menghadapi sekutu.20 Latar belakang sejarah umat Islam yang anti imperialisme Barat, memiliki kesamaan tujuan dengan perang Asia Timur Raya. Sikap umat Islam yang yang demikian itu akan dimanfaatkan oleh pemerintahan kolonial Jepang.
Tetapi tentara Jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam. Mereka lebih menyukai hubungan langsung dengan ulama daripada dengan pemimpin parpol. Oleh karena itu, Jepang mengeluarkan maklumat pembubaran parpol. Dalam menghadapi tentara Jepang, umat Islam bertindak untuk sementara menyetujui pembubaran tersebut dengan mengeluarkan maklumat juga.
Tindakan Jepang ini jelas menunjukkan rasa takutnya terhadap Islam sebagai partai politik. Tapi di suatu pihak, Jepang menyadari potensi umat Islam dalam menunjang tujuan perang. Sekalipun Jepang tidak menyetujui dan tidak menyukai berhubungan dengan pemimpin parpol Islam, namun Jepang memerlukan para ulama untuk membentuk wadah organisasi baru untuk membina ulama dan umat Islam.
Untuk tujuan di atas dibentuklah Kantor Urusan Agama (KUA) dengan ketuanya kolonel Horie yang telah dipersiapkan konsepnya sebelum Jepang mendarat di Indonesia.21 Karena begitu Belanda menyerah tanpa syarat pada 8 maret 1942, pada akhir maret 1942 pembentukan KUA tersebut telah siap. Selain itu dibentuk pula Tiga A (Nippon Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia). Dengan adanya Tiga A ini, berdasarkan konsep Shimizui, dibentuklah Persiapan Persatuan Umat Islam (PPUI).
Pada tanggal 4 September 1942 melalui Tiga A diadakan musyawarah pertama di Hotel des Indes. Hasil dari musyawarah ini, umat Islam menghidupkan kembali MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang berdiri tahun 1938 22 dan memilih W. Wondoamiseno sebagai ketua. Sekalipun Jepang sangat memerlukan bantuan umat Islam tetapi timbul rasa takut terhadap persatuan dan kebangkitan umat Islam.
Mayor Jendral Okazaki lebih menekankan perhatian pemerintahannya kepada ulama daripada MIAI. Dengan cara ini diharapkan dapat mematikan MIAI yang berkedudukan di Jakarta. Usaha di atas ini jelas gagal. Betapa mungkin KUA dapat diperalat untuk menghancurkan MIAI.
Orang Jepang harus menyadari bahwa Islam bukanlah hanya sekadar agama, tetapi merupakan keseluruhan way of life yang telah menyebar ke segenap lapisan masyarakat. Umat Islam Indonesia telah lama berjuang menentang imperialisme Barat. Hal ini sesuai dengan dasar mengapa umat Islam dapat bekerja sama dengan Jepang. Untuk memelihara kerja sama ini hendaknya kita saling menghormati agama kita masing-masing. Perbedaan agama tidaklah menjadi penghalang perbedaan tersebut.
Sebenarnya Jepang sendiri adalah imperialis. Tetapi bagi umat Islam saat itu tidak ada pilihan lain kecuali menampakkan sikap yang demikian itu. Sebaliknya Jepang juga tidak ubahnya dengan Belanda berusaha untuk menghancurkan Islam. Tetapi kondisi peperangan yang menuntut bantuan stabilitas dalam negeri, memaksa Jepang untuk mendekati umat Islam. Harry J. Benda menyatakan melalui propaganda Jawa Baru, umat Islam membangkitkan Pan-Islamisme. 23
2.2.1 Mengawasi Pesantren
Tentara Jepang banyak mewarisi hasil karya belanda, kebijaksanaan politik Islamnya Belanda, dicoba direvisi sedikit. Perang dunia II menuntut Jepang untuk menggerakkan massa Islam berpihak kepadanya. Untuk itu diletakkanlah Nippon's Islamic Grass Roots Policy (kebijaksanaan politik Jepang terhadap kalangan rakyat jelata Islam).24 Sasarannya adalah pesantren, desa, dan ulama, dan menjadikan ulama menjadi pemimpin sipil terdepan yang berpartisipasi menciptakan ketentraman dan kewaspadaan. Penguasa kepada ulama berarti bahwa Jepang menguasai desa dan pesantren.
Untuk melaksanakan policy di atas, Jepang menggunakan media pendidikan sebagai alat propagandanya. Para ulama perlu ditingkatkan partisipasinya dengan diadakan semacam kursus kilat, tujuannya untuk meningkatkan kesadaran ulama terhadap situasi dunia dan semangat ulama supaya dapat sepenuhnya membantu Jepang.
