BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Dewasa ini persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat muslim semakin kompleks. Karena semakin maju (Progress) peradaban manusia, maka masalah-masalah yang dihadapi ataupun ditanggung oleh manusia semakin pelik. Oleh karenanya kebutuhan akan berbagai macam referensi untuk menjawab seluruh persoalan juga semakin tak terelakkan.
Dengan demikian mungkin saya sangat sependapat dengan apa yang dikatan oleh Suhadi (2006;196) bahwa ijtihad kolektif pada saat ini memang sangat dibutuhkan karena demi memenuhi tuntutan akan mendapatkan jawaban dari persoalan-persoalan kemanusiaan yang ada hubungannya dengan masail-fiqhiyah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Mungkin dengan cara seperti itu ketika dihadapkan dengan problem insaniyah yang memang ada kaitannya dengan urusan keagamaan seseoarang, bisa terjawab.
Agama dalam kehidupan manusia adalah fitrah atau hak qadrati yang dimiliki oleh masing-masing personal yang memiliki ajaran-ajaran yang berkaitan dengan anjuran dan larangan yang mengikat pemeluknya. Islam dalam hal ini sebagai agama juga mengajarkan kepada umatnya tentang tatacara (Rule) bergaul dan berinteraksi dengan sesama manusia. Yaitu bagaimana seorang manusia menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain, dalam hal ini kalau dikaitkan dengan keberadaan perempuan, maka banyak hal-hal yang dimiliki olehnya untuk dijaga, salah satunya adalah kehormatan. Seks, misalnya apabila tidak didudukkan dengan sebanar-benarnya, maka akan menjadi suatu hal yang terlarang yang dalam term agama disebut dengan zina.
Zina adalah salah satu perbuatan yang sangat dilarang oleh Tuhan karena memiliki dampak yang sangat besar dalam keberlangsungan kehidupan manusia. Salah satu ekses yang diakibatkan oleh zina adalah tidak jelasnya status anak yang dihasilkan.
Terkait dengan persoalan manusia yang semakain kompleks, maka dalam makalah ini akan dicoba untuk menguraikan dan menjelaskan tentang hukum zina, status anak zina, dan hukumnya mengadopsi anak demi memberikan sedikit pengetahuan yang berhubungan dengan itu semua.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hukum zina dalam perspektif Islam?
2. Bagaimanakah status anak zina dalam perspektif Islam?
3. Bagaimanakah status hukum adopsi anak dalam perspektif Islam?
C. Tujuan Rumusan Masalah
1. Agar kita mengetahui bagaimanakah hukum zina dalam Islam?
2. Agar kita mengetahui bagaimanakah status anak zina dalam Islam?
3. Agar kita mengetahui satatus hukum adopsi anak dalam Islam?
BAB II
Pembahasan
A. Hukum Zina Dalam Perspektif Islam
Sebelum kita membahas tentang hukum zina, maka kita akan kaji terlebih dahulu terminologi tentang zina agar kita bisa dengan jelas menentukan parameter dan mengklasifikasikan zina untuk mengetahui hukumnya dalam pandangan syar’i.
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, zina adalah perbuatan asusila yang dilakukan seorang pria dan wanita di luar ikatan pernikahan yang sah.[1] Sedangkan menurut Al-Jurjani, bisa dikatakan zina apabila telah memenuhi dua unsur yaitu:
1. Adanya persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya (heterosex); dan
2. Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan seks (sex act).[2]
Dengan unsur pertama, maka jika dua orang yang berbeda kelaminnya baru bermesraan, misalnya berciuman atau berpelukan, belum dapat dikatakan berbuat zina, yang dapat dijatuhi hukuman had, berupa dera bagi yang belum pernah kawin atau rajam bagi yang sudah pernah kawin; tetapi mereka bisa dihukum ta’zir yang bersifat edukatif.[3]
Bagaimana denga inseminasi buatan dengan mentransfer sperma pada ovum donor untuk memperoleh keturunan? Bila dikaitkan dengan definisi zina dan klasifikasinya yang telah dijelaskan oleh Jurzanim maka tidak dianggap sebagai perbuatan zina, sebab tidak terjadi sexual intercourse (persetubuhan).
Sebagian ulama’ mendefinisikan zina dengan perhiasan, maka berzina berarti merampas perhiasan. Bagi wanita yang paling utama sebagai perhiasannya adalah kehormatannya, maka merampas kehormatan ini berarti menghilangkan modal dari wanita itu. Wanita yang melakukan perzinaan ini berarti menyerahkan perhiasannya kepada orang lain. Perhiasan wanita mempunyai nilai dan harga hanya untuk pemakaian pertama kali belaka. Jika kegadisan wanita/selaput dara itu hilang, maka hilang pulalah kehormatannya. Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Berlaku baiklah terhadap botol-botol”.[4]
Yang dimaksud dengan “botol-botol” dalam hadits nabi tersebut adalah kaum wanita yang dianalogikan dengan botol yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya, sebab jika botol itu tersenggol dan jatuh, maka akan retak dan pecah. Kedua keadaan ini tidak dapat dikembalikan pada keutuhannya semula, baik ia retak maupun pecah.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta mengatakan “Zina adalah perbuatan besetubuh yang tidak sah (seperti bersundal, bermukah, bergendak dan sebagainya)”.
Dari berbagai macam definisi tentang zina diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa zina adalah perbuatan bersetubuh (memasukkan penis kedalam vagina) diluar ikatan nikah yang sah dan berbeda jenis kelaminnya, yang dapat merusak kehormatan/perhiasan perempuan (pecahnya selaput darah dalam vagina).
Tidak heran kalau seluruh agama Samawi mengharamkan dan juga berupaya untuk memberantasnya karena dampak yang timbul dari perbuatan zina sangat besar, yaitu si perempuan akan kehilangan sesuatu yang menjadi perhiasannya, mengkaburkan status anak yang dilahirkan, merusak keturunan, menghancurka rumah tangga, meretakkan perhubungan, meluasnya penyakit sepilis (veneral disease) dan AIDS , kejahatan nafsu dan merosotnya akhlak disamping itu reputasinya akan tercoreng di lingkungan masyarakat. Islam sebagai agama Rahmatan lil alamin (Universal) dengan keras melarang perzinaan serta memberikan ultimatum yang sangat tajam. Oleh karena itu tepatlah apa yang difirmankan oleh Allah:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (al-Isra’ : 32)[5]
Macam-macam zina dan hukumannya
1. Zina Muhsan ialah perbuatan zina yang dilakukan oleh pria/wanita yang wajib menjaga kehormatannya. Artinya, orang yang sudah berkeluarga atau menikah.
2. Zina Ghoiru Muhsan maksudnya adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh pria/wanita yang belum menikah.
Soal hukuman (panishment) bagi para pezina mushan dan ghoiru mushan banyak perbedaan pandangan. Menurut Mazhab Dzahiri pelaku zina muhsan (pelaku zina yang telah kawin) mendapat hukuman rangkap: dera dahulu kemudian rajam berdasarkan Hadis Nabi:
“Pelaku zina yang telah kawin atau pernah kawin itu didera 100 kali dan dirajam”.[6]
Berkaitan dengan hukuman bagi pezina itu, Imam Syafi’i juga berpendapat; hukuman rajam (stoning to death), yang berarti hukuman mati bagi pelaku zina muhsan sudah seharusnya dibebankan atas pelaku zina apabila perbuatan zina itu diketahui oleh empat orang saksi. Bagi Imam Syafi’i hukuman dera sangat pantas diberikan kepada pelaku zina muhsan karena si pelaku zina seharusnya (wajib) menjaga loyalitas dan nama baik keluarga, dan lagi perbuatan zina itu mengandung bahaya-bahaya yang besar bagi keluarganya, masyarakat, dan negara. Hal ini berdasarka firman Tuhan:
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”.[7]
Perbuatan keji: menurut Jumhur Mufassirin yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan zina, sedang menurut pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti : zina, homosek dan yang sejenisnya. menurut pendapat muslim dan Mujtahid yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). Dalam ayat surat An-Nur ayat 2 Allah SWT juga menjelaskan:“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
Hukuman dera (flogging) yang relatif ringan, menurut Imam Syafi’i, patut diberikan kepada pelaku zina yang belum kawin (ghairu muhsan), karena si pelaku masih hijau, belum berpengalaman, maka dengan hukuman dera itu diharapkan bisa memberi kesadaran padanya, sehingga ia tidak mau mengualangai perbuatannya yang tercela.[8]
B. Status Anak Zina Dalam Perspektif Islam
Anak zina adalah anak yang timbul dari perkawinan yang tidak sah, Karena anak itu hasil persetubuhan (sexual intercourse) atau bergaul antara wanita dan pria yang tidak menurut ajaran Islam.[9] Hal ini berarti, bahwa pergaulan itu dapat terjadi antara siapa saja baik antara adik-kakak, ayah-anak, ibu-anak maupun dengan yang lain. Karena perzinaan adalah suatu perbuatan yang tercela dan melanggar aturan-aturan Tuhan (Rule of God) serta salah satu pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan yang legal.
Sebenarnya dalam Islam tidak ada istilahnya dengan anak zina, sebab setiap yang baru lahir dalam kaca mata Islam adalah suci dan tidak memikul beban dosa orang tuanya. Anak yang dihasilkan dari perbuatan zina tetap tidak bersalah, tidak berdosa dan tidak bernoda, sebab seluruh kesalahan yang berlaku adalah dari dua manusia yang melakukan kesalahan itu. Dua manusia inilah yang berdosa, bersalah dan bernoda serta merekalah yang bertanggung jawab dan menerima ganjaran atas dosa-dosa zina yang telah diperbuatnya, jadi, bukan si anak.
Dengan demikian menurut hukum perdata Islam anak zina/jadah itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan hadis nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin Sar’i:
“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci/bersih (dari segala dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya manjadi Yahudi, atau Nasrani atau Majusi”.[10]
Berkaitan dengan beban dosa yang harus ditanggung oleh pelaku zina sendiri, berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Najm ayat 38:
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”[11]
Anak yang dilahirkan dari hasil zina ialah sama sebagai manusia biasa, ia tetap harus diberlakukan secara manusiawi, karena ia statusnya sebagai manusia normal yang berhak untuk mendapatka pendidikan, pengajaran, dan keterampilan untuk bekal hidup di masyarakat nanti. Ia memiliki hak hidup dan hak asasi yang sama dengan manusia lainnya. Ibu sebagai orang yang melahirkan anak tersebut bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya-materiil dan spiritual. Sebab anak itu (anak zina) dari hasil hubungan di luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.
Dengan demikian dalam hal warisan anak tersebut hanya mempunyai hak waris dari ibunya. Sedangkan dari ayahnya ia tidak berhak untuk mendapatkan warisan, sebab bapak yang telah menghamili ibunya (diluar nikah) lalu kemudian lahirlah anak itu statusnya tidak sah karena tidak ada legalisasi, baik dari hukum perdata Islam maupun dalam hal catatan sipil (hukum perdata di Indonesia). Meskipun ia memiliki hubungan darah secara lahiriah dengan bapaknya, akan tetapi dalam hubungan jiwa, perasaan dan jiwa tidak didapatkannya. Oleh karena itu hal inilah (status anak), yang harus dijadikan pertimbangan oleh setiap manusia ketika akan melakukan hubungan sek (sexual intercourse) diluar pernikahan yang sah.
Hukum anak zina
1. Jika seorang suami menuduh isterinya melakukan perzinaan tetapi tidak dapat dibuktikan, maka anak yang lahir dalam waktu sang isteri masih dibawah tangan Sang suami, anak itu adalah anak dari sang suami yang sah. Rasulullah S.a.w. bersabda:
“Anak itu adalah bagi ranjang (yakni bagi suami yang mempunyai ranjang itu) sedangkan sang isteri yang melacur itu dirajam.” (Bukhari)[12]
2. Bila seorang pria atau wanita dipaksa melakukan zina, maka ia tidak berdosa. Kalau setelah itu ia melakukan perkawinan dengan wanita tersebut secara sah,maka tidak terdapat persoalan apapun dalam soal anak ini. Anak yang dilahirkan adalah anak yang sah, sebab perzinaan yang dilakukan itu tidak membawa satu kesalahan di dalam hukum Islam berarti kedua pelaku perzinaan paksaan itu tidak didera atau dirajam.[13] Konsepsi itu sangat relevan dengan kaidah hukum Islam, yaitu:
“Keadaan darurat (terpaksa) itu membolehkan hal-hal yang terlarang.”[14]
C. Adopsi Anak Serta Status Hukumnya Dalam Perspektif Islam
Adopsi dalam kamus bahasa Inggris disebut dengan Adoption yang artinya pengangkatan atau pemungutan. Sehingga sering disebut dengan “ Adoption of a child ” yaitu pengangkatan atau pemungutan anak.[15]
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia adopsi bermakna pengakuan anak orang lain sebagai anak sendiri dan secara hukum.[16] Sedangkan pengertian adopsi menurut istilah, dapat dikemukakan definisi para ahli; antara lain:
* Muderis Zaini, S.H., mengemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, S.H. dengan mengatakan :
“Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atas pemeliharaan harta kekayaan rumah tangga.”[17]
Kemudian dikemukakan pendapat Surojo Wingjodipura, S.H dengan mengatakan:
Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan, pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dengan anak kandungnya. [18]
Dari dua pendapat para pakar yang telah dikemukakan diatas, mendeskripsikan, bahwa hukum adat membolehkan pengangkatan anak, yang status anak tersebut disamakan dengan anak kandung sendiri. Begitu juga status orang tua angkat, sama dengan orang tua kandung di anak angkat itu. Kedua belah pihak (orang tua angkat dan anak angkat), mempunyai hak dan kewajiban yang persis sama dengan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak kandungnya, dan atau anak kandung terhadap orang tuanya.
Pendapat diatas adalah didasarkan pada hukum adat yang berlaku di Indonesia yang mana anak angkat berhak memperoleh pengakuan yang sama layaknya anak kandung, baik dalam hal kasih sayang, pendidikan, pengajaran, kelayakan hidup, bahkan sampai dalam hal warisan dan perwalian dalam nikah.
Apabila adopsi atau Tabanni (bhs. Arab) diartikan sebagai “pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak kandung”. Maka jelas Islam melarang sejak turun Surat Al-Ahzab ayat 37:[19]
“Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia (setelah habis iddahnya) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya dari pada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjad”.
Ayat ini menerangkan kasus Zaid dengan Zainab diatas adalah untuk menegaskan bahwa:[20]
1) Adopsi seperti praktek dan tradisi di zaman Jahiliyyah yang memberi satatus kepada anak angkat sama dengan anak kandung tidak dibenarkan dan tidak diakui oleh Islam.
2) Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan baik anak angkat itu diambil dari intern kerabat sendiri, seperti di Jawa .
Prof. DR. Asy-Syekh Mahmud Syaltut. Ia mendefinisikan adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak, yang diketahuinya bahwa anak itu termasuk anak orang lain. Kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya; baik dari segi kasih sayangnya maupun nafkahnya (biaya hidupnya), tanpa ia memandang perbedaan. (Maskipun demikian) agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena itu tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandungnya.[21]
Dari definisi diatas, Mahmud Syaltut menggambarkan, bahwa anak angkat itu dalam hukum Islam sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang dan pendidikan, tetapi statusnya tidak dapat disamakan dengan anak kandung; baik dari segi pewarisan maupun dari segi perwalian. Hal ini, dapat disamakan dengan anak asuh, istilah yang sering dipakai sekarang.[22]
Dalam buku yang sama dia juga menggambarkan hal yang berbeda dengan apa yang telah dikemukakan dalam definisi adopsi diawal. Diversi lain, pendapatnya sama dengan apa yang telah disampaikan oleh Muderis Zaini, bahwa pengangkatan anak tersebut sama dengan tradisi Jahiliyah, dimana anak angkat itu sama statusnya dengan anak kandung, ia dapat mewarisi harta benda orang tua angkatnya dan dapat meminta perwalian kepada orang tua angkatnya bila ia mau dikawinkan.
Dalam agama Islam telah menetapkan antara orang tua angkat dengan anak adopsi tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya dengan hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Islam membolehkan adopsi dengan ketentuan:[23]
1) Nashab anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan orang tua angkatnya.
2) Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi perwarisan, hubungan mahrom, maupun wali (dalam perkawinan)
3) Karena anak angkat itu tidak berhak menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya.
KESIMPULAN
Pelaku zina dalam perspektif Islam diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu Zina Muhsan dan Zina Ghairu Muhsan, dari masing-masing kategori tersebut dalam masalah hukuman (Panishment) juga ada perbedaan. Untuk zina Muhsan si pelaku mendapat hukuman ganda, disamping didera juga di rajam dan ada yang mengatakan dirajam saja. Sedangkan untuk zina ghairu muhsan si pelaku zina hanya di kasih hukuman dengan dera (cambuk) sebanyak 100 kali.
Perbuatan zina yang dilakukan oleh pria/wanita berdampak besar pada perkembangan dan status si anak. Karena dalam hal urusan pewarisan dan perwalian, anak hasil zina tidak mendapatka hak, walaupun sebagian ulama’ berpendapat, bahwa statusnya sama dengan anak hasil hubungan legal akan tetapi ulama’ secara umum berkonsepsi sebaliknya.
Dalam locus (wilayah) sosial, anak zina tetap sebagai manusia biasa yang patut untuk diperhatikan dan diberlakukan secara manusiawi. Ia berhak mendapat pendidikan dan pengajaran serta hak hidup yang sama dengan anak-anak yang lain. Untuk warisan ia hanya dapat dari pihak ibu dan keluarganya sedangkan dari pihak ayah terputus, meskipun secara biologis (hubungan darah) dengan pihak ayah bersambung, akan tetapi secara jiwa dan perasaan ia tidak punya.
Disamping itu, terkait dengan status anak angkat (adopsi) kalangan ulama’ juga berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa status anak adopsi sama dengan anak kandung, yaitu dalam hal pewarisan dan perwalian sama kedudukannya layaknya anak kandung. Tapi, Jumhurul Ulama’ menetapkan, jika status anak adopsi tidak bisa disamakan dengan anak kandung. Oleh karenanya, dalam masalah hukum Islam memang banyak terjadi kontroversi pendapat akan tetapi itu adalah sebagai dinamika pemikiran dalam dunia islam yang dapat memperkaya pengatahuan dan produk pemikiran ulama’ fiqh (Baca: Pemikiran Ulama’ Fiqh).
DAFTAR PUSTAKA
Em Zul,Fazri dkk.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.2002.Jakarta: Diva Publisher.
Sabiq,Sayid .Fiqh al-sunnah, vol. II. 1981. Libanon: Darul Fikar
Zuhdi, Masjfuq. Masail Fiqhiyah.1997. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung
Qardawi,Yusuf.Halal dan Haram.1993. PT. Surabaya :Bina Ilmu
Syafi’i,Al-Imam. Al-Umm.Terj Prof. Ismail Yaqub Jilid X. 1986.Semarang
Echols, John M dkk. Kamus Bahasa Inggris. 1986.Jakarta: Gramedia
Mahjudin. Masailul Fiqhiyah”Berbagai Kasus Yang Dihadapi hukum Islam Masa kini”.2003. Jakarta : Kalam Mulia
Muderis,Zaini.Adopsi.1985. Jakarta:Bina Aksara
Fahrudin,Fuad Moh.Masalah Anak Dalam Hukum Islam. 1985. Jakarta Pusat: Pedoman Ilmu Jaya
Catatan Kaki
[1] Fazri Em Zul dan Ratu Aprilia Senja “ Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”. 2002.Diva Publisher.
[2] Sayid Sabiq, Fiqh al-sunnah, vol. II, Libanon, Darul Fikar, 1981;369 dalam Masjfuq Zuhdi, Masail Fiqhiyah, PT Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997. Cet. X. hlm. 34.
[3] Ibid.
[4] Fuad Moh. Fahrudin. “Masalah Anak Dalam Hukum Islam”. Pedoman Ilmu Jaya. Jakpus: 1985. hlm. 92.
[5] Yusuf Qardawi, Halal dan Haram. PT. Bina Ilmu. Surabaya: 1993. hlm. 201.
[6] Masjfuk Zuhdi, op. cit., hlm. 35-36.
[7] Imam Syafi’I, Al-Umm.Terj. Prof. Ismail Yaqub, al-Umm,(kitab Induk). Semarang:1986. Jilid X. Cet. I. hlm. 37.
[8] Ahmad Fathi Bahnisi, Al-Siyasah al-Jinaiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Cairo, Darul ‘Urubah, 1965. 17-18; vide Masjfuq Zuhdi, Op. Cit., hlm 38.
[9] Fachrudin Fuad, Op. Cit. hlm. 90.
[10] Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shaghir, vol. II, Cairo, Musthafa al-Babi al-Halabi, 1954, hlm. 17. Vide Masjfuk Zuhdi, Op. Cit. hlm. 39.
[11] Ibid. hlm. 39.
[12] Fachrudin Fuad, Op. Cit. hlm. 101.
[13] Ibid.
[14] Vide Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, Jakarta, CV. Haji Masagung, hlm. 114-117.
[15] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris, Pen. PT. Gramedia, Jakarta, 1986, hal. 13. Vade Drs. H. Mahjudin, Masailul Fiqhiyah”Berbagai Kasus Yang Dihadapi hukum Islam Masa kini” Kalam Mulia, Jakarta, 2003. hlm. 82.
[16] Em Zul Fajri. Op. Cit. hlm. 19.
[17] Muderis Zaini, Adopsi, Pen. Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal.5. Vade H. Mahjudin, Op. Cit. hlm. 82.
[18] Ibid.
[19] Masfuk Zuhdi. Op.Cit.. hlm 29
[20] Ibid .hlm 30
[21] Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Pen. Darul Qalam, tt., 321. Vade H. Mahjudin. Op. Cit. hlm.83.
[22] Ibid. hlm 84.
[23] Mahjudin. Masail Fighiyah.Op,Cit… hal 87-88
Pendahuluan
A. Latar belakang
Dewasa ini persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat muslim semakin kompleks. Karena semakin maju (Progress) peradaban manusia, maka masalah-masalah yang dihadapi ataupun ditanggung oleh manusia semakin pelik. Oleh karenanya kebutuhan akan berbagai macam referensi untuk menjawab seluruh persoalan juga semakin tak terelakkan.
Dengan demikian mungkin saya sangat sependapat dengan apa yang dikatan oleh Suhadi (2006;196) bahwa ijtihad kolektif pada saat ini memang sangat dibutuhkan karena demi memenuhi tuntutan akan mendapatkan jawaban dari persoalan-persoalan kemanusiaan yang ada hubungannya dengan masail-fiqhiyah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Mungkin dengan cara seperti itu ketika dihadapkan dengan problem insaniyah yang memang ada kaitannya dengan urusan keagamaan seseoarang, bisa terjawab.
Agama dalam kehidupan manusia adalah fitrah atau hak qadrati yang dimiliki oleh masing-masing personal yang memiliki ajaran-ajaran yang berkaitan dengan anjuran dan larangan yang mengikat pemeluknya. Islam dalam hal ini sebagai agama juga mengajarkan kepada umatnya tentang tatacara (Rule) bergaul dan berinteraksi dengan sesama manusia. Yaitu bagaimana seorang manusia menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain, dalam hal ini kalau dikaitkan dengan keberadaan perempuan, maka banyak hal-hal yang dimiliki olehnya untuk dijaga, salah satunya adalah kehormatan. Seks, misalnya apabila tidak didudukkan dengan sebanar-benarnya, maka akan menjadi suatu hal yang terlarang yang dalam term agama disebut dengan zina.
Zina adalah salah satu perbuatan yang sangat dilarang oleh Tuhan karena memiliki dampak yang sangat besar dalam keberlangsungan kehidupan manusia. Salah satu ekses yang diakibatkan oleh zina adalah tidak jelasnya status anak yang dihasilkan.
Terkait dengan persoalan manusia yang semakain kompleks, maka dalam makalah ini akan dicoba untuk menguraikan dan menjelaskan tentang hukum zina, status anak zina, dan hukumnya mengadopsi anak demi memberikan sedikit pengetahuan yang berhubungan dengan itu semua.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hukum zina dalam perspektif Islam?
2. Bagaimanakah status anak zina dalam perspektif Islam?
3. Bagaimanakah status hukum adopsi anak dalam perspektif Islam?
C. Tujuan Rumusan Masalah
1. Agar kita mengetahui bagaimanakah hukum zina dalam Islam?
2. Agar kita mengetahui bagaimanakah status anak zina dalam Islam?
3. Agar kita mengetahui satatus hukum adopsi anak dalam Islam?
BAB II
Pembahasan
A. Hukum Zina Dalam Perspektif Islam
Sebelum kita membahas tentang hukum zina, maka kita akan kaji terlebih dahulu terminologi tentang zina agar kita bisa dengan jelas menentukan parameter dan mengklasifikasikan zina untuk mengetahui hukumnya dalam pandangan syar’i.
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, zina adalah perbuatan asusila yang dilakukan seorang pria dan wanita di luar ikatan pernikahan yang sah.[1] Sedangkan menurut Al-Jurjani, bisa dikatakan zina apabila telah memenuhi dua unsur yaitu:
1. Adanya persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya (heterosex); dan
2. Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan seks (sex act).[2]
Dengan unsur pertama, maka jika dua orang yang berbeda kelaminnya baru bermesraan, misalnya berciuman atau berpelukan, belum dapat dikatakan berbuat zina, yang dapat dijatuhi hukuman had, berupa dera bagi yang belum pernah kawin atau rajam bagi yang sudah pernah kawin; tetapi mereka bisa dihukum ta’zir yang bersifat edukatif.[3]
Bagaimana denga inseminasi buatan dengan mentransfer sperma pada ovum donor untuk memperoleh keturunan? Bila dikaitkan dengan definisi zina dan klasifikasinya yang telah dijelaskan oleh Jurzanim maka tidak dianggap sebagai perbuatan zina, sebab tidak terjadi sexual intercourse (persetubuhan).
Sebagian ulama’ mendefinisikan zina dengan perhiasan, maka berzina berarti merampas perhiasan. Bagi wanita yang paling utama sebagai perhiasannya adalah kehormatannya, maka merampas kehormatan ini berarti menghilangkan modal dari wanita itu. Wanita yang melakukan perzinaan ini berarti menyerahkan perhiasannya kepada orang lain. Perhiasan wanita mempunyai nilai dan harga hanya untuk pemakaian pertama kali belaka. Jika kegadisan wanita/selaput dara itu hilang, maka hilang pulalah kehormatannya. Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Berlaku baiklah terhadap botol-botol”.[4]
Yang dimaksud dengan “botol-botol” dalam hadits nabi tersebut adalah kaum wanita yang dianalogikan dengan botol yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya, sebab jika botol itu tersenggol dan jatuh, maka akan retak dan pecah. Kedua keadaan ini tidak dapat dikembalikan pada keutuhannya semula, baik ia retak maupun pecah.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta mengatakan “Zina adalah perbuatan besetubuh yang tidak sah (seperti bersundal, bermukah, bergendak dan sebagainya)”.
Dari berbagai macam definisi tentang zina diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa zina adalah perbuatan bersetubuh (memasukkan penis kedalam vagina) diluar ikatan nikah yang sah dan berbeda jenis kelaminnya, yang dapat merusak kehormatan/perhiasan perempuan (pecahnya selaput darah dalam vagina).
Tidak heran kalau seluruh agama Samawi mengharamkan dan juga berupaya untuk memberantasnya karena dampak yang timbul dari perbuatan zina sangat besar, yaitu si perempuan akan kehilangan sesuatu yang menjadi perhiasannya, mengkaburkan status anak yang dilahirkan, merusak keturunan, menghancurka rumah tangga, meretakkan perhubungan, meluasnya penyakit sepilis (veneral disease) dan AIDS , kejahatan nafsu dan merosotnya akhlak disamping itu reputasinya akan tercoreng di lingkungan masyarakat. Islam sebagai agama Rahmatan lil alamin (Universal) dengan keras melarang perzinaan serta memberikan ultimatum yang sangat tajam. Oleh karena itu tepatlah apa yang difirmankan oleh Allah:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (al-Isra’ : 32)[5]
Macam-macam zina dan hukumannya
1. Zina Muhsan ialah perbuatan zina yang dilakukan oleh pria/wanita yang wajib menjaga kehormatannya. Artinya, orang yang sudah berkeluarga atau menikah.
2. Zina Ghoiru Muhsan maksudnya adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh pria/wanita yang belum menikah.
Soal hukuman (panishment) bagi para pezina mushan dan ghoiru mushan banyak perbedaan pandangan. Menurut Mazhab Dzahiri pelaku zina muhsan (pelaku zina yang telah kawin) mendapat hukuman rangkap: dera dahulu kemudian rajam berdasarkan Hadis Nabi:
“Pelaku zina yang telah kawin atau pernah kawin itu didera 100 kali dan dirajam”.[6]
Berkaitan dengan hukuman bagi pezina itu, Imam Syafi’i juga berpendapat; hukuman rajam (stoning to death), yang berarti hukuman mati bagi pelaku zina muhsan sudah seharusnya dibebankan atas pelaku zina apabila perbuatan zina itu diketahui oleh empat orang saksi. Bagi Imam Syafi’i hukuman dera sangat pantas diberikan kepada pelaku zina muhsan karena si pelaku zina seharusnya (wajib) menjaga loyalitas dan nama baik keluarga, dan lagi perbuatan zina itu mengandung bahaya-bahaya yang besar bagi keluarganya, masyarakat, dan negara. Hal ini berdasarka firman Tuhan:
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”.[7]
Perbuatan keji: menurut Jumhur Mufassirin yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan zina, sedang menurut pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti : zina, homosek dan yang sejenisnya. menurut pendapat muslim dan Mujtahid yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). Dalam ayat surat An-Nur ayat 2 Allah SWT juga menjelaskan:“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
Hukuman dera (flogging) yang relatif ringan, menurut Imam Syafi’i, patut diberikan kepada pelaku zina yang belum kawin (ghairu muhsan), karena si pelaku masih hijau, belum berpengalaman, maka dengan hukuman dera itu diharapkan bisa memberi kesadaran padanya, sehingga ia tidak mau mengualangai perbuatannya yang tercela.[8]
B. Status Anak Zina Dalam Perspektif Islam
Anak zina adalah anak yang timbul dari perkawinan yang tidak sah, Karena anak itu hasil persetubuhan (sexual intercourse) atau bergaul antara wanita dan pria yang tidak menurut ajaran Islam.[9] Hal ini berarti, bahwa pergaulan itu dapat terjadi antara siapa saja baik antara adik-kakak, ayah-anak, ibu-anak maupun dengan yang lain. Karena perzinaan adalah suatu perbuatan yang tercela dan melanggar aturan-aturan Tuhan (Rule of God) serta salah satu pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan yang legal.
Sebenarnya dalam Islam tidak ada istilahnya dengan anak zina, sebab setiap yang baru lahir dalam kaca mata Islam adalah suci dan tidak memikul beban dosa orang tuanya. Anak yang dihasilkan dari perbuatan zina tetap tidak bersalah, tidak berdosa dan tidak bernoda, sebab seluruh kesalahan yang berlaku adalah dari dua manusia yang melakukan kesalahan itu. Dua manusia inilah yang berdosa, bersalah dan bernoda serta merekalah yang bertanggung jawab dan menerima ganjaran atas dosa-dosa zina yang telah diperbuatnya, jadi, bukan si anak.
Dengan demikian menurut hukum perdata Islam anak zina/jadah itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan hadis nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin Sar’i:
“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci/bersih (dari segala dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya manjadi Yahudi, atau Nasrani atau Majusi”.[10]
Berkaitan dengan beban dosa yang harus ditanggung oleh pelaku zina sendiri, berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Najm ayat 38:
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”[11]
Anak yang dilahirkan dari hasil zina ialah sama sebagai manusia biasa, ia tetap harus diberlakukan secara manusiawi, karena ia statusnya sebagai manusia normal yang berhak untuk mendapatka pendidikan, pengajaran, dan keterampilan untuk bekal hidup di masyarakat nanti. Ia memiliki hak hidup dan hak asasi yang sama dengan manusia lainnya. Ibu sebagai orang yang melahirkan anak tersebut bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya-materiil dan spiritual. Sebab anak itu (anak zina) dari hasil hubungan di luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.
Dengan demikian dalam hal warisan anak tersebut hanya mempunyai hak waris dari ibunya. Sedangkan dari ayahnya ia tidak berhak untuk mendapatkan warisan, sebab bapak yang telah menghamili ibunya (diluar nikah) lalu kemudian lahirlah anak itu statusnya tidak sah karena tidak ada legalisasi, baik dari hukum perdata Islam maupun dalam hal catatan sipil (hukum perdata di Indonesia). Meskipun ia memiliki hubungan darah secara lahiriah dengan bapaknya, akan tetapi dalam hubungan jiwa, perasaan dan jiwa tidak didapatkannya. Oleh karena itu hal inilah (status anak), yang harus dijadikan pertimbangan oleh setiap manusia ketika akan melakukan hubungan sek (sexual intercourse) diluar pernikahan yang sah.
Hukum anak zina
1. Jika seorang suami menuduh isterinya melakukan perzinaan tetapi tidak dapat dibuktikan, maka anak yang lahir dalam waktu sang isteri masih dibawah tangan Sang suami, anak itu adalah anak dari sang suami yang sah. Rasulullah S.a.w. bersabda:
“Anak itu adalah bagi ranjang (yakni bagi suami yang mempunyai ranjang itu) sedangkan sang isteri yang melacur itu dirajam.” (Bukhari)[12]
2. Bila seorang pria atau wanita dipaksa melakukan zina, maka ia tidak berdosa. Kalau setelah itu ia melakukan perkawinan dengan wanita tersebut secara sah,maka tidak terdapat persoalan apapun dalam soal anak ini. Anak yang dilahirkan adalah anak yang sah, sebab perzinaan yang dilakukan itu tidak membawa satu kesalahan di dalam hukum Islam berarti kedua pelaku perzinaan paksaan itu tidak didera atau dirajam.[13] Konsepsi itu sangat relevan dengan kaidah hukum Islam, yaitu:
“Keadaan darurat (terpaksa) itu membolehkan hal-hal yang terlarang.”[14]
C. Adopsi Anak Serta Status Hukumnya Dalam Perspektif Islam
Adopsi dalam kamus bahasa Inggris disebut dengan Adoption yang artinya pengangkatan atau pemungutan. Sehingga sering disebut dengan “ Adoption of a child ” yaitu pengangkatan atau pemungutan anak.[15]
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia adopsi bermakna pengakuan anak orang lain sebagai anak sendiri dan secara hukum.[16] Sedangkan pengertian adopsi menurut istilah, dapat dikemukakan definisi para ahli; antara lain:
* Muderis Zaini, S.H., mengemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, S.H. dengan mengatakan :
“Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atas pemeliharaan harta kekayaan rumah tangga.”[17]
Kemudian dikemukakan pendapat Surojo Wingjodipura, S.H dengan mengatakan:
Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan, pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dengan anak kandungnya. [18]
Dari dua pendapat para pakar yang telah dikemukakan diatas, mendeskripsikan, bahwa hukum adat membolehkan pengangkatan anak, yang status anak tersebut disamakan dengan anak kandung sendiri. Begitu juga status orang tua angkat, sama dengan orang tua kandung di anak angkat itu. Kedua belah pihak (orang tua angkat dan anak angkat), mempunyai hak dan kewajiban yang persis sama dengan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak kandungnya, dan atau anak kandung terhadap orang tuanya.
Pendapat diatas adalah didasarkan pada hukum adat yang berlaku di Indonesia yang mana anak angkat berhak memperoleh pengakuan yang sama layaknya anak kandung, baik dalam hal kasih sayang, pendidikan, pengajaran, kelayakan hidup, bahkan sampai dalam hal warisan dan perwalian dalam nikah.
Apabila adopsi atau Tabanni (bhs. Arab) diartikan sebagai “pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak kandung”. Maka jelas Islam melarang sejak turun Surat Al-Ahzab ayat 37:[19]
“Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia (setelah habis iddahnya) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya dari pada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjad”.
Ayat ini menerangkan kasus Zaid dengan Zainab diatas adalah untuk menegaskan bahwa:[20]
1) Adopsi seperti praktek dan tradisi di zaman Jahiliyyah yang memberi satatus kepada anak angkat sama dengan anak kandung tidak dibenarkan dan tidak diakui oleh Islam.
2) Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan baik anak angkat itu diambil dari intern kerabat sendiri, seperti di Jawa .
Prof. DR. Asy-Syekh Mahmud Syaltut. Ia mendefinisikan adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak, yang diketahuinya bahwa anak itu termasuk anak orang lain. Kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya; baik dari segi kasih sayangnya maupun nafkahnya (biaya hidupnya), tanpa ia memandang perbedaan. (Maskipun demikian) agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena itu tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandungnya.[21]
Dari definisi diatas, Mahmud Syaltut menggambarkan, bahwa anak angkat itu dalam hukum Islam sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang dan pendidikan, tetapi statusnya tidak dapat disamakan dengan anak kandung; baik dari segi pewarisan maupun dari segi perwalian. Hal ini, dapat disamakan dengan anak asuh, istilah yang sering dipakai sekarang.[22]
Dalam buku yang sama dia juga menggambarkan hal yang berbeda dengan apa yang telah dikemukakan dalam definisi adopsi diawal. Diversi lain, pendapatnya sama dengan apa yang telah disampaikan oleh Muderis Zaini, bahwa pengangkatan anak tersebut sama dengan tradisi Jahiliyah, dimana anak angkat itu sama statusnya dengan anak kandung, ia dapat mewarisi harta benda orang tua angkatnya dan dapat meminta perwalian kepada orang tua angkatnya bila ia mau dikawinkan.
Dalam agama Islam telah menetapkan antara orang tua angkat dengan anak adopsi tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya dengan hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Islam membolehkan adopsi dengan ketentuan:[23]
1) Nashab anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan orang tua angkatnya.
2) Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi perwarisan, hubungan mahrom, maupun wali (dalam perkawinan)
3) Karena anak angkat itu tidak berhak menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya.
KESIMPULAN
Pelaku zina dalam perspektif Islam diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu Zina Muhsan dan Zina Ghairu Muhsan, dari masing-masing kategori tersebut dalam masalah hukuman (Panishment) juga ada perbedaan. Untuk zina Muhsan si pelaku mendapat hukuman ganda, disamping didera juga di rajam dan ada yang mengatakan dirajam saja. Sedangkan untuk zina ghairu muhsan si pelaku zina hanya di kasih hukuman dengan dera (cambuk) sebanyak 100 kali.
Perbuatan zina yang dilakukan oleh pria/wanita berdampak besar pada perkembangan dan status si anak. Karena dalam hal urusan pewarisan dan perwalian, anak hasil zina tidak mendapatka hak, walaupun sebagian ulama’ berpendapat, bahwa statusnya sama dengan anak hasil hubungan legal akan tetapi ulama’ secara umum berkonsepsi sebaliknya.
Dalam locus (wilayah) sosial, anak zina tetap sebagai manusia biasa yang patut untuk diperhatikan dan diberlakukan secara manusiawi. Ia berhak mendapat pendidikan dan pengajaran serta hak hidup yang sama dengan anak-anak yang lain. Untuk warisan ia hanya dapat dari pihak ibu dan keluarganya sedangkan dari pihak ayah terputus, meskipun secara biologis (hubungan darah) dengan pihak ayah bersambung, akan tetapi secara jiwa dan perasaan ia tidak punya.
Disamping itu, terkait dengan status anak angkat (adopsi) kalangan ulama’ juga berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa status anak adopsi sama dengan anak kandung, yaitu dalam hal pewarisan dan perwalian sama kedudukannya layaknya anak kandung. Tapi, Jumhurul Ulama’ menetapkan, jika status anak adopsi tidak bisa disamakan dengan anak kandung. Oleh karenanya, dalam masalah hukum Islam memang banyak terjadi kontroversi pendapat akan tetapi itu adalah sebagai dinamika pemikiran dalam dunia islam yang dapat memperkaya pengatahuan dan produk pemikiran ulama’ fiqh (Baca: Pemikiran Ulama’ Fiqh).
DAFTAR PUSTAKA
Em Zul,Fazri dkk.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.2002.Jakarta: Diva Publisher.
Sabiq,Sayid .Fiqh al-sunnah, vol. II. 1981. Libanon: Darul Fikar
Zuhdi, Masjfuq. Masail Fiqhiyah.1997. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung
Qardawi,Yusuf.Halal dan Haram.1993. PT. Surabaya :Bina Ilmu
Syafi’i,Al-Imam. Al-Umm.Terj Prof. Ismail Yaqub Jilid X. 1986.Semarang
Echols, John M dkk. Kamus Bahasa Inggris. 1986.Jakarta: Gramedia
Mahjudin. Masailul Fiqhiyah”Berbagai Kasus Yang Dihadapi hukum Islam Masa kini”.2003. Jakarta : Kalam Mulia
Muderis,Zaini.Adopsi.1985. Jakarta:Bina Aksara
Fahrudin,Fuad Moh.Masalah Anak Dalam Hukum Islam. 1985. Jakarta Pusat: Pedoman Ilmu Jaya
Catatan Kaki
[1] Fazri Em Zul dan Ratu Aprilia Senja “ Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”. 2002.Diva Publisher.
[2] Sayid Sabiq, Fiqh al-sunnah, vol. II, Libanon, Darul Fikar, 1981;369 dalam Masjfuq Zuhdi, Masail Fiqhiyah, PT Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997. Cet. X. hlm. 34.
[3] Ibid.
[4] Fuad Moh. Fahrudin. “Masalah Anak Dalam Hukum Islam”. Pedoman Ilmu Jaya. Jakpus: 1985. hlm. 92.
[5] Yusuf Qardawi, Halal dan Haram. PT. Bina Ilmu. Surabaya: 1993. hlm. 201.
[6] Masjfuk Zuhdi, op. cit., hlm. 35-36.
[7] Imam Syafi’I, Al-Umm.Terj. Prof. Ismail Yaqub, al-Umm,(kitab Induk). Semarang:1986. Jilid X. Cet. I. hlm. 37.
[8] Ahmad Fathi Bahnisi, Al-Siyasah al-Jinaiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Cairo, Darul ‘Urubah, 1965. 17-18; vide Masjfuq Zuhdi, Op. Cit., hlm 38.
[9] Fachrudin Fuad, Op. Cit. hlm. 90.
[10] Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shaghir, vol. II, Cairo, Musthafa al-Babi al-Halabi, 1954, hlm. 17. Vide Masjfuk Zuhdi, Op. Cit. hlm. 39.
[11] Ibid. hlm. 39.
[12] Fachrudin Fuad, Op. Cit. hlm. 101.
[13] Ibid.
[14] Vide Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, Jakarta, CV. Haji Masagung, hlm. 114-117.
[15] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris, Pen. PT. Gramedia, Jakarta, 1986, hal. 13. Vade Drs. H. Mahjudin, Masailul Fiqhiyah”Berbagai Kasus Yang Dihadapi hukum Islam Masa kini” Kalam Mulia, Jakarta, 2003. hlm. 82.
[16] Em Zul Fajri. Op. Cit. hlm. 19.
[17] Muderis Zaini, Adopsi, Pen. Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal.5. Vade H. Mahjudin, Op. Cit. hlm. 82.
[18] Ibid.
[19] Masfuk Zuhdi. Op.Cit.. hlm 29
[20] Ibid .hlm 30
[21] Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Pen. Darul Qalam, tt., 321. Vade H. Mahjudin. Op. Cit. hlm.83.
[22] Ibid. hlm 84.
[23] Mahjudin. Masail Fighiyah.Op,Cit… hal 87-88
sebelum anak yang dilahirkan dari hasil zina.. ibu dan lelaki yang melakukan perbuatan zina berkahwin,apakah nikah nye sah.
ReplyDelete1)saya mendapat pendapat dari seseorang nikah nye tak sah
2)ibu dan si ayah di katakan harus bernikah sekali lagi.
Mintak penjelasan dari ustad