Allah Yang Menurunkan Al-Furqan

Allah yang menurunkan Al-Furqan itu adalah Dia yang milik-Nya sendiri kerajaan langit dan bumi sehingga wajar jika Dia mengutus Rasul, dan memberi tuntunan, dan disamping Dia sendiri Pemilik alam raya dan pengelolanya. Boleh jadi anda yang menduga bahwa kepemilikan Allah itu terbatas waktunya – sebagaimana kepemilikan penguasa duniawi sehingga mereka membutuhkan anak sebagai putra mahkota atau pembantu dalam mengelolanya. Untuk menampik dugaan itu ayat di atas melanjutkan bahwa dan disamping Allah pemilik, penguasa dan pengelola alam raya, Dia juga tidak mempunyai anak yang membantu atau melanjutkan kekuasaan-Nya, dan tidak ada juga bagi-Nya satu sekutu pun dalam kekuasaan-Nya, sehingga tidak ada penguasa di alam raya ini kecuali Dia semata, dan di samping itu Dia telah menciptakan segala sesuatu. Tidak ada yang maujud kecuali hasil ciptaan-Nya.

Kaum Musyrikin Mekah menduga dan percaya bahwa Allah telah melimpahkan sebagian wewenang-Nya kepada tuhan-tuhan yang mereka sembah. Nah, untuk menampik dan membatalkan kepercayaan itu, ayat ini melanjutkan bahwa disamping Dia adalah Penguasa Tunggal dan telah menciptakan segala sesuatu, lalu yakni begitu selesai proses awal dari penciptaan-Nya itu Dia menetapkan ukuran-ukuran yang sesuai dengan masing-masing ciptaan-Nya penetapan dan ukuran serapi-rapinya sehingga semua mkhluk berpotensi melaksanakan fungsi-fungsi yang harus diembannya dengan teratur dan sistematis.
Pada ayat ini pun tidak disebut nama Allah, sama dengan ayat pertama, namun penekanannya pada ayat ini adalah pada keesaan Allah Swt.

Kata al-mulk adalah kepemilikan dan penguasaan atas segala sesuatu sekaligus menundukkannya sesuai kehendak pemilik. Ketika ayat di atas menyatakan bahwa langit dan bumi hanya milik Allah, maka itu berarti bahwa di samping kepemilikan-Nya, keduanya pun di bawah kendali dan pengaturan-Nya semata-mata. Dengan demikian, langit dan bumi tidak memiliki kemandirian dan kebebasan dalam segala kegiatannya kecuali atas dasar restu dan kehendak Allah, sebagai Pemilik dan Pengelolanya.

Kata khalaqa terambil dari kata khalaq yang makna dasarnya adalah mengukur atau memperhalus. Makna ini kemudian berkembang sehingga berarti antara lain, mewujudkan atau menciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengatur, membuat, dan sebagainya. Biasanya kata khalaqa dalam berbagai bentuknya memberikan penekanan pada kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya, berbeda dengan ja’ala/menjadikan yang mengandung penekanan pada manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari suatu yang dijadikan-Nya itu.

Penciptaan, sejak proses pertama hingga lahirnya sesuatu dengan ukuran tertentu, bentuk, rupa, cara dan substansi tertentu, sering hanya dilukiskan Al-Qur’an dengan kata khalaqa. Di sini karena disebutkan proses yang lain, yaitu faqaddarahu, maka kata khalaqa dibatasi pengertiannya pada mewujudkan.

Prosess lebih lanjut adalah faqaddarahu yang akar katanya terambil dari hurufh-huruf qaf, dal, dan ra’ yang makna dasarnya adalah batas terakhir dari sesuatu. Bila Anda berkata: “Qadar/kadar sesuatu sedemikian”, maka dari itu berarti Anda telah menjelaskan batas akhir dari mutu dan kuantitasnya.

Kata qaddara antara lain berarti mengukur, memberi kadar/ukuran, sehingga pengertian ayat ini adalah memberi kadar/ukuran/batas-batas tertentu dalam diri, sifat, ciri-ciri kemampuan maksimal, bagi setiap makhluk-Nya.

Semua makhluk telah ditetapkan oleh Tuhan kadarnya dalam hal-hal tersebut hal-hal tersebut. Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu. Proses lebih jauh yang disebut dalam surat al-A’la adalah fa bada yakni Allah swt. menurut dan menunjukkan kepada makhluk-makhluk-Nya itu arah yang seharusnya mereka tuju.
Matahari ditakdirkan Allah swt. beredar dalam waktu tertentu, ia tidak dapat melampaui batas tersebut. Allah berfirman:

“Dan matahari beredar di tempat peredarannya demikian itulah takdir/ketetapan yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (QS. Yasin{36}: 38).
Demikian pula bulan:

“Dan telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua” (QS. Yasin {36}: 39).
Dalam QS. Al-Hijr {15}: 19-21 dinyatakan-Nya bahwa:

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut qadar/ukuran. Dan kami menjadikan untuk kamu di bumi keperluan-keperluan hidup dan Kami menciptakan pula makhluk-makhluk lain yang kemu sama sekali bukan pemberi rizki kepada mereka. Dan tidak sesuattu pun kecuali ada di sisi Kami khazanah (sumber)nya dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu”

Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang mengulang-ulang hakikat tersebut. Walhasil segala sesuatu termasuk manusia ada takdir yang ditetapkan Allah atasnya, takdir tersebut mencakup banyak aspek, antara lain seperti yang penulis kemukakan di atas.

Sayyid Qutub ketika menafsirkan ayat ini mengutip dengan cukup panjang uraian A. Marison, ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Amerika, dalam bukunya Man Doesn’t Stand Alone antara lain: bahwa suatu hal yang mengundang decak kagum dan keheranan adalah system alam raya seperti keadaannya dewasa ini sesungguhnya sangat teliti, karena seandainya kulit bumi lebih tebal dari apa yang ada sekarang walau hanya beberapa kali maka pastilah CO2 (karbon dioksida) menyerap O2 (oksigen), dan pastilah tumbuh-tumbuhan tidak dapat hidup. Seandainya udara jauh lebih tinggi dari posisinya sekarang ini pastilah jutaan binatang-binatang akan terbakar hangus di angkasa dan menghancurkan seluruh bagian bumi. Kepadatan udara telah tercipta sedemikian rupa, memungkinkan sinar yang memberi pengaruh positif terhadap tumbuhan dapat terpenuhi, sekaligus membunuh kuman-kuman dan menghasilkan vitamin dan dalam saat yang sama tidak membahayakan manusia – kecuali jika dia berlama-lama ditengahnya.dan kendati adanya semburan-semburan gas dari bumi sepanjang masa – yang pada umumnya beracun – namun demikian udara dapat bertahan segar tanpa pencemaran dan tanpa terjadi kepincangan dalam keseimbangannya bagi kehidupan manusia. Di lain pihak, seandainya kadar oksigen di udara mencapai 50 % atau lebih – bukan 21 %, maka semua bahan yang berpotensi terbakar di dunia ini akan terbakar. Semburan kilat yang menerpa satu pohon, ppastilah akan membakar hutan sedemikian hebat, sehingga hampir-hampir saja meledakkannya.sebaliknya jika kadar oksigen turun hingga mencapai 10 % atau lebih rendah lagi, maka boleh jadi kehidupan kembali sebagaimana keadaannya pada masa-masa silam yang sangat jauh, dan jika demikian, maka sedikit sekali dari peradaban yang dikenal manusia selama ini akan tersedia.

Lebih jauh dikutip oleh Sayyid Qutub, bahwa serangga berbeda dengan manusia, ia bernafas melalui selang. Dalam pertumbuhan serangga, selangnya tidak dapat tumbuh mengikuti pertumbuhan fisiknya, karena itu berkat system pernafasan serangga dan ciri penciptaannya yang sedemikian teliti, maka tidak ada serangga raksasa. Pembatasan pertumbuhan itu sekaligus mengekang serangga-serangga agar tidak mengtuasai alam. Bayangkanlah kalau ada lebah atau laba-laba sebesar singa. Demikian sedikit banyak informasi yang dikutip oleh Sayyid Qutub guna membuktikan betapa telitinya takdir dan ukuran-ukuran yang ditetapkan Allah swt.

Ayat 2 di atas dikomentari oleh penyusun tafsir al-Muntakhah lebih kurang sebagai berikut: ilmu pengetahuan modern menyatakan bahwa semua makhluk, dari sisi kejadian dan perkembangan yang berbeda-beda, berjalan sesuai dengan sistenm yang sangat teliti dan bersifat konstan. Tidak ada yang mampu melakukan itu kecauali Allah, Dzat yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Dari sisi kejadiannya, sudah jelas semua makhluk – terlepas dari perbedaan jenis dan bentunya – terdiri atas kesatuan unsur- unsure yang sangat terbatas jumlanya, hamper seratus unsure. Dari jumlah itu, baru 90 unsur di antaranya sudah dikenal saat ini. Sifat-sifat alami, kimiawi dan berat atomnya tumbuh secara berangsur-angsur. Dimuali dengan unsure nomor satu, yaitu hidrogen yang memiliki berat atom 1. Sementara ini yang terakhir ditemukan adalah unsur kesembilan kesembilan puluh enam, yaitu unsure uranium yang berat atomnya sampai saat ini belum diketahui. Unsur terakhir yang ditemukan berat atomnya adalah uranium yang memiliki berat atom 238,57. Kesatuan unsur-unsur tadi kemudian membentuk sebuah komposisi sesuai dengan hokum yang telah ditetapkan dan tidak akan pernah melenceng. Demikian pula yang terjadi pada tumbuh-tumbuhan dan hewan. Masing-masing terbagi pada kelompok dan jenis yang berbeda. Sedangkan dalam tahapan perkembangannya, sifat-sifatnya berkembang dari makhluk hidup bersel satu, seperti mikroba, sampai kepada makhluk hidup yang bersel banyak, seperti manusia yang dapat dikatakan paling sempurna. Setiap jenis memiliki sifat-sifat tertentu yang diwarisi dari generasi ke generasi.

0 comments:

Post a Comment