A. Ilmu filsafat dan filsafat ilmu
Kita belajar filsafat sebenarnya bisa diartikan belajar berfikir yang bebas, radikal, sistematis dan komprehensif. Berfikir bebas artinya manusia berhak memikirkan apa saja tanpa ada batasan dari siapapun, karena pada hakekatnya manusia merupakan manusia yang berfikir sehingga kenyataan ini memang secara hukum alam harus melakukannya, bahkan mungkin jika manusia tidak menggunakan akal pikirannya dia akan disebut sebagai manusia yang mati. Berfikir radikal, artinya berfikir sampai ke akar-akarnya. Pada kenyataannya manusia merupakan makhluk yang terus menerus berargumentasi untuk menentukan kebenaran yang paling dasar. Manusia akan berlomba-lomba menemukan pengetahuan yang orang lain tidak mampu memperdebatkan, karenanya dia akan berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sistematis, artinya berfikir secara berurutan sesuai dengan system yang dianutnya. Manusia merupakan makhluk yang secara potensial dapat berfikir mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang rumit, dia akan menemukan masalah kemudian dia mencoba untuk menyelesaikan masalah itu dengan alat yang dia punya sehingga permasalahannya akan selesai. Berfikir komprehensif, artinya berfikir secara menyeluruh tidak parsial, sehingga manusia mampu memecahkan masalahnya dengan bijaksana.
Filsafat sendiri secara ringkas hanya membahas tentang manusia, alam dan Tuhan. Ketiga bahasan ini lantas menjadi “obyek” kajian filsafat. Dengan sendirinya ketika membahas tentang manusia, maka langsung muncul bahasan tentang siapakah manusia, bagaimana manusia maujud dan untuk apa manusia ada. Sedangkan alam juga sama, yaitu apa esensi alam, bagaimana alam maujud dan untuk apa alam maujud, bahkan lebih jauh lagi ketika filsafat membahas tentang Tuhan, juga muncul pertanyaan yang mungkin bagi kita terlalu “jauh” untuk dikaji yaitu siapa Tuhan, bagaimana Tuhan maujud dan untuk apa Tuhan wujud.
Jika diatas kita sudah membahas tentang ilmu filsafat, sekarang bagaimana jika kita membahas tentang filsafat ilmu. Tentunya keduanya mempunyai kesamaan dan perbedaan. Kesamaannya adalah keduanya membahas tentang manusia, alam dan Tuhan, keduanya adalah filsafat yang tentu mempunyai ruang lingkup yang sama yaitu ontology, epistemology dan aksiologi yang semuanya mengarah pada pengetahuan, yaitu apa ilmu itu, bagaimana manusia memperoleh ilmu dan untuk apa ilmu itu. Tiga pertanyaan tersebut yang kemudian dikenal dengan ontology (nadzariyat al-wujud), epistemology (nadzariyat al-ma’rifah) dan aksiologi (nadzariyat al-qimah)
B. Ontologi
Sebelum membahas ontology, maka perlu kita ketahui adalah “apa” yang sebenarnya ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap penginderaan dari segenap pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Bagi Descrates maka yang bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan berfikirlah maka sesuatu itu lantas ada atau yang terkenal dengan istilah “cogito ergo sum”. Descrates menyusun filsafatnya secara deduktif berdasarkan pernyataan yang baginya merupakan kebenaran yang tidak diragukan lagi.
John Locke sendiri menganggap bahwa pikiran manusia pada mulanya dapat diibaratkan sebuah lempeng lilin yang licin (tabula rasa) dimana pengalaman indera kemudian melekat pada lempeng tersebut. Makin lama makin banyak pengalaman indera yang terkumpul dan kombinasi dari pengalaman-pengalaman indera ini seterusnya membuahkan ide yang kian lama kian rumit. Dengan demikian pikiran dapat diibaratkan sebagai organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera. Berkeley terkenal dengan pernyataannya “to be is to be perceived” (ada adalah disebabkan persepsi)
Dari sinilah kemudian manusia mulai memaknai apa yang ada dalam semesta ini dengan berbagai potensi yang dimiliki manusia, ada yang mengembangkan potensi spiritualnya sehingga manusia menafsiri hakekat alam itu memiliki ujud-ujud yang bersifat gaib (supernatural) dan wujud-wujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Paham seperti ini kemudian dikenal dengan madzhab supernaturalisme.
