Muhsin Noor dari Pesantren Al-Muslimun Cianjur bisa disebut salah seorang komunitas pesantren yang secara tegas menekankan pentingnya sosialisasi akhlakul karimah untuk Muslim Indonesia. Menurutnya, pengenalan syari’at Islam adalah dengan pengenalan dan sosialisasi pentingnya Akhlakul Karimah. Ia menjadi salah satu alternatif terbiuk untuk hal itu. Bukan dengan kalan kekerasan, yang belakangan ini berkembang di sebagian Muslim Indonesia.[1]
Dia menambahkan, ajaran yang telah disampaikan dalam al-Qur’an dan Hadist bahwa Muslim hendaklah ke dalam agama Islam secara semuanya (kaffah), dan tidak mengikuti nafsu syaitan. Umat Islam tidak boleh menyakiti non-muslim, karena Islam pada dasarnya adalah rahmat bagi sekalian alam. Maka, bila penerapan syari’at Islam dengan akhlakul karimah, itu tidak akan mengganggu kalangan non-Muslim. Dan hal inlah yang sedianya menjadi agenda Muslim Indonesia.[2]
Senada dengan itu, Abdullah Margani dari Pesantren al-Musaddadiyah Garut menyatakan, metode penegakan Syari’at Islam harus dimulai dari sosialisasi akhlak yang baik. Selain itu, strategi penegakan lewat jalur atas dan bawah harus dilakukan secara bersama-sama. Maksudnya, pemimpin harus bisa dijadikan contoh, sedangkan di kalangan bawah seperti di pondok pesantren dan masyarakat sekitar harus memonitori pelaksanaan syari’at Islam. Jangan sampai, kebiasaan sandal yang hilang di masjid, lemari di pesantren di bongkar, baju jemuran hilang, dan hal sepele-sepele lainnya dibiarkan terjadi. Menurutnya, dalam menerapkan syari’at Islam, “kita harus back to basic bagaimana kita bisa berprilaku yang baik, bagaimana performance kita dalam kehidupan berdagang, bermasyarakat, dan bernegara”. Sekarang bagaimana kita tampilkan performance kita, bagaimana berdagang yang jujur sebagaiaman diajarkan rasulullah, dari prosedur-prosedurnya sendiri, dan sebagainya. Yang penting kita mampu memiliki pemimpin yang bisa menjadi tauladan. Tambahnya, “kalau kita punya pemimpin satu orang saja yang bisa menjadi tauladan, insya Allah cukup. Jadi permasalahan yang utama bukanlah isu-isu yang tadi, tapi bagaimana kita menjadikan ada tauladan minimal diri kita. Itu yang harus menjadi isu utama, bagaimana agar supaya Islam beres”.[3]
Begitu pula pandangan serupa dikemukakan seorang responden dari Pesantren Miftahul Huda di Tasikmalaya.. Manururny, untuk menegakkan syari’at Islam harus dimulai dengan individu masing-masing. Terutama yang dari pesantren, mereka harus berjiwa Islami seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad. Dan kita harus betu-betul menanamkan rasa cinta terhadap Islam ke masyarakat. “Orang yang sudah mencintai apapun yang kita usulkan akan mereka setujui. Kalau sudah begitu otomatis kita akan mudah untuk menegakkan syari’at Islam”, demikian di berujar.[4] Jadi, jelas bahwa akhlakul karimah sebagaimana dipraktikkan Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari adalah jalan paling mudah untuk menegakkan syari’at Islam.
Di samping akhlakul karimah, H. Iqbal Santoso dari Pesantren Persis Garut menambahkan satu poin lain, yakni pendidikan. Hal ini antara lain didorong oleh pengalamannya—saat hendak merekrut lulusan madrasah dan pesatren untuk bekerja di Bank Syari’ah—bahwa SDM Muslim masih lemah. Jadi, ketika mereka ingin menegakkan Syari’at Islam, tetapi masih banyak dari mereka yang tidak mengetahui sistem politik Islam, perekonomian Islam, dan peradilan Islam, maka itu bisa menjadi boomerang bagi umat Islam sendiri. Maka, salah satu hal yang harus dlakukan dalam rangka penegakkan Syari’at Islam adalah mempersiapkan sumber daya masyarakat Muslim terlebih dahulu. Dia menegaskan “Jika masyarakat Muslim telah tercipta dan kokoh, maka syari’at Islam dapat ditegakkan dengan mudah. Pada zaman dahulu, Nabi lebih mengutamakan menciptakan masyarakat Muslim, baru setelah itu beliau menegakkan syari’at Islam”.[5]
B. Posisi Non-Muslim dalam Penegakan Syari’at Islam
Isu akhlakuk karimah dalam penegakkan syari’ah Islam tentu bukan tanpa alasan sosiologis yang kuat. Dalam sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama seperti Indonesia, penegakan sebuah aturan agama tertentu sebagai dasar resmi untuk menjalankan kebijakan politik, hukum, dan sosial sehari-hari, tidak bisa langsung diterima begitu saja. Bahkan, hal itu berlawanan dengan prinsip demokrasi yang menjamin persamaan hukum dan hak bagi semua warga negara.
Kekhawatiran terbesar yang dirasakan oleh umat agama lain di Indonesia pada penegakan syari’at Islam secara formal sebagian timbul dari pertanyaan besar tentang bagaimana nasib dan posisi mereka (non-Muslims)? Apakah dengan penegakan syari’at Islam mereka menjadi warga negara kelas dua yang tidak lagi bebas mengekspresikan keyakinannya dan dijamin hak-haknya? Apakah mereka nanti juga akan dipaksa untuk mengikuti tata cara hidup Islami? Dan sejauh mana eksistensi hidup mereka dengan aturan yang baru itu? Dan, memang, hal itu pula yang menjadi salah satu perhatian kalangan pesantren.
Demikianlah, Siti Asadiyah—seorang guru senior pada Pesantren Darussalam Ciamis—misalnya, bependapat bahwa non Muslim tidak perlu khawatir dengan penegakan syari’at Islam secara formal sebagai undang-undang negara. Karena, mereka pasti akan dilindungi eksistensi dan keberadaannya. “Ya pasti dilindungi. Ini kan sudah ada sejarahnya, sejak zaman Rasul sampai sahabat. Ketika itu Muslim yang nomor satu dan non-Muslim takluk, dan mereka itu memberikan upeti kepada umat Islam” ujarnya.[6] Bila kita lihat pernyataan itu, secara tersurat jelas bahwa umat non-Muslim akan dilindungi, namun dengan syarat mereka memberikan upeti kepada umat Islam. Dari pernyataan itu, secara tidak langsung juga ditegaskan bahwa posisi umat non-Muslim sebagai warga negara kelas dua adalah hal yang sangat mungkin dan wajar dalam penegakan syari’at Islam.
Mengamini pendapat di atas, Asep Suja’i Farid dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya menyatakan bahwa justru dengan syari’at Islam umat non-Muslim akan lebih terlindungi. Hal itu sudah dicontohkan Rasulullah ketika di Madinah. Saat itu, menurutnya, umat non-Muslim lebih terjamin untuk melakukan perdagangan, praktik keagamaan, kegiatan sosial-politik, serta urusan kehidupan lainnya. Ketakutan umat non-Muslim di Indonesia, menurutnya, dikarenakan sikap yang apriori terlebih dahulu tanpa melihat sejarah Nabi. Hal itu ditambah lagi oleh sikap sebagian tokoh umat Islam sendiri yang tidak berusaha memperjuangkan Piagam Jakarta secara sungguh-sungguh. “Kalau melihat pengalaman itu, mereka malah bisa lebih terlindungi, karena ada contoh yang Rasulullah telah laksanakan di Madinah. Lebih terjamin lah. Kalau ada Piagam Jakarta, insya allah syari’at Islam kin sudah berjalan di seluruh indonesia. Minimal Jawa dan Sumatera. Karena yang bagian timur kan mayoritas waktu itu orang kafir” paparnya tentang masalah ini.[7]
Soal kemungkinan terjadinya pengkelasan kewarganegaraan juga dinyatakan M. Mufti dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Dia berpendapat, kalau dilihat dari sudut pandang teori negara, kemungkinan itu sangat ada. Sebab, ketika suatu negara dibangun berdasarkan hukum agama tertentu, tentu warga negara yang menganut agama yang sama dengan negara yang akan lebih terjamin hak-haknya, begitu juga sebaliknya. Bahkan, seharusnya aturan itu juga bisa diterapkan ke umat agama lain yang tinggal di negara itu.[8]
Namun, lain halnya dengan pendapat Latif Awaluddin dari pesantren Persis Pajagalan, Bandung. Dia menyatakan bahwa aturan hukum dan kehidupan sehari-hari dalam penerapan syari’at Islam tidak diwajibkan bagi umat non-Muslim. Meski umat Islam diwajibkan menutup aurat, untuk warga non-Muslim tidak harus, bahkan dia tidak harus shalat. [9] Dan pendapat yang sama juga dikemukan Ustadz Syamsuddin dari Pesantren Darul Muttaqin, Cirebon. Menurutnya, dalam konteks Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama, pemaksaan penerapan syari’at Islam kepada non-Muslim tidak bisa dibenarkan. “Islam ini bukan suatu paksaan, kita tidak bisa memaksakan Islam kepada orang-orang yang memang belum ada petunjuk dari Allah. Artinya kita mau mendakwahi kayak apapun dan memaksakan, malah kita nanti dipermasalahkan. Jadi barang siapa yang sudah mengerti dan memahami marilah kita sama-sama jalan, kalau itu belum ya masing-masing saja” katanya memberikan argumen soal larangan pemaksaan itu.[10] Dengan demikian, meski orang-orang Kristen, Budha, dan agama lainnya itu sebagai orang kafir umat Islam tidak dibenarkanb memerangi mereka. Lebih jauh, Ustadz Syamsuddin berkata:
Hari ini kitab mereka (orang Kristen dan sebagainya) kan bikinan baru. Dan kita memahami Nabi yang terahir kita Nabi Muhammad, berarti Islam itu yang dibawa dan mestinya semua manusia kembalinya pada Islam dan bukan pada agama lainnya. Kita anggap mereka ini tidak menuhankan pada Allah, berarti orang kafir. Tetapi apakah kita harus memerangi mereka? Tidak. Kita ini Islam, damai, tapi diarahkan ke Islam dan tanpa paksaan dan kita tidak sepakat dengan kekerasan. Bahkan, kita ajarkan kepada anak-anak bahwa Islam ini bukan kekerasan tapi kita damai, baik, santun kepada siapa saja kepada semua orang yang tinggal disekitar kita”.[11]
Lain lagi dengan Mastuhi Abdul Ghafur dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Menurutnya, kalau syari’at Islam sudah ditegakkan dan ditetapkan secara formal sebagai undang-undang daerah seperti di Aceh, maka non-Muslim harus mengikuti aturan itu. Hanya saja, untuk daerah lain perlu diuji coba sejauhmana penerimaan masyarakat terhadap syari’at Islam secara formal dalam undang-undang. Jika di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, maka mau tidak mau masyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi. Namun, untuk konteks keseluruhan negara Indonesia, dikhawatirkan penerapan aturan ke non-Muslim akan menyebabkan perang agama. Lebih tegasnya dia berujar:
“Kalau itu sudah masuk dalam undang-undang daerah artinya sudah diberlakukan seperti itu. Kalau daerah lain ya silahkan saja. Pokoknya kalau awalnya diletakkan ini seperti itu akan kokoh. Tapi kalau undang-undang resminya sudah berjalan begini bisa perang agama, dunia akan bertindak bahkan akan digencet Indonesia kalau non muslim dipaksa ikut aturan muslim. Maksudnya di Indonesia dipusat, kalau didaerah awalnya begitu karena mayoritas muslim maka mereka mau tidak mau mereka msyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi”.[12]
Meski demikian, dia menambahkan, jika suatu saat nanti Indonesia berhasil menerapkan syari’at Islam dalam undang-undang dan sudah ditetapkan, maka seluruh warganya—Muslim dan non-Muslim—wajib mengikutinya. Seperti di Malaysia dan Arab Saudi yang sudah memberlakukan hukum Islam, warga non-Muslim mau tidak mau memang mengikutinya. Menurutnya, kesalahan negara Indonesia adalah kenapa dahulu saat kemerdekaan syari’at Islam tidak diberlakukan dan ditetapkan sebagai aturan negara. Jika pada masa itu berhasil, aturan itu pasti akan diterima tidak hanya oleh warga Muslim saja tapi juga oleh semua warga negara lainnya. [13]
Pendapat serupa dikemukakan Asep Ahmad Mausul Affandi dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya. Menurutnya, kita tidak bisa mengubah keyakinan orang, karena sebagi pengikut Nabi terakhir sudah semestinya mengikuti Nabi yang tidak suka memaksakan kehendak pada orang lain. Dia mencontohkan, meski Abu Thalib tiap hari bergaul dan hidup dengan Nabi Muhammad yang dibimbing dengan wahyu dan dibekali dengan mukjizat, sampai akhir hidupnya ia tetap kafir. Menurutnya, itu adalah fakta sejarah yang harus diterima. Meski demikian, dia percaya bahwa syari’at Islam sebetulnya bisa ditegakkan sebagai aturan di negeri ini, termasuk untuk warga non-Muslim.[14]
Demikianlah, bila melihat berbagai pendapat di atas, sangat wajar jika banyak non-Muslim khawatir akan posisi mereka jika syari’at Islam diterapkan. Menurut Saiful Mujani, sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok di masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Namun, jika sudah menjadi menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka akan mengikat semua warga negara, baik Muslim maupun non- Muslim. Dan kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang syari’ah, mulai terancam eksistensinya.[15]
C. Antara Syari’at Islam, Negara Islam, dan NKRI
Guna mencari jalan penegakan syari’at Islam yang lebih efektif dan komprehensif, banyak dari kalangan penegak syari’at Islam yang menganggap bahwa pendirian negara Islam menjadi agenda yang mesti dipikirkan dan dilaksanakan. Negara Islam menjadi jaminan paling diandalkan dalam rangka pelaksanaan syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat. Dan isu negara Islam ini memang menjadi satu poin penting yang berkembang di kalangan Muslim Indonesia, khususnya di pesantren yang menjadi sasaran penelitian. Menyangkut isu ini setidaknya terdapat tiga tiga pola pemikiran yang muncul, yakni moderat, fundamentalis, dan mengambang.
D. Moderat
Pemikiran moderat diungkapkan antara lain oleh Fadhil Yani Ainussyamsi dari Pondok Pesantren Darussalam Ciamis. Dia berpendapat bahwa penegakan syari’at Islam dan negara Islam merupakan harapan semua umat Islam. Jika soal negaranya mau mau berdasarkan Pancasila atau Islam, yang penting syari’at Islam tegak terlebih dahulu. Jadi, masyarakatnya harus dibentuk dahulu berdasarkan nilai-nilai Islam. Keadaan ini secara otomatis mengubah sistem demokrasi menjadi sistem Islam.[16] Dengan demikian, perubahan karakter Muslim tersebut sangat penting, karena ia menjadi satu prasyarat utama bagi dalam menyukseskan penegakan syari’at Islam.
Pendapat Fadhil di atas diamini oleh Abdul Aziz dari Pesantren Darusslama, Ciamis. Seraya mengacu pada sejarah dakwah Rasulullah, dia berpendapat bahwa agenda penegakan syari’at Islam pertama kali bukan dilakukan dengan jalan pendirian negara Islam. Namun, yang jauh lebih penting adalah bagaimana syari’at Islam bisa diterima dan dipahami masyarakat. Dan jalan itu bisa ditempuh dengan menanamkan prinsip keimanan dan ajaran Islam kepada bangsa Indonesia. “Jadi, bukan dengan cara merusak Pancasila atau undang-undang, tapi bagaimana kita menanamkan ajaran Islam kepada bangsa Indonesia. Rasullah menanamkan keimanan itu tidak sebentar. Sebelum ada perintah shalat dan zakat, yang pertama ditanamkan adalah keimanan, keyakinan kepada Allah. Maka untuk sekarang ini kita jangan memerangi pemerintah, tapi menanamkan kepada pemerintah tentang ajaran islam yang benar. Maka undang-undang atau falsafah akan berubah sendiri” katanya menjelaskan[17]. Lebih lanjut dia berpandngan bahwa sekarang ini umat Islam sebagai mayoritas belum menjadi kekuatan. Jika kita berhasil menanamkan ajaran Islam itu, Islam akan menjadi sebuah kekuatan besar yang secara otomatis akan merubah falsafah Pancasila. Dan untuk mencapai hal itu, Muslim harus berusaha keras dan jangan hanya mengandalkan pada beberapa kelompok saja.
Abdullah Margani dari Pesantren Al-Musaddadiyah, Garut, menambahkan, bahwa persoalan umat Islam yang belum banyak memahami tentang pentingnya dan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari bukan terletak pada belum terbentuknya negara Islam atau karena negara Indonesia masih sekuler. Hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan Muslim untuk bersatu hingga menghasilkan sebuah kekuatan. Maka, kita hendaknya jangan menyalahkan keadaan dan orang lain. Lebih jelasnya dia berkata sebagai berikut:
“Bukan masalah itu, tapi ketidakmampuan umat Islam untuk bersatu sehingga menghasilkan kekuatan. Jangan menyalahkan orang lain, karena kita sendiri yang salah. Dari mulai ulamanya yang awal sampai kita, kita yang salah. Sehingga tidak bisa menghasilkan kekuatan, suatu musyawarah, sehingga negara ini tidak menjadi negara Islam. Atau minimal menjadi negara yang menjadikan Islam sebagai agama resminya”.[18]
Perlunya menanamkan nilai-nilai Islam guna menegakkan syari’at Islam ini, juga diungkapkan oleh Cucu Cahyana dari Pesantren Darussalam, Ciamis. Dia berujar bahwa penanaman syari’at Islam secara bertahan dan perlahan—mulai dari individu, keluarga, desa, kecamatan, kabupaten lalu ke yang lebih luas—sangat perlu. Jadi, nantinya penggantian Pancasila dan UUD 1945 dengan Islam bisa dijalankan dengan mudah. Ini dalam ramgka menghindari agar jangan sampai ketika negaranya sudah berdasarkan syari’at Isam, orang-orang Islam justru tidak siap menerimanya dan ada sebagian yang tidak berperilaku Islami[19] Dan pendapat serupa juga disuarakan kaum Muslim lain dari pesantren yang diteliti, seperti Iqbal Santoso dari Pesantren Persis Tarogong, Garut, [20] Dodo Murtadho dari Pondok Pesantren Riyadul Huda Kuningan[21], dan Udi Samahudi, juga dari Pesantren Nurul Huda, Kuningan. [22] Mereka umumnya berpendapat bahwa agenda paling mendesak dan penting untuk dilakukan adalah penanaman syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat.
E. Fundamentalis
Sementara itu pemikiran kedua, di sini disebut bercorak fundamentalis, justru menekankan perlunya mendirikan sebuah negara Islam sebagai jalan untuk menegakkan syari’at. Hal ini dikemukakan antara lain oleh Syarif Hidayat dari Pesantren al-Hasan, Ciamis. Dia berpandangan bahwa idealnya penegakan syari’at Islam dibarengi dengan perubahan hukum dan dasar negara. Sebab, hal ini akan lebih menciptakan kekompakan dan kekuatan di kalangan umat Islam. Dia juga mengkritik bahwa gerakan penegakan syari’at dan negara Islam itu tidak kompak, yang akhirnya menjadikannya sebagai gerakan bawah tanah dan akibatnya hingga sekarang belum membuahkan hasil.[23]
Pendapat tersebut diamini Asep Ahmad Mausul Affandi dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya, yang juga menjadi Wakil Ketua Lajnah Tanfidziah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Menurutnya, untuk menegakkan syari’at Islam, perlu menciptakan eksekutor atau membikin imamah (kepemimpinan) khusus. Negara ini mau bentuknya apa saja, yang penting Islam punya pemimpin yang bisa ditaati dan dijadikan rujukan. Dia juga berpendapat bahwa konsep syari’at Islam adalah wajib dan bagi yang menolaknya tergolong sebagai orang kafir.[24] Dan dalam rangka menciptakan imamah (kepemimpinan) yang menjamin syari’at Islam terlaksana, kaum Muslim harus merebut kekuasaan agar memiliki kekuatan untuk menegakkan syari’at Islam. Dia berujar:
Jadi umat islam memang tidak berdaya, mereka kalau kita tanya siapa pemimpin islam di Indonesia, saya nggak tanya pemimpin negara islam indonesia, nggak. Negara itu salah satu bagian dari syari’at Islam, bukan syari’at Islam itu identik dengan negara. Salah satu bagian kecil, bukan syari’at Islam bagian dari negara. Jadi negara harus tahu tentang syari’at Islam[25]
Perlunya menciptakan kepemimpinan di atas juga didukung oleh para santri bimbingan Asep Mausul dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya. Yana, seorang santri senior, mengungkapkan bahwa untuk saat ini penegakan syari’at Islam secara komprehensif masih mengalami banyak kendala. Hal itu terutama karena masih banyak kalangan yang belum paham tentang manfaat dan pentingnya ide ini. Terlebih lagi, gagasan itu akan mengalami benturan dengan para pemimpin dan pengambil kebijakan di pemerintah. Oleh karenanya, jumlah orang yang menegakkan syari’at Islam harus terus dikembangkan dan pemimpin yang ada seyogyanya mendukung ide itu. “Berapa persen sih yang menerima syari’at Islam, 2 % (dua persen) pun belum tentu kan. Jadi menegakkan syari’at itu harus dan tidak sebagian-sebagian tapi harus total. Cuma polanya yang harus dibuat sedemikian rupa. Jadi, kalau dengan Pancasila saya kira tidak bisa untuk menegakkan syari’at Islam secara kaffah” ujarnya menegaskan.[26]
Pemahaman bahwa dengan Pancasila kaum Muslim tidak bisa menegakkan syari’at Islam secara menyeluruh jelas mengandaikan pendirian sebuah negara Islam. Jadi, syari’at Islam harus ditindaklanjuti dengan perebutan kekuasaan. Masih menurut Yana, “menegakkan syari’at Islam ya jelas mendirikan negara Islam. Hanya sekarang ini kelihatannya publik yang memutakbalikkan fakta. [27] Demikian halnya dengan Asep Asep Suja’i Farid dari Pesantren Cintawana, Tasikmalay. Dia berpendapat perlunya penegakan syari’at Islam lewat jalur kekuasaan, mulai dari tingkat lokal hingga negara. Beberapa daerah yang sudah mendeklarasikan syari’at Islam, seperti Cianjur, Sukabumi, dan Tasikmalaya, perlu dijadikan pengalaman dan contoh umat Islam yang daerah lain. Pada era otonomi daerah seperti sekarang ini, momentum itu hendaknya dijadikan sebagai strategi untuk mendeklarasikan syari’at Islam di tingkat lokal agar bisa diterima masyarakat, selanjutnya ketika sudah banyak daerah yang melakukan deklarasi, negara Islam lebih gampang ditegakkan. Dia berkata:
“Negara Islam itu bisa belakangan, syari’at Islam dulu disodorkan ke masyarakat, kalau udah diterima barulah. Kalau negara kan scopenya luas, dari Sabang sampai Merauke. Paling juga kita bisanya bertahap. Nah tiap-tiap daerah kan udah ada otonomi, jadi mereka bisa mulai mendeklarasikan syari’at. Ya mudah-mudahan lah nanti bisa benar-benar terlaksana” katanya menjelaskan soal ini.[28]
F. Mendua (ambivalen)
Corak pemikiran ketiga adalah pendapat yang melihat bahwa penegakan syari’at Islam dengan mendirikan negara Islam menunggu saat yang tepat. Ini antar4a lain diungkapkan oleh Mastuhi Abdul Ghafur dari Pesantren Baiturrahman Jawa Barat. Dia menyatakan bahwa pendirian syari’at Islam lewat negara seperti yang dilakukan di Iran, Pakistan, dan Sudan, mensyaratkan bahwa posisi umat Islam kuat. Dan, sayangnya, kekuatan itu tidak ada di Indonesia. Pencabutan Piagam Jakarta dari dasar negara Indonesia pada awal kemerdekaan dahulu menjadikan cita-cita itu sulit direalisasikan. Padahal, dengan Piagam Jakarta, semua urusan negara menjadi lebih mudah diatur dengan hukum Islam. Jika seperti sekarang ini, syari’at itu hanya menjadi kewajiban individu yang tidak atur oleh negara. Dia berkata:
“Kalau perorangan itu masing-masing haknya. itu haknya pribadi. Kalau hak negara, otomatis negara yang mengatur, seperti Nabi Muhammad yang mengatur semua gerak-gerik, langkah, dan lain sebagainya (masyarakat waktu di Madinah dahulu). Sehingga, hukum itu berjalan ke masyarakat. Pribadi-pribadi berjalan tapi hukum itu tidak berjalan dengan perbuatan ini tidak dihukum kan”.[29]
Namun demikian, model pendirian negara Islam seperti yang dilakukan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosoewiryo pada 1950-an tampak tidak diterima. Masih menurut Mastuhi Abdul Ghafur, dia menyatakan setuju dengan ide pendirian negara Islam hanya caranya dia tidak bisa menerima caranya yang sering memaksa, mengancam, dan menggunakan jalan peperangan. Dalam hal ini, dia setuju dengan gagasan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengkampanyekan perlunya menegakkan Khilafah Islamiyah. “saya acungkan jempol dan salut terhadap perjuangan mereka (HTI) yang mempunyai prinsip supaya menegakkan hukum di dunia ini” katanya menegaskan posisinya.[30]
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh KH Muhsin Noor dari Pesantren al-Muslimun Cianjur. Menurutnya, meski ia setuju dengan ide penegakan syari’at Islam lewat pendirian negara Islam, namun melihat keadaan di Indonesia sepertinya sangat sulit. Hal ini disebabkan oleh pemahaman-pemahaman yang belum tersebar luas di kalangan masyarakat dan umat Islam sendiri belum memiliki kekuasaan yang besar. “Memang menurut saya kalau di Indonesia mungkin sulit. Maka kita mungkin dengan pemahaman-pemahaman yang dapat diterima oleh orang lain, kalau mau begitu bisa saja tetapi sulit, tetapi kalau kekuasan kita misalkan sampai 80%. Tapi sekarang ini sulit, yang belum apa-apa sudah dicurigai yang tida-tidak” katanya menjelaskan.[31]Dia juga menambahkan, untuk mendirikan negara Islam, sewaktu DII/TII yang dipimpin Kartosoewiryo saja yang lumayan kuat dan didukung beberapa daerah sulit, apalagi untuk zaman sekarang ini. Memang ide negara Islam itu sangat bagus, namun menurutnya kalau mau direalisasikan sulit sekali. Jika umat Islam benar-benar mau merealisasikan hal itu, mestinya sejak dari sekarang dipersiapkan kader-kader yang berideologi Islam dan siap memperjuangkan ide pendirian negara Islam. Begitu juga dengan ide Khilafah Islamiyah dari Hizbut Tahrir Indonesia. Itu bagus namun sulit untuk direalisasikan di Indonesia. Dan itu hanya berkembang di masyarakat kota yang jumlahnya sedikit [32]
Utan Muchtar dari Pesantren Al-Islah Cirebon juga mengungkapkan hal yang senada. Menurutnya, negara Islam itu sah dan boleh-boleh saja didirikan, asalkan sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Semua itu agar keadaan menjadi lebih baik dan Islami. Meski begitu, target utamanya bukan negaranya yang berbentuk Islam, tapi dia menginginkan agar semua negara ini sesuai dengan ajaran Islam.[33] Bertolak dari pendapatnya itu, dia menyatakan setujua dengan konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Terlebih lagi, kemerdekaan di Indonesia itu pada dasarnya yang paling banyak memperjuangkan adalah orang-orang Islam. Jadi, sebetulnya yang memerdekakan bangsa ini adalah para santri.
Dari berbagai pandangan di atas, meski dengan tekanan yang berbeda, sebagian kalangan pesantren menganggap bahwa pendirian negara Islam sebagai unsur penunjang dari penegakan syari’at Islam. Namun, memang ada sebagian yang menganggap bahwa pendirian negara Islam itu bukan merupakan ide yang mendesak. Justru yang harus dilakukan umat Islam sekarang adalah perbaikan SDM dan menyebarkan kesadaran tentang pentingnya menjalankan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, ketika syari’at Islam sudah ditegakkan atau negara Islam sudah terbentuk, umat Islam secara mayoritas sudah berperilaku Islami. Akan tetapi, bagi sebagian kalangan yang lain, penegakan syari’at Islam lewat kekuasaan atau pendirian negara Islam justru merupakan strategi yang tepat agar syari’at Islam lebih diterima secara luas dan mendapat jaminan negara. Keadaan sekarang yang menampakkan bahwa syari’at Islam banyak yang hanya menjadi kewajiban individu, seharusnya harus lebih ditingkatkan lagi pada masa yang akan datang.
Kesimpulan
syari’at Islam dimulai dari sosialisasi pentingnya pelaksanaan akhlakul karimah sebagai inti syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga sebagai langkah strategis yang menyontoh model dakwah Rasulullah yang berhasil mengenalkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Mereka menganggap, menegakkan syari’at Islam lewat akhlakul karimah, sepertinya lebih mudah diterima masyarakat karena dia mempunyai bahasa universal dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Untuk soal posisi non-Muslim dalam syari’at Islam, para pimpinan pesantren mengganggap bahwa syari’at Islam akan tetap melindungi posisi non-Muslim. Bahkan, dengan merujuk pada pengalaman Nabi Muhammad ketika di Madinah, justru dengan kepemimpinan Islam para warga non-Muslim lebih terlindungi. Pemahaman seperti ini berimplikasi pada kedudukan non-Muslim dan status kewarganegaraan mereka. Sebagian kalangan pimpinan pesantren beranggapan, warga non Muslim memang seharusnya menjadi warga negara kelas dua dengan kewajiban menaati peraturan yang juga dipakai oleh umat Islam. Sebagian lainnya berpendapat, peraturan syari’at Islam hanya diperuntukkan untuk umat Islam saja, semenatara non- Muslim dibebaskan mengekspresikan keyakinannya, asalkan tidak menimbulkan keributan dan perpecahan.
Dalam soal pentingnya pendirian negara Islam sebagai jaminan utama pelaksanaan syari’at Islam, sebagian kalangan pesantren menganggap hal itu belum perlu dilakukan. Karena, yang lebih penting sekarang ini adalah bagaimana umat Islam mampu dan mau melakukan syari’at Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga, ketika nanti sudah banyak yang memahami dan menjalankan syari’at Islam secara penuh, otomatis negara Islam akan terbentuk dengan sendirinya. Pada sebagian pimpinan lainnya, pendirian negara Islam adalah agenda yang mesti dilakukan. Akan tetapi, caranya adalah mulai merebut kepemimpinan dari tingkat bawah dan kecil menuju tingkat yang lebih tinggi dan luas. Dengan kekuasaanlah, menurut mereka dakwah penegakan syari’at Islam lebih mudah terlaksana dan terkontrol.
Penegakan syari’at Islam lewat aturan hukum ataupun dengan sosialisasi akhlakul karimah sepertinya menjadi agenda yang terus hidup. Terlepas apakah muara dari semua program itu adalah negara Islam atau bukan, yang jelas hampir semua sektor kehidupan publik di Indonesia kini mengalami sentuhan Islamisasi. Sayangnya, semua itu masih bersifat simbolik, ornamental, dan di atas permukaan semata. Perilaku sehari-hari sebagian besar penduduk negeri ini tampaknya masih jauh dari mencerminkan nilai-nilai Islam yang sejati.[34]
Jika kita amati dari berbagai gerakan penegakan syari’at Islam itu, tampaknya ada dua hal penting yang menjadi tawaran mereka. Pertama, “negara syari’at” lahir sebagai tawaran alternatif atas kegagalan sistem sekuler yang telah memperokporandakan nilai dan moralitas. Kedua, “negara syari’at” sebagai resistensi terhadap modernitas yang disimbolkan dengan kapitalisme global.[35] Jika “negara syari’at” diletakkan sebagai gerakan resistensi terhadap modernitas, bisa jadi ia akan mendapatkan dukungan dunia. Karena, saat ini perlawanan terhadap globalisasi dan neoliberalisme hampir menjadi konsen banyak negara di seluruh dunia.
Persoalannya, apakah ia betul-betul diagendakan sebagai resistensi terhadap modernitas, atau hanya sebagai “sasaran antara” guna menutupi agenda sebenarnya untuk menegakkan negara Islam sebenarnya? Jika pilihan yang terakhir itu yang akan diambil, sepertinya ramalan Ahmad Syafii Maarif bahwa gerakan pro-negara syari’at dan syari’at Islam akan menerima “piala kekalahan” betul-betul akan terjadi. Soalnya, saat ini bangsa-bangsa di dunia sedang gencar mengkampanyekan tentang demokrasi dan negara kebangsaan yang menjamin adanya kebebasan dan kesamaan di depan hukum, jadi tidak ada lagi pengkelasan warga berdasar agama atau rasnya berasal.
Catatan Kaki
[1] Muhsin Noor (wawancara, Cianjur, 24 September 2005).
[2] Konsep inilah dijadikan rujukan oleh Kabupaten Cianjur dalam model penerapan syari’at Islamnya. Gerbang Amanah (Gerakan Pembangunan untuk Berakhlakul Karimah) adalah semboyan yang mereka sosialisasikan ke masyarakat. KH Muhsin Noor banyak disebut sebagai salah seorang di belakang keberhasilan gerakan penegakan syari’at Islam di Cianjur.
[3]Abdullah Margani (wawancara, Garut, 24 September 2005).
[4] Iim (wawancara, Tasikmalaya, 23 September 2005).
[5]Iqbal Santoso (wawancara, Garut, 24 September 2005).
[6] Siti Asadiyah (wawancara, Ciamis, 22 September 2005).
[7] Asep Suja’i Farid (wawancara, Tasikmalaya, 23 September 2005).
[8] M. Mufti (wawancara, Bandung, 23 September 2005)
[9] Latif Awaluddin (wawancara, Bandung, 24 September 2005).
[10] Ustadz Syamsuddin (wawancara, Cirebon, 21 September 2005).
[11] Ustadz Syamsuddin (wawancara, Cirebon, 21 September 2005).
[12] Mastuhi Abdul Ghafur (wawancara, Bandung, 23 September 2005).
[13] Mastuhi Abdul Ghafur (wawancara, Bandung, 23 September 2005).
[14]Asep Ahmad Mausul Affandi (wawancara, Tasikmalaya, 23 September 2005).
[15] Saiful Mujani, “Syari’at Islam dan Keterbatasan Demokrasi”, www.islamib.com, 05 Agustus 2001.
[16] Fadhil Yani Ainussyamsi (wawancara, Ciamis 22 September 2005).
[17] Wawancara dengan Abdul Aziz, Alumni Pondok Pesantren Darussalam Ciamis yang juga menjadi pengasuh salah satu pesantren di Sukabumi, 21 September 2005.
[18]Abdullah Margani (wawancara, Garut 24 September 2005).
[19] Cucu Cahyana (wawancara, Ciamis, 22 September 2005).
[20]Iqbal Santoso (wawancara, Garut, 24 September 2005).
[21] Dodo Murtadho (wawancara, Kuningan, 23 September 2005).
[22] Udi Samahudi (wawancara, Kuningan, 23 September 2005).
[23]Syarif Hidayat (wawancara, Ciamis, 22 September 2005).
[24] Wawancara dengan KH Asep Ahmad Mausul Affandi, Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, 23 September 2005.
[25] Ibid.
[26] Wawancara dengan Yana, Santri Senior Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, 23 September 2005.
[27] Ibid.
[28] Asep Suja’i Farid (wawancara, Tasikmalaya, 23 September 2005).
[29] Mastuhi Abdul Ghafur (wawancara, Bandung, 22 September 2005).
[30] Mastuhi Abdul Ghafur (wawancara, Bandung, 22 September 2005).
[31] Muhsin Noor (wawancara, Cianjur, 24 September 2005).
[32]Muhsin Noor (wawancara, Cianjur, 24 September 2005).
[33] Utan Muchtar (wawancara, Cirebon, 21 September 2005).
[34] Arskal Salim, Daya Hidup Isu Syari’at dalam Politik, www.islamlib.com, 08/03/2004.
[35] Zuhairi Misrawi, Negara Syari’at atawa Negara Sekuler, www.islamlib.com, 11/08/2002.
Dia menambahkan, ajaran yang telah disampaikan dalam al-Qur’an dan Hadist bahwa Muslim hendaklah ke dalam agama Islam secara semuanya (kaffah), dan tidak mengikuti nafsu syaitan. Umat Islam tidak boleh menyakiti non-muslim, karena Islam pada dasarnya adalah rahmat bagi sekalian alam. Maka, bila penerapan syari’at Islam dengan akhlakul karimah, itu tidak akan mengganggu kalangan non-Muslim. Dan hal inlah yang sedianya menjadi agenda Muslim Indonesia.[2]
Senada dengan itu, Abdullah Margani dari Pesantren al-Musaddadiyah Garut menyatakan, metode penegakan Syari’at Islam harus dimulai dari sosialisasi akhlak yang baik. Selain itu, strategi penegakan lewat jalur atas dan bawah harus dilakukan secara bersama-sama. Maksudnya, pemimpin harus bisa dijadikan contoh, sedangkan di kalangan bawah seperti di pondok pesantren dan masyarakat sekitar harus memonitori pelaksanaan syari’at Islam. Jangan sampai, kebiasaan sandal yang hilang di masjid, lemari di pesantren di bongkar, baju jemuran hilang, dan hal sepele-sepele lainnya dibiarkan terjadi. Menurutnya, dalam menerapkan syari’at Islam, “kita harus back to basic bagaimana kita bisa berprilaku yang baik, bagaimana performance kita dalam kehidupan berdagang, bermasyarakat, dan bernegara”. Sekarang bagaimana kita tampilkan performance kita, bagaimana berdagang yang jujur sebagaiaman diajarkan rasulullah, dari prosedur-prosedurnya sendiri, dan sebagainya. Yang penting kita mampu memiliki pemimpin yang bisa menjadi tauladan. Tambahnya, “kalau kita punya pemimpin satu orang saja yang bisa menjadi tauladan, insya Allah cukup. Jadi permasalahan yang utama bukanlah isu-isu yang tadi, tapi bagaimana kita menjadikan ada tauladan minimal diri kita. Itu yang harus menjadi isu utama, bagaimana agar supaya Islam beres”.[3]
Begitu pula pandangan serupa dikemukakan seorang responden dari Pesantren Miftahul Huda di Tasikmalaya.. Manururny, untuk menegakkan syari’at Islam harus dimulai dengan individu masing-masing. Terutama yang dari pesantren, mereka harus berjiwa Islami seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad. Dan kita harus betu-betul menanamkan rasa cinta terhadap Islam ke masyarakat. “Orang yang sudah mencintai apapun yang kita usulkan akan mereka setujui. Kalau sudah begitu otomatis kita akan mudah untuk menegakkan syari’at Islam”, demikian di berujar.[4] Jadi, jelas bahwa akhlakul karimah sebagaimana dipraktikkan Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari adalah jalan paling mudah untuk menegakkan syari’at Islam.
Di samping akhlakul karimah, H. Iqbal Santoso dari Pesantren Persis Garut menambahkan satu poin lain, yakni pendidikan. Hal ini antara lain didorong oleh pengalamannya—saat hendak merekrut lulusan madrasah dan pesatren untuk bekerja di Bank Syari’ah—bahwa SDM Muslim masih lemah. Jadi, ketika mereka ingin menegakkan Syari’at Islam, tetapi masih banyak dari mereka yang tidak mengetahui sistem politik Islam, perekonomian Islam, dan peradilan Islam, maka itu bisa menjadi boomerang bagi umat Islam sendiri. Maka, salah satu hal yang harus dlakukan dalam rangka penegakkan Syari’at Islam adalah mempersiapkan sumber daya masyarakat Muslim terlebih dahulu. Dia menegaskan “Jika masyarakat Muslim telah tercipta dan kokoh, maka syari’at Islam dapat ditegakkan dengan mudah. Pada zaman dahulu, Nabi lebih mengutamakan menciptakan masyarakat Muslim, baru setelah itu beliau menegakkan syari’at Islam”.[5]
B. Posisi Non-Muslim dalam Penegakan Syari’at Islam
Isu akhlakuk karimah dalam penegakkan syari’ah Islam tentu bukan tanpa alasan sosiologis yang kuat. Dalam sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama seperti Indonesia, penegakan sebuah aturan agama tertentu sebagai dasar resmi untuk menjalankan kebijakan politik, hukum, dan sosial sehari-hari, tidak bisa langsung diterima begitu saja. Bahkan, hal itu berlawanan dengan prinsip demokrasi yang menjamin persamaan hukum dan hak bagi semua warga negara.
Kekhawatiran terbesar yang dirasakan oleh umat agama lain di Indonesia pada penegakan syari’at Islam secara formal sebagian timbul dari pertanyaan besar tentang bagaimana nasib dan posisi mereka (non-Muslims)? Apakah dengan penegakan syari’at Islam mereka menjadi warga negara kelas dua yang tidak lagi bebas mengekspresikan keyakinannya dan dijamin hak-haknya? Apakah mereka nanti juga akan dipaksa untuk mengikuti tata cara hidup Islami? Dan sejauh mana eksistensi hidup mereka dengan aturan yang baru itu? Dan, memang, hal itu pula yang menjadi salah satu perhatian kalangan pesantren.
Demikianlah, Siti Asadiyah—seorang guru senior pada Pesantren Darussalam Ciamis—misalnya, bependapat bahwa non Muslim tidak perlu khawatir dengan penegakan syari’at Islam secara formal sebagai undang-undang negara. Karena, mereka pasti akan dilindungi eksistensi dan keberadaannya. “Ya pasti dilindungi. Ini kan sudah ada sejarahnya, sejak zaman Rasul sampai sahabat. Ketika itu Muslim yang nomor satu dan non-Muslim takluk, dan mereka itu memberikan upeti kepada umat Islam” ujarnya.[6] Bila kita lihat pernyataan itu, secara tersurat jelas bahwa umat non-Muslim akan dilindungi, namun dengan syarat mereka memberikan upeti kepada umat Islam. Dari pernyataan itu, secara tidak langsung juga ditegaskan bahwa posisi umat non-Muslim sebagai warga negara kelas dua adalah hal yang sangat mungkin dan wajar dalam penegakan syari’at Islam.
Mengamini pendapat di atas, Asep Suja’i Farid dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya menyatakan bahwa justru dengan syari’at Islam umat non-Muslim akan lebih terlindungi. Hal itu sudah dicontohkan Rasulullah ketika di Madinah. Saat itu, menurutnya, umat non-Muslim lebih terjamin untuk melakukan perdagangan, praktik keagamaan, kegiatan sosial-politik, serta urusan kehidupan lainnya. Ketakutan umat non-Muslim di Indonesia, menurutnya, dikarenakan sikap yang apriori terlebih dahulu tanpa melihat sejarah Nabi. Hal itu ditambah lagi oleh sikap sebagian tokoh umat Islam sendiri yang tidak berusaha memperjuangkan Piagam Jakarta secara sungguh-sungguh. “Kalau melihat pengalaman itu, mereka malah bisa lebih terlindungi, karena ada contoh yang Rasulullah telah laksanakan di Madinah. Lebih terjamin lah. Kalau ada Piagam Jakarta, insya allah syari’at Islam kin sudah berjalan di seluruh indonesia. Minimal Jawa dan Sumatera. Karena yang bagian timur kan mayoritas waktu itu orang kafir” paparnya tentang masalah ini.[7]
Soal kemungkinan terjadinya pengkelasan kewarganegaraan juga dinyatakan M. Mufti dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Dia berpendapat, kalau dilihat dari sudut pandang teori negara, kemungkinan itu sangat ada. Sebab, ketika suatu negara dibangun berdasarkan hukum agama tertentu, tentu warga negara yang menganut agama yang sama dengan negara yang akan lebih terjamin hak-haknya, begitu juga sebaliknya. Bahkan, seharusnya aturan itu juga bisa diterapkan ke umat agama lain yang tinggal di negara itu.[8]
Namun, lain halnya dengan pendapat Latif Awaluddin dari pesantren Persis Pajagalan, Bandung. Dia menyatakan bahwa aturan hukum dan kehidupan sehari-hari dalam penerapan syari’at Islam tidak diwajibkan bagi umat non-Muslim. Meski umat Islam diwajibkan menutup aurat, untuk warga non-Muslim tidak harus, bahkan dia tidak harus shalat. [9] Dan pendapat yang sama juga dikemukan Ustadz Syamsuddin dari Pesantren Darul Muttaqin, Cirebon. Menurutnya, dalam konteks Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama, pemaksaan penerapan syari’at Islam kepada non-Muslim tidak bisa dibenarkan. “Islam ini bukan suatu paksaan, kita tidak bisa memaksakan Islam kepada orang-orang yang memang belum ada petunjuk dari Allah. Artinya kita mau mendakwahi kayak apapun dan memaksakan, malah kita nanti dipermasalahkan. Jadi barang siapa yang sudah mengerti dan memahami marilah kita sama-sama jalan, kalau itu belum ya masing-masing saja” katanya memberikan argumen soal larangan pemaksaan itu.[10] Dengan demikian, meski orang-orang Kristen, Budha, dan agama lainnya itu sebagai orang kafir umat Islam tidak dibenarkanb memerangi mereka. Lebih jauh, Ustadz Syamsuddin berkata:
Hari ini kitab mereka (orang Kristen dan sebagainya) kan bikinan baru. Dan kita memahami Nabi yang terahir kita Nabi Muhammad, berarti Islam itu yang dibawa dan mestinya semua manusia kembalinya pada Islam dan bukan pada agama lainnya. Kita anggap mereka ini tidak menuhankan pada Allah, berarti orang kafir. Tetapi apakah kita harus memerangi mereka? Tidak. Kita ini Islam, damai, tapi diarahkan ke Islam dan tanpa paksaan dan kita tidak sepakat dengan kekerasan. Bahkan, kita ajarkan kepada anak-anak bahwa Islam ini bukan kekerasan tapi kita damai, baik, santun kepada siapa saja kepada semua orang yang tinggal disekitar kita”.[11]
Lain lagi dengan Mastuhi Abdul Ghafur dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Menurutnya, kalau syari’at Islam sudah ditegakkan dan ditetapkan secara formal sebagai undang-undang daerah seperti di Aceh, maka non-Muslim harus mengikuti aturan itu. Hanya saja, untuk daerah lain perlu diuji coba sejauhmana penerimaan masyarakat terhadap syari’at Islam secara formal dalam undang-undang. Jika di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, maka mau tidak mau masyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi. Namun, untuk konteks keseluruhan negara Indonesia, dikhawatirkan penerapan aturan ke non-Muslim akan menyebabkan perang agama. Lebih tegasnya dia berujar:
“Kalau itu sudah masuk dalam undang-undang daerah artinya sudah diberlakukan seperti itu. Kalau daerah lain ya silahkan saja. Pokoknya kalau awalnya diletakkan ini seperti itu akan kokoh. Tapi kalau undang-undang resminya sudah berjalan begini bisa perang agama, dunia akan bertindak bahkan akan digencet Indonesia kalau non muslim dipaksa ikut aturan muslim. Maksudnya di Indonesia dipusat, kalau didaerah awalnya begitu karena mayoritas muslim maka mereka mau tidak mau mereka msyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi”.[12]
Meski demikian, dia menambahkan, jika suatu saat nanti Indonesia berhasil menerapkan syari’at Islam dalam undang-undang dan sudah ditetapkan, maka seluruh warganya—Muslim dan non-Muslim—wajib mengikutinya. Seperti di Malaysia dan Arab Saudi yang sudah memberlakukan hukum Islam, warga non-Muslim mau tidak mau memang mengikutinya. Menurutnya, kesalahan negara Indonesia adalah kenapa dahulu saat kemerdekaan syari’at Islam tidak diberlakukan dan ditetapkan sebagai aturan negara. Jika pada masa itu berhasil, aturan itu pasti akan diterima tidak hanya oleh warga Muslim saja tapi juga oleh semua warga negara lainnya. [13]
Pendapat serupa dikemukakan Asep Ahmad Mausul Affandi dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya. Menurutnya, kita tidak bisa mengubah keyakinan orang, karena sebagi pengikut Nabi terakhir sudah semestinya mengikuti Nabi yang tidak suka memaksakan kehendak pada orang lain. Dia mencontohkan, meski Abu Thalib tiap hari bergaul dan hidup dengan Nabi Muhammad yang dibimbing dengan wahyu dan dibekali dengan mukjizat, sampai akhir hidupnya ia tetap kafir. Menurutnya, itu adalah fakta sejarah yang harus diterima. Meski demikian, dia percaya bahwa syari’at Islam sebetulnya bisa ditegakkan sebagai aturan di negeri ini, termasuk untuk warga non-Muslim.[14]
Demikianlah, bila melihat berbagai pendapat di atas, sangat wajar jika banyak non-Muslim khawatir akan posisi mereka jika syari’at Islam diterapkan. Menurut Saiful Mujani, sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok di masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Namun, jika sudah menjadi menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka akan mengikat semua warga negara, baik Muslim maupun non- Muslim. Dan kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang syari’ah, mulai terancam eksistensinya.[15]
C. Antara Syari’at Islam, Negara Islam, dan NKRI
Guna mencari jalan penegakan syari’at Islam yang lebih efektif dan komprehensif, banyak dari kalangan penegak syari’at Islam yang menganggap bahwa pendirian negara Islam menjadi agenda yang mesti dipikirkan dan dilaksanakan. Negara Islam menjadi jaminan paling diandalkan dalam rangka pelaksanaan syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat. Dan isu negara Islam ini memang menjadi satu poin penting yang berkembang di kalangan Muslim Indonesia, khususnya di pesantren yang menjadi sasaran penelitian. Menyangkut isu ini setidaknya terdapat tiga tiga pola pemikiran yang muncul, yakni moderat, fundamentalis, dan mengambang.
D. Moderat
Pemikiran moderat diungkapkan antara lain oleh Fadhil Yani Ainussyamsi dari Pondok Pesantren Darussalam Ciamis. Dia berpendapat bahwa penegakan syari’at Islam dan negara Islam merupakan harapan semua umat Islam. Jika soal negaranya mau mau berdasarkan Pancasila atau Islam, yang penting syari’at Islam tegak terlebih dahulu. Jadi, masyarakatnya harus dibentuk dahulu berdasarkan nilai-nilai Islam. Keadaan ini secara otomatis mengubah sistem demokrasi menjadi sistem Islam.[16] Dengan demikian, perubahan karakter Muslim tersebut sangat penting, karena ia menjadi satu prasyarat utama bagi dalam menyukseskan penegakan syari’at Islam.
Pendapat Fadhil di atas diamini oleh Abdul Aziz dari Pesantren Darusslama, Ciamis. Seraya mengacu pada sejarah dakwah Rasulullah, dia berpendapat bahwa agenda penegakan syari’at Islam pertama kali bukan dilakukan dengan jalan pendirian negara Islam. Namun, yang jauh lebih penting adalah bagaimana syari’at Islam bisa diterima dan dipahami masyarakat. Dan jalan itu bisa ditempuh dengan menanamkan prinsip keimanan dan ajaran Islam kepada bangsa Indonesia. “Jadi, bukan dengan cara merusak Pancasila atau undang-undang, tapi bagaimana kita menanamkan ajaran Islam kepada bangsa Indonesia. Rasullah menanamkan keimanan itu tidak sebentar. Sebelum ada perintah shalat dan zakat, yang pertama ditanamkan adalah keimanan, keyakinan kepada Allah. Maka untuk sekarang ini kita jangan memerangi pemerintah, tapi menanamkan kepada pemerintah tentang ajaran islam yang benar. Maka undang-undang atau falsafah akan berubah sendiri” katanya menjelaskan[17]. Lebih lanjut dia berpandngan bahwa sekarang ini umat Islam sebagai mayoritas belum menjadi kekuatan. Jika kita berhasil menanamkan ajaran Islam itu, Islam akan menjadi sebuah kekuatan besar yang secara otomatis akan merubah falsafah Pancasila. Dan untuk mencapai hal itu, Muslim harus berusaha keras dan jangan hanya mengandalkan pada beberapa kelompok saja.
Abdullah Margani dari Pesantren Al-Musaddadiyah, Garut, menambahkan, bahwa persoalan umat Islam yang belum banyak memahami tentang pentingnya dan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari bukan terletak pada belum terbentuknya negara Islam atau karena negara Indonesia masih sekuler. Hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan Muslim untuk bersatu hingga menghasilkan sebuah kekuatan. Maka, kita hendaknya jangan menyalahkan keadaan dan orang lain. Lebih jelasnya dia berkata sebagai berikut:
“Bukan masalah itu, tapi ketidakmampuan umat Islam untuk bersatu sehingga menghasilkan kekuatan. Jangan menyalahkan orang lain, karena kita sendiri yang salah. Dari mulai ulamanya yang awal sampai kita, kita yang salah. Sehingga tidak bisa menghasilkan kekuatan, suatu musyawarah, sehingga negara ini tidak menjadi negara Islam. Atau minimal menjadi negara yang menjadikan Islam sebagai agama resminya”.[18]
Perlunya menanamkan nilai-nilai Islam guna menegakkan syari’at Islam ini, juga diungkapkan oleh Cucu Cahyana dari Pesantren Darussalam, Ciamis. Dia berujar bahwa penanaman syari’at Islam secara bertahan dan perlahan—mulai dari individu, keluarga, desa, kecamatan, kabupaten lalu ke yang lebih luas—sangat perlu. Jadi, nantinya penggantian Pancasila dan UUD 1945 dengan Islam bisa dijalankan dengan mudah. Ini dalam ramgka menghindari agar jangan sampai ketika negaranya sudah berdasarkan syari’at Isam, orang-orang Islam justru tidak siap menerimanya dan ada sebagian yang tidak berperilaku Islami[19] Dan pendapat serupa juga disuarakan kaum Muslim lain dari pesantren yang diteliti, seperti Iqbal Santoso dari Pesantren Persis Tarogong, Garut, [20] Dodo Murtadho dari Pondok Pesantren Riyadul Huda Kuningan[21], dan Udi Samahudi, juga dari Pesantren Nurul Huda, Kuningan. [22] Mereka umumnya berpendapat bahwa agenda paling mendesak dan penting untuk dilakukan adalah penanaman syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat.
E. Fundamentalis
Sementara itu pemikiran kedua, di sini disebut bercorak fundamentalis, justru menekankan perlunya mendirikan sebuah negara Islam sebagai jalan untuk menegakkan syari’at. Hal ini dikemukakan antara lain oleh Syarif Hidayat dari Pesantren al-Hasan, Ciamis. Dia berpandangan bahwa idealnya penegakan syari’at Islam dibarengi dengan perubahan hukum dan dasar negara. Sebab, hal ini akan lebih menciptakan kekompakan dan kekuatan di kalangan umat Islam. Dia juga mengkritik bahwa gerakan penegakan syari’at dan negara Islam itu tidak kompak, yang akhirnya menjadikannya sebagai gerakan bawah tanah dan akibatnya hingga sekarang belum membuahkan hasil.[23]
Pendapat tersebut diamini Asep Ahmad Mausul Affandi dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya, yang juga menjadi Wakil Ketua Lajnah Tanfidziah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Menurutnya, untuk menegakkan syari’at Islam, perlu menciptakan eksekutor atau membikin imamah (kepemimpinan) khusus. Negara ini mau bentuknya apa saja, yang penting Islam punya pemimpin yang bisa ditaati dan dijadikan rujukan. Dia juga berpendapat bahwa konsep syari’at Islam adalah wajib dan bagi yang menolaknya tergolong sebagai orang kafir.[24] Dan dalam rangka menciptakan imamah (kepemimpinan) yang menjamin syari’at Islam terlaksana, kaum Muslim harus merebut kekuasaan agar memiliki kekuatan untuk menegakkan syari’at Islam. Dia berujar:
Jadi umat islam memang tidak berdaya, mereka kalau kita tanya siapa pemimpin islam di Indonesia, saya nggak tanya pemimpin negara islam indonesia, nggak. Negara itu salah satu bagian dari syari’at Islam, bukan syari’at Islam itu identik dengan negara. Salah satu bagian kecil, bukan syari’at Islam bagian dari negara. Jadi negara harus tahu tentang syari’at Islam[25]
Perlunya menciptakan kepemimpinan di atas juga didukung oleh para santri bimbingan Asep Mausul dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya. Yana, seorang santri senior, mengungkapkan bahwa untuk saat ini penegakan syari’at Islam secara komprehensif masih mengalami banyak kendala. Hal itu terutama karena masih banyak kalangan yang belum paham tentang manfaat dan pentingnya ide ini. Terlebih lagi, gagasan itu akan mengalami benturan dengan para pemimpin dan pengambil kebijakan di pemerintah. Oleh karenanya, jumlah orang yang menegakkan syari’at Islam harus terus dikembangkan dan pemimpin yang ada seyogyanya mendukung ide itu. “Berapa persen sih yang menerima syari’at Islam, 2 % (dua persen) pun belum tentu kan. Jadi menegakkan syari’at itu harus dan tidak sebagian-sebagian tapi harus total. Cuma polanya yang harus dibuat sedemikian rupa. Jadi, kalau dengan Pancasila saya kira tidak bisa untuk menegakkan syari’at Islam secara kaffah” ujarnya menegaskan.[26]
Pemahaman bahwa dengan Pancasila kaum Muslim tidak bisa menegakkan syari’at Islam secara menyeluruh jelas mengandaikan pendirian sebuah negara Islam. Jadi, syari’at Islam harus ditindaklanjuti dengan perebutan kekuasaan. Masih menurut Yana, “menegakkan syari’at Islam ya jelas mendirikan negara Islam. Hanya sekarang ini kelihatannya publik yang memutakbalikkan fakta. [27] Demikian halnya dengan Asep Asep Suja’i Farid dari Pesantren Cintawana, Tasikmalay. Dia berpendapat perlunya penegakan syari’at Islam lewat jalur kekuasaan, mulai dari tingkat lokal hingga negara. Beberapa daerah yang sudah mendeklarasikan syari’at Islam, seperti Cianjur, Sukabumi, dan Tasikmalaya, perlu dijadikan pengalaman dan contoh umat Islam yang daerah lain. Pada era otonomi daerah seperti sekarang ini, momentum itu hendaknya dijadikan sebagai strategi untuk mendeklarasikan syari’at Islam di tingkat lokal agar bisa diterima masyarakat, selanjutnya ketika sudah banyak daerah yang melakukan deklarasi, negara Islam lebih gampang ditegakkan. Dia berkata:
“Negara Islam itu bisa belakangan, syari’at Islam dulu disodorkan ke masyarakat, kalau udah diterima barulah. Kalau negara kan scopenya luas, dari Sabang sampai Merauke. Paling juga kita bisanya bertahap. Nah tiap-tiap daerah kan udah ada otonomi, jadi mereka bisa mulai mendeklarasikan syari’at. Ya mudah-mudahan lah nanti bisa benar-benar terlaksana” katanya menjelaskan soal ini.[28]
F. Mendua (ambivalen)
Corak pemikiran ketiga adalah pendapat yang melihat bahwa penegakan syari’at Islam dengan mendirikan negara Islam menunggu saat yang tepat. Ini antar4a lain diungkapkan oleh Mastuhi Abdul Ghafur dari Pesantren Baiturrahman Jawa Barat. Dia menyatakan bahwa pendirian syari’at Islam lewat negara seperti yang dilakukan di Iran, Pakistan, dan Sudan, mensyaratkan bahwa posisi umat Islam kuat. Dan, sayangnya, kekuatan itu tidak ada di Indonesia. Pencabutan Piagam Jakarta dari dasar negara Indonesia pada awal kemerdekaan dahulu menjadikan cita-cita itu sulit direalisasikan. Padahal, dengan Piagam Jakarta, semua urusan negara menjadi lebih mudah diatur dengan hukum Islam. Jika seperti sekarang ini, syari’at itu hanya menjadi kewajiban individu yang tidak atur oleh negara. Dia berkata:
“Kalau perorangan itu masing-masing haknya. itu haknya pribadi. Kalau hak negara, otomatis negara yang mengatur, seperti Nabi Muhammad yang mengatur semua gerak-gerik, langkah, dan lain sebagainya (masyarakat waktu di Madinah dahulu). Sehingga, hukum itu berjalan ke masyarakat. Pribadi-pribadi berjalan tapi hukum itu tidak berjalan dengan perbuatan ini tidak dihukum kan”.[29]
Namun demikian, model pendirian negara Islam seperti yang dilakukan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosoewiryo pada 1950-an tampak tidak diterima. Masih menurut Mastuhi Abdul Ghafur, dia menyatakan setuju dengan ide pendirian negara Islam hanya caranya dia tidak bisa menerima caranya yang sering memaksa, mengancam, dan menggunakan jalan peperangan. Dalam hal ini, dia setuju dengan gagasan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengkampanyekan perlunya menegakkan Khilafah Islamiyah. “saya acungkan jempol dan salut terhadap perjuangan mereka (HTI) yang mempunyai prinsip supaya menegakkan hukum di dunia ini” katanya menegaskan posisinya.[30]
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh KH Muhsin Noor dari Pesantren al-Muslimun Cianjur. Menurutnya, meski ia setuju dengan ide penegakan syari’at Islam lewat pendirian negara Islam, namun melihat keadaan di Indonesia sepertinya sangat sulit. Hal ini disebabkan oleh pemahaman-pemahaman yang belum tersebar luas di kalangan masyarakat dan umat Islam sendiri belum memiliki kekuasaan yang besar. “Memang menurut saya kalau di Indonesia mungkin sulit. Maka kita mungkin dengan pemahaman-pemahaman yang dapat diterima oleh orang lain, kalau mau begitu bisa saja tetapi sulit, tetapi kalau kekuasan kita misalkan sampai 80%. Tapi sekarang ini sulit, yang belum apa-apa sudah dicurigai yang tida-tidak” katanya menjelaskan.[31]Dia juga menambahkan, untuk mendirikan negara Islam, sewaktu DII/TII yang dipimpin Kartosoewiryo saja yang lumayan kuat dan didukung beberapa daerah sulit, apalagi untuk zaman sekarang ini. Memang ide negara Islam itu sangat bagus, namun menurutnya kalau mau direalisasikan sulit sekali. Jika umat Islam benar-benar mau merealisasikan hal itu, mestinya sejak dari sekarang dipersiapkan kader-kader yang berideologi Islam dan siap memperjuangkan ide pendirian negara Islam. Begitu juga dengan ide Khilafah Islamiyah dari Hizbut Tahrir Indonesia. Itu bagus namun sulit untuk direalisasikan di Indonesia. Dan itu hanya berkembang di masyarakat kota yang jumlahnya sedikit [32]
Utan Muchtar dari Pesantren Al-Islah Cirebon juga mengungkapkan hal yang senada. Menurutnya, negara Islam itu sah dan boleh-boleh saja didirikan, asalkan sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Semua itu agar keadaan menjadi lebih baik dan Islami. Meski begitu, target utamanya bukan negaranya yang berbentuk Islam, tapi dia menginginkan agar semua negara ini sesuai dengan ajaran Islam.[33] Bertolak dari pendapatnya itu, dia menyatakan setujua dengan konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Terlebih lagi, kemerdekaan di Indonesia itu pada dasarnya yang paling banyak memperjuangkan adalah orang-orang Islam. Jadi, sebetulnya yang memerdekakan bangsa ini adalah para santri.
Dari berbagai pandangan di atas, meski dengan tekanan yang berbeda, sebagian kalangan pesantren menganggap bahwa pendirian negara Islam sebagai unsur penunjang dari penegakan syari’at Islam. Namun, memang ada sebagian yang menganggap bahwa pendirian negara Islam itu bukan merupakan ide yang mendesak. Justru yang harus dilakukan umat Islam sekarang adalah perbaikan SDM dan menyebarkan kesadaran tentang pentingnya menjalankan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, ketika syari’at Islam sudah ditegakkan atau negara Islam sudah terbentuk, umat Islam secara mayoritas sudah berperilaku Islami. Akan tetapi, bagi sebagian kalangan yang lain, penegakan syari’at Islam lewat kekuasaan atau pendirian negara Islam justru merupakan strategi yang tepat agar syari’at Islam lebih diterima secara luas dan mendapat jaminan negara. Keadaan sekarang yang menampakkan bahwa syari’at Islam banyak yang hanya menjadi kewajiban individu, seharusnya harus lebih ditingkatkan lagi pada masa yang akan datang.
Kesimpulan
syari’at Islam dimulai dari sosialisasi pentingnya pelaksanaan akhlakul karimah sebagai inti syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga sebagai langkah strategis yang menyontoh model dakwah Rasulullah yang berhasil mengenalkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Mereka menganggap, menegakkan syari’at Islam lewat akhlakul karimah, sepertinya lebih mudah diterima masyarakat karena dia mempunyai bahasa universal dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Untuk soal posisi non-Muslim dalam syari’at Islam, para pimpinan pesantren mengganggap bahwa syari’at Islam akan tetap melindungi posisi non-Muslim. Bahkan, dengan merujuk pada pengalaman Nabi Muhammad ketika di Madinah, justru dengan kepemimpinan Islam para warga non-Muslim lebih terlindungi. Pemahaman seperti ini berimplikasi pada kedudukan non-Muslim dan status kewarganegaraan mereka. Sebagian kalangan pimpinan pesantren beranggapan, warga non Muslim memang seharusnya menjadi warga negara kelas dua dengan kewajiban menaati peraturan yang juga dipakai oleh umat Islam. Sebagian lainnya berpendapat, peraturan syari’at Islam hanya diperuntukkan untuk umat Islam saja, semenatara non- Muslim dibebaskan mengekspresikan keyakinannya, asalkan tidak menimbulkan keributan dan perpecahan.
Dalam soal pentingnya pendirian negara Islam sebagai jaminan utama pelaksanaan syari’at Islam, sebagian kalangan pesantren menganggap hal itu belum perlu dilakukan. Karena, yang lebih penting sekarang ini adalah bagaimana umat Islam mampu dan mau melakukan syari’at Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga, ketika nanti sudah banyak yang memahami dan menjalankan syari’at Islam secara penuh, otomatis negara Islam akan terbentuk dengan sendirinya. Pada sebagian pimpinan lainnya, pendirian negara Islam adalah agenda yang mesti dilakukan. Akan tetapi, caranya adalah mulai merebut kepemimpinan dari tingkat bawah dan kecil menuju tingkat yang lebih tinggi dan luas. Dengan kekuasaanlah, menurut mereka dakwah penegakan syari’at Islam lebih mudah terlaksana dan terkontrol.
Penegakan syari’at Islam lewat aturan hukum ataupun dengan sosialisasi akhlakul karimah sepertinya menjadi agenda yang terus hidup. Terlepas apakah muara dari semua program itu adalah negara Islam atau bukan, yang jelas hampir semua sektor kehidupan publik di Indonesia kini mengalami sentuhan Islamisasi. Sayangnya, semua itu masih bersifat simbolik, ornamental, dan di atas permukaan semata. Perilaku sehari-hari sebagian besar penduduk negeri ini tampaknya masih jauh dari mencerminkan nilai-nilai Islam yang sejati.[34]
Jika kita amati dari berbagai gerakan penegakan syari’at Islam itu, tampaknya ada dua hal penting yang menjadi tawaran mereka. Pertama, “negara syari’at” lahir sebagai tawaran alternatif atas kegagalan sistem sekuler yang telah memperokporandakan nilai dan moralitas. Kedua, “negara syari’at” sebagai resistensi terhadap modernitas yang disimbolkan dengan kapitalisme global.[35] Jika “negara syari’at” diletakkan sebagai gerakan resistensi terhadap modernitas, bisa jadi ia akan mendapatkan dukungan dunia. Karena, saat ini perlawanan terhadap globalisasi dan neoliberalisme hampir menjadi konsen banyak negara di seluruh dunia.
Persoalannya, apakah ia betul-betul diagendakan sebagai resistensi terhadap modernitas, atau hanya sebagai “sasaran antara” guna menutupi agenda sebenarnya untuk menegakkan negara Islam sebenarnya? Jika pilihan yang terakhir itu yang akan diambil, sepertinya ramalan Ahmad Syafii Maarif bahwa gerakan pro-negara syari’at dan syari’at Islam akan menerima “piala kekalahan” betul-betul akan terjadi. Soalnya, saat ini bangsa-bangsa di dunia sedang gencar mengkampanyekan tentang demokrasi dan negara kebangsaan yang menjamin adanya kebebasan dan kesamaan di depan hukum, jadi tidak ada lagi pengkelasan warga berdasar agama atau rasnya berasal.
Catatan Kaki
[1] Muhsin Noor (wawancara, Cianjur, 24 September 2005).
[2] Konsep inilah dijadikan rujukan oleh Kabupaten Cianjur dalam model penerapan syari’at Islamnya. Gerbang Amanah (Gerakan Pembangunan untuk Berakhlakul Karimah) adalah semboyan yang mereka sosialisasikan ke masyarakat. KH Muhsin Noor banyak disebut sebagai salah seorang di belakang keberhasilan gerakan penegakan syari’at Islam di Cianjur.
[3]Abdullah Margani (wawancara, Garut, 24 September 2005).
[4] Iim (wawancara, Tasikmalaya, 23 September 2005).
[5]Iqbal Santoso (wawancara, Garut, 24 September 2005).
[6] Siti Asadiyah (wawancara, Ciamis, 22 September 2005).
[7] Asep Suja’i Farid (wawancara, Tasikmalaya, 23 September 2005).
[8] M. Mufti (wawancara, Bandung, 23 September 2005)
[9] Latif Awaluddin (wawancara, Bandung, 24 September 2005).
[10] Ustadz Syamsuddin (wawancara, Cirebon, 21 September 2005).
[11] Ustadz Syamsuddin (wawancara, Cirebon, 21 September 2005).
[12] Mastuhi Abdul Ghafur (wawancara, Bandung, 23 September 2005).
[13] Mastuhi Abdul Ghafur (wawancara, Bandung, 23 September 2005).
[14]Asep Ahmad Mausul Affandi (wawancara, Tasikmalaya, 23 September 2005).
[15] Saiful Mujani, “Syari’at Islam dan Keterbatasan Demokrasi”, www.islamib.com, 05 Agustus 2001.
[16] Fadhil Yani Ainussyamsi (wawancara, Ciamis 22 September 2005).
[17] Wawancara dengan Abdul Aziz, Alumni Pondok Pesantren Darussalam Ciamis yang juga menjadi pengasuh salah satu pesantren di Sukabumi, 21 September 2005.
[18]Abdullah Margani (wawancara, Garut 24 September 2005).
[19] Cucu Cahyana (wawancara, Ciamis, 22 September 2005).
[20]Iqbal Santoso (wawancara, Garut, 24 September 2005).
[21] Dodo Murtadho (wawancara, Kuningan, 23 September 2005).
[22] Udi Samahudi (wawancara, Kuningan, 23 September 2005).
[23]Syarif Hidayat (wawancara, Ciamis, 22 September 2005).
[24] Wawancara dengan KH Asep Ahmad Mausul Affandi, Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, 23 September 2005.
[25] Ibid.
[26] Wawancara dengan Yana, Santri Senior Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, 23 September 2005.
[27] Ibid.
[28] Asep Suja’i Farid (wawancara, Tasikmalaya, 23 September 2005).
[29] Mastuhi Abdul Ghafur (wawancara, Bandung, 22 September 2005).
[30] Mastuhi Abdul Ghafur (wawancara, Bandung, 22 September 2005).
[31] Muhsin Noor (wawancara, Cianjur, 24 September 2005).
[32]Muhsin Noor (wawancara, Cianjur, 24 September 2005).
[33] Utan Muchtar (wawancara, Cirebon, 21 September 2005).
[34] Arskal Salim, Daya Hidup Isu Syari’at dalam Politik, www.islamlib.com, 08/03/2004.
[35] Zuhairi Misrawi, Negara Syari’at atawa Negara Sekuler, www.islamlib.com, 11/08/2002.
0 comments:
Post a Comment