Inilah sebagai pelaksanaan Islamic Gross-roots policy-nya jepang. Di satu pihak Jepang menolak mentah-mentah eksistensi parpol Islam, tetapi di lain pihak Jepang lebih menyukai mempolitikkan ulama. Dengan cara ini Jepang berharap dapat menyalurkan potensi laten pesantren kepada kepentingan perangnya.
2.2.2 Pembentukan Pembela Tanah Air (PETA)
PETA dibentuk pada tanggal 10 September 1943 oleh Gatot Mangkupraja kawan Bung Karno. "Tetapi harus diingat bahwa Jepang bagaimanapun juga adalah imperialis". Dasar inilah yang membuat pembentukan PETA lebih bersifat politik daripada ketentaraan. Pembentukan PETA bukan hanya karena permohonan Gatot Mangkupraja, ataupun usulan milisi dari R. Sutarjo, karena Jepang sendiri telah memiliki konsep tentang pembentukan tentara pribumi.
Untuk merealisasikan tentara pribumi ini diserahkan pada Beppen (Seksi khusus, dinas intelijen). Segera Beppan membentuk Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps latihan perwira pasukan sukarela pembela tanah air Jawa) di Bogor. Disinilah ulama dilatih sebagai calon daidanco (komandan batalion).
Untuk mendapatkan dukungan lebih banyak dari umat Islam, maka dikatakan bahwa tugas peta sebagai tugas suci. Daidanki (Bendera peta) dengan lambang bulan bintang ini dijelaskan oleh Kan Po sebagai lambang yang dihormati oleh rakyat di Jawa.25
Tujuan penguasa militer Jepang sebenarnya tidak akan menciptakan kesatuan, tetapi hanya menginginkan kerja sama lebih mudah dengan umat Islam Indonesia.adapun usaha Jepang bertujuan; 1. Menanamkan semangat Nippon, 2. Menumbuhkan loyalitas ulama terhadap Jepang, 3. Meyakinkan kebencian ulama terhadap sekutu, 4. Perang asia Timur Raya adalah perang suci, 5. Menambahkan keyakinan bahwa Jepang dan Indonesia adalah satu nenek moyang dan satu ras.
Tujuan di atas menumbuhkan sikap takut Jepang akan timbulnya kesatuan umat Islam. Peta selain diharapkan bantuannya, juga disiapkan untuk memecah belah struktur organisasinya. Namun ulama masih sanggup memanfaatkan Peta untuk membangkitkan semangat keprajuritan. Usaha ulama inilah yang menjadikan peta sebagai wadah pembibitan pemimpin TNI nanti di kemudian hari.26
Pemberontakan Santri Peta
Selain menghadapi sekutu, Jepang juga mempersiapkan diri agar dapat mematahkan potensi Islam di Jawa Barat, yang ternyata berakar di desa-desa. Melalui Romusha (prajurit kerja) dan menyerahkan padi, Jepang memperkirakan akan dapat melumpuhkan potensi umat Islam. Ternyata tindakan Jepang dijawab oleh umat Islam dengan adanya pemberontakan santri di Singaparna yang dipimpin oleh Kiai Zainal Musthafa (NU), yang bercita-citakan menegakkan kebahagiaan rakyat di dalam negara Islam yang bebas dari kekuasaan asing.27 Pemberontakan ini secara fisik berhasil dipadamkan, tetapi tiga bulan kemudian pecah lagi pemberontakan santri yang lebih meluas yang meliputi kecamatan Lohbener dan kecamatan Simpang. Tentara dan polisi Jepang membasmi pemberontakan tersebut. Pemimpin-pemimpin berhasil di tembak mati.
Cita-cita pemberontakan tersebut menginginkan tegaknya kebahagiaan dan negara Islam. Jepang pun segera memberikan janji kemerdekaan yang sejalan dengan cita-cita tersebut. Perdana Menteri dalam sidang Teikoku Gikai ke-85 di Tokyo tanggal 7 september 1944 mengumumkan janji kemerdekaan. Berita ini disampaikan secara resmi kepada rakyat Indonesia dengan menyebutkan gambaran pembentukan "negara Indonesia yang berdasarkan Islam".
Kaum politis Islam setelah pemberontakan terjadi, mereka sibuk dengan menyambut perkenan kemerdekaan. Tetapi Jepang lupa mengulur waktu pelaksanaan janji. Bagi yang menantikan sekalipun baru satu tahun, dirasakan terlalu lama. Apalagi dilakukan tindakan pemerasan yang dilakukan diluar peri kemanusiaan.
Tepat satu tahun setelah pembentukan santri sukamah, di Blitar timbul pemberontakan Peta yang dipimpin oleh Supriyadi (14 februari 1945). Adapun motivasi yang mendorong pemberontakan tersebut yaitu: 1. Tidak tahan melihat penderitaan rakyat, 2. Tidak tahan melihat kesombongan dan kesewenangan Jepang, 3. Janji kemerdekaan itu omong kosong.
2.2.3 Pembentukan Masyumi
Pengaruh MIAI cukup membahayakan. MIAI masih sanggup menunjukkan kemampuannya menggerakkan massanya, berbeda dengan partai sekuler lainnya yang sudah tidak mampu menampakkan potensi massanya lagi. Oleh karenanya Jepang mencoba menghilangkan pengaruh MIAI dengan membentuk Majelis Syura Muslimin Indonesia, sekaligus dengan pembentukan organisasi baru ini bertujuan untuk menurunkan pimpinan MIAI dengan mengangkat Hasyim Asyari sebagai ketua Masyumi.28 Jepang mengharapkan timbulnya perpecahan di kalangan umat Islam. Tetapi kenyataannya perkembangan Masyumi sangat cepat kontras sekali dengan Putera dan Hokokai.
Sejak awal Jepang telah mencoba untuk menetralisir Masyumi dari kegiatan politik. Karena itu pimpinan Masyumi disumpah untuk membebaskan dirinya dari kegiatan politik apapun. Dengan demikian Masyumi dapat menjadi wadah yang menjauhkan umat Islam dari politik. Usaha ini juga mempunyai latar belakang lain, yaitu agar Jepang mudah mematahkan basis suplai pesantren.
BAB III
KESIMPULAN
Peranan Ulama dalam Usaha Melawan Pengaruh Penjajahan di Indonesia
Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharuan, dan pengaruh ulama pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren. Sepintas lalu ulama hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren, tetapi peranannya dalam sejarah cukup militan. Ulama merupakan partnership para pengusaha dalam melawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian, ulama memegang peranan multifungsi, termasuk bidang politik dan militer. Hingga tiba pada suatu masa, para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik masyarakat supaya motifasinya bangkit kembali dibidang ekonomi perdagangan.
Usaha-usaha Penjajah dalam Menghadapi Kekuatan Umat Islam pada Masa Pendudukannya
Dutch Islamic Policy, salah satunya yaitu dengan menciptakan ulama dan santri di desa-desa menjadi tuna politik (depolitisasi). Politik ini dilakukan oleh penjajah Belanda.
Mematahkan ulama melalui tanam paksa adalah juga salah satu usaha penjajah Belanda, karena ulama dan santri yang bermata pencaharian sebagai petani akan mudah dipatahkan dengan penguasaan atas tanah. Walau usaha ini cukup berhasil melumpuhkan perekonomian mereka, namun kekuatan perlawanan justru semakin menguat.
Beberapa usaha yang dilakukan oleh penjajah Jepang adalah dengan mengawasi pesantren, menghambat tumbuhnya partai politik Islam, dan mengimbanginya dengan mendirikan organisasi-organisasi bentukan Jepang.
DAFTAR PUSTAKA
HAMKA. 1981. Sejarah Umat Islam IV. Jakarta: Bulan Bintang
Mansur Suryanegara, Ahmad. 1996. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Ratu Perwiranegara, Alamsjah. 1987. Islam dan Pembangunan Politik di Indonesia. Jakarta: CV Haji Masagung
Yatim, Badri. 1991. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers
Zuhri, Saifuddin. 1979. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: Al Ma’arif
1 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996) hal. 235.
2 Ibid., hal. 236.
3 Ibid., hal. 237.
4 Ibid., hal. 238.
5 Ibid., hal. 239.
6 Ibid.
7 Prof. Dr. HAMKA, Sejarah Umat Islam IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1981) hal. 270.
8 Dr. Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 245.
9 Ibid., hal. 241.
10 Ahmad Mansur Suryanegara, op. cit., hal. 240.
11 Ibid., hal. 241.
12 K. H. Syaifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung: Al Ma’arif, 1979) hal. 458-460.
13 Ahmad Mansur Suryanegara, op. cit., hal. 244.
14 H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam dan Pembangunan Politik di Indonesia (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987) hal. 186.
15 Ahmad Mansur Suryanegara, op. cit., hal. 241.
16 Ibid., hal. 242.
17Ibid., hal. 243.
18 Ibid., hal. 244
19 Ibid.
20 Ibid., hal. 254.
21 Ibid., hal. 256.
22 Dr. Badri Yatim, MA, op. cit., hal. 262.
23 Ahmad Mansur Suryanegara, op. cit., hal. 258
24 Ibid., hal. 259
25 Ibid., hal. 261
26 Ibid., hal. 262
27 Ibid., hal. 263
28 Ibid. hal. 263.
0 comments:
Post a Comment