Sebagai lawan dari supernaturalisme, maka terdapat paham naturalism yang menolak pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat supernatural ini. Materialisme yang merupakan paham berdasarkan naturalism ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Bahasan tersebut diatas dalam filsafat masuk dalam perbincangan ontologis, karena membincangkan tentang hakekat wujud alam itu sendiri. Menurut Kasiram Ontologi meliputi pembahasan tentang apa hakekat sesuatu yang ada, yang bersifat universal, yang tidak terikat oleh suatu model tertentu. Istilah ontologi digunakan sewaktu membahas sesuatu yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Komponen Ontologi akan memberi batasan apa hakekat garapan ilmu itu, misalnya: apa hakekat hukum dari ilmu hukum, apa hakekat jiwa dari psikologi, apa hakekat pendidikan dari ilmu pendidikan, dan seterusnya. Garapan khusus yang menjadi obyek ilmu itu disebut obyek formil dari ilmu itu. Obyek formil inilah yang membedakan ilmu yang satu dengan ilmu yang lain. Sedangkan obyek materil, bisa sama dari ilmu yang sejenis.
C. Epistemologi
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung maupun tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Apa yang harus kita lakukan sekiranya anak kita demam panas dan menderita kejang? Lagu nina bobok apa yang harus kita nyanyikan agar dia tertidur lelap? Sekiranya insan yang sangat kita cintai itu kemudian meninggalkan kita maka kemana kita mesti berpaling dalam kemelut kesedihan?
Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka harus kita ketahui jawaban apa yang mungkin diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan.
Sekiranya kita bertanya “apakah yang akan terjadi sesudah manusia mati?”, maka pertanyaan itu tidak pantas diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab secara ontologism ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat transcendental yang berada diluar pengalaman kita.
Jadi pada hakikatnya kita mengharapkan jawaban yang benar, bukannya sekedar jawaban yang bersifat sembarang saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafat disebut epistemology, dan landasan epistemology ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain, metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.
Istilah epistemologi berasal dari kata "episteme" yang berarti pengetahuan dan "logos" yang berarti teori. Secara etimologis maka epistemologis berarti teori pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempersoalkan atau menyelidiki tentang asal, susunan, metode serta kebenaran pengetahuan. Menurut "Langeveld" , teori pengetahuan membicarakan hakekat pengetahuan, unsur pengetahuan dan susunan berbagai jenis pengetahuan, pangkal tumpuannya yang fundamental, metode dan batas-batasnya. (Burhanuddin Salam, 1997:97).
Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Dengan kata lain, pengetahuan itu diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan atau metode ilmiah. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, maka sah disebut keilmuan. Kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakekat ilmu dari pada istilah ilmu sebagai kata benda. Hakekat keilmuan ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan menurut syarat keilmuan yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran diatas segala-galanya. (Jujun S Suriasumantri, 2003:9).
Menurut Amos Neolaka, bahwa epistemologi merupakan gabungan antara berfikir secara rasional dan empiris, secara sintesa dan dialektis. Ilmu bertujuan untuk menyusun suatu pengetahuan secara sistematis yang bersifat konsisten dan berorientasi kepada pengalaman manusia. Kaum rasionalis cenderung untuk berfikir konsisten, sistematis dan teoritis, kaum empiris bergulat dengan fakta, tetapi tidak menyusun kerangka teoritis. Itulah sebabnya secara epistemologis, metode ilmiah adalah operasionalisasi epistemologi, sehingga ilmu pengetahuan yang diperoleh berbeda dengan pengetahuan yang lainnya. Jadi ciri ontologi ilmu adalah empiris dan ciri epistemologi ilmu adalah metode ilmiah.
Dalam catatannya Kasiram menyebutkan bahwa Epistemologi membahas tentang proses terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Maka itu, epistemologi membahas tentang sumber, sarana dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai kebenaran pengetahuan tentang sesuatu itu. Ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang dengan metodologi yang kita kenal sekarang lebih banyak menjangkau kebenaran epistemologik, belum menjangkau kebenaran substantif-hakiki. (Noeng Muhajir, 1998:55). Kemudian komponen epistemologi, yang akan membahas tentang bagaimana tatacara memperoleh pengetahuan yang benar dan bagaimana mengembangkannya dari ilmu itu. Tatacara untuk memperoleh pengetahuan yang benar ini disebut metodologi penelitian. Tiap ilmu yang telah berdiri sendiri harus mempunyai metodologi penelitian yang khas, yang cocok, meskipun ilmu yang sejenis misalnya ilmu sosial yang mempunyai obyek materiil yang sama, bisa menggunakan metodologi penelitian yang sama. Namun demikian tetap harus mempunyai kekhasan teknis metodologis sendiri
D. Aksiologi
Sebagai cabang filsafat, aksiologi menunjuk pada kajian atau teori tentang nilai. Menelaah landasan aksiologik ilmu berarti mengkaji hubungan antara ilmu, moral dan nilai-nilai. Sebenarnya, persoalan dan perdebatan aksiologik ilmu muncul bersama kelahiran dan perkembangan. Untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Ke arah mana perkembangan ilmu harus digerakkan? Di manakah batas normatif penjelajahan ilmu?
1. Ilmu dan moral
Revolusi Copernican yang menentang doktris geosentrisisme dan menawarkan heliosentrisisme, misalnya, membuktikan betapa pernyataan keilmuan sudah bersentuhan dengan masalah nilai, khususnya sebagaimana diajarkan oleh agama ketika itu. Kisah ini pun berlanjut hingga pengadilan terhadap Galileo. Namun justru Galileo yang berhasil memberikan jawaban cerdas terhadap problema persinggungan antara ilmu dan agama. Pemisahan diri ilmu dari agama, sebagaimana juga filsafat dari teologi, telah mempengaruhi proses perkembangan pemikiran jaman Renaisans dan selanjutnya.
Secara gagah berani, para perintis ilmu-ilmu modern berjuang untuk menegakkan ilmu dengan kaidah dasar menafsirkan alam sebagaimana adanya (das sein) dan bukan alam sebagaimana seharusnya (das sollen). Karena menafsirkan alam sebagaimana adanya, maka semboyan yang digunakan adalah ilmu bebas nilai. Melalui pertarungan panjang dan memakan sejumlah korban, akhirnya semakin diterima otonomi keilmuan untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
Perkembangan lanjut ilmu, secara tak terelakkan, mengarah pada penerapan terhadap masalah-masalah praktik. Wujudnya, ilmu menjelma menjadi teknologi dan rekayasa. Justru ketika ilmu memasuki tahapan teknologik ini, persoalan moral kembali menyeruak. Untuk apa ilmu digunakan? Bagaimana bila perkembangan ilmu dan teknologi mengarah kepada proses dehumanisasi?
Ada dua golongan ilmuwan berdasarkan penyikapannya terhadap hubungan ilmu dan teknologi dengan moral dan nilai-nilai. Golongan pertama tetap menghendaki agar ilmu bersifat dan ilmuwan bersikap netral. Golongan kedua, menghendaki agar meskipun ilmu secara metafisik bersifat netral, seara teknologi harus berpihak atau sekurang-kurangnya berlandaskan asas-asas moral. Sementara golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu seara totol, golongan kedua lebih bersikap pragmatik. Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia, dan sekali-kali tidak boleh merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
2. Tanggungjawab sosial ilmuwan
Semula ilmu merupakan karya dan pengetahuan perseorangan (personal knowledge). Baru ketika pengetahuan perseorangan tersebut dikomunikasikan (articulated knowledge), ilmu menjadi pengetahuan objektif (objective knowledge) dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Karena itu, sebagai pribadi seorang ilmuwan memikul tanggungjawab sosial. Kedudukan seseorang menjadi seorang ilmuwan, menjadikannya memiliki fungsi sosial sebagai ilmuwan.
Perangkat tanggungjawab sosial ilmuwan terrangkum sebagiannya dalam sikap sosial seorang ilmuwan yang konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dia lakukan. Lazimnya disepakati bahwa keberpihakan ilmuwan terhadap nilai bisa diterima sejauh menyangkut pemilihan masalah kajian. Karena itu pula, sejumlah akademisi memandang perlu menegaskan kebermaknaan kajian, baik secara teoretik, praktik-pragmatik, maupun normatif. Selanjutnya, setelah temuan diperoleh dan kesimpulan dipersembahkan, maka menjadi tugas ilmuwan untuk memberikan perspektif yang benar, tentang keuntungan dan kerugiannya, tentang kebaikan dan keburukannya, sehingga penyelesaian yang objektif bisa ditempuh.
Singkat kalimat, berdasarkan kemampuan dan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi pendapat dan kesadaran masyarakat terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Tanggungjawab sosial demikian akan menuntun para ilmuwan untuk tak terjebak ke dalam sikap terus-menerus elitis dan esoterik. Ilmuwan dituntut untuk tidak saja memiliki pengetahuan dan daya analisis yang handal, tetapi juga memiliki integritas kepribadian serta memiliki kecakapan berkomunikasi dalam bahasa awam.
Seorang ilmuwan juga dituntut untuk memiliki sikap yang sejalan dengan semangat menemukan kebenaran. Rintangannya, seorang ilmuwan pun bisa terjebak untuk mencari pembenaran dan bukan kebenaran, mencari siasat rasionalisasi dan bukan penalaran rasional. Ragam pamrih manusiawi, mulai dari kekayaan, kekuasaan, hingga kemashuran bisa menjebak ilmuwan untuk meninggalkan sikap dan perilaku berpikir teratur dan teliti baik yang menyangkut jalan pikiran maupun materi pemikiran.
Sifat dasar ilmu, bila dihayati dengan benar, akan berimplikasi etik bagi seorang ilmuwan. Penghargaan terhadap kebenaran akan mempengaruhi pandangan moral ilmuwan, karena kebenaran telah menjadi jalan hidupnya. Karena itu, sangat wajar bila ilmuwan yang baik tidak hanya cakap menyampaikan informasi tetapi juga memberikan teladan bagi masyarakatnya. Ini mencakup sikap-sikap mulia seperti objektif, terbuka, mau menerima dan memberi kritik, teguh pendirian dalam kebenaran, tetapi juga berani mengakui kesalahan dan keterbatasan.
Sejumlah prinsip etika keilmuan tersebut harus menjadi pegangan seorang ilmuwan sehingga bisa dengan cerdas dan bijaksana menjawab dilema penggunaan nuklir maupun dilema rekayasa genetika. Demikian pula, sikap terbuka seorang ilmuwan mengharuskan dia untuk mengakui kebaikan dan kebenaran lain di luar kebaikan dan kebenaran ilmu. Betapa pun, ilmu bukan satu-satunya penyangga peradaban manusia. Namun, bila para ilmuwan bersikap konsekuen terhadap pandangan intelektual dan moralnya, maka boleh diharapkan salah satu sendi peradaban manusia akan kukuh.
E. Ilmu dan Kebudayaan
Walaupun dibanding makhluk lain manusia lebih lemah, karena tidak memiliki kemampuan cukup baik untuk bertindak instinktif, ternyata kekurangan ini diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar; berkomunikasi dan menguasai obyek-obyek yang bersifat fisik. Kemampuan untuk belajar ini dimungkinkan oleh berkembangnya inteligensi dan cara berpikir simbolik. Terlebih-lebih lagi manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup lain. Budi ini yang menyebabkan manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap obyek dan kejadian. Pilihan nilai ini yang menjadi tujuan dan isi kebudayaan.
Nilai-nilai budaya adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Di samping nilai-nilai budaya ini kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya. Pada dasarnya tata hidup merupakan pencerminan nyata dari nilai budaya yang bersifat abstrak: kegiatan manusia dapat ditangkap oleh pancaindera sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh budi manusia. Di samping itu maka nilai budaya dan tata hidup manusia ditopang oleh perwujudan kebudayaan berupa sarana kebudayaan. Sarana kebudayaan ini pada dasarnya merupakan produk kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.
Keseluruhan wajah kebudayaan tersebut sangat erat hubungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar ini kebudayaan diteruskan dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian maka kebudayaan diteruskan dari waktu ke waktu: kebudayaan yang telah lalu bereksistensi pada masa kini dan kebudayaan masa kini disampaikan ke masa yang akan datang. Kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat waktu. Tanaman mengikat bahan-bahan kimiawi, binatang mengikat ruang, tetapi hanya manusia seorang yang mampu mengikat waktu.
Allport, Vernon dan Lindzey (1951) mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan kepada manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan penekanan segi-segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan transedental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi. Setiap kebudayaan mempunyai skala hirarki mengenai mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting dari nilai-nilai tersebut serta mempunyai penilaian tersendiri dari tiap-tiap kategori.
Bila masyarakat Indonesia dikehendaki untuk maju, maka kita pun harus memusatkan perhatian kepada nilai-nilai yang relevan dengan masyarakat modern yang sedang dikembangkan. Dibandingkan dengan masyarakat tradisional maka masyarakat modern mempunyai indikator-indikator sebagti berikut: (a) lebih bersifat analitik di mana sebagian besar aspek kehidupan bermasyarakat didasarkan kepada asas efisiensi baik yang bersifat teknis maupun ekonomis, dan (b) lebih bersifat individual daripada komunal terutama ditinjau dari segi pengembangan potensi manusiawi dan masalah survival.
Indikator pertama memberikan tempat yang penting kepada nilai teori dan nilai ekonomi. Nilai teori ini terutama sekali berkaitan erat dengan aspek penalaran (reasoning), ilmu dan teknologi. Sedangkan nilai ekonomi berpusat kepada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara lebih efektif dan efisien berdasarkan kalkulasi yang bertanggung jawab umpamanya pola konsumsi masyarakat. Indikator kedua menimbulkan pergeseran dalam nilai sosial dan nilai kekuasaan (politik). Kedua nilai ini harus lebih berorientasi kepada kepercayaan pada diri sendiri serta keberanian untuk mengambil keputusan sendiri.
Kita belajar filsafat sebenarnya bisa diartikan belajar berfikir yang bebas, radikal, sistematis dan komprehensif. Berfikir bebas artinya manusia berhak memikirkan apa saja tanpa ada batasan dari siapapun, karena pada hakekatnya manusia merupakan manusia yang berfikir sehingga kenyataan ini memang secara hukum alam harus melakukannya, bahkan mungkin jika manusia tidak menggunakan akal pikirannya dia akan disebut sebagai manusia yang mati. Berfikir radikal, artinya berfikir sampai ke akar-akarnya. Pada kenyataannya manusia merupakan makhluk yang terus menerus berargumentasi untuk menentukan kebenaran yang paling dasar. Manusia akan berlomba-lomba menemukan pengetahuan yang orang lain tidak mampu memperdebatkan, karenanya dia akan berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sistematis, artinya berfikir secara berurutan sesuai dengan system yang dianutnya. Manusia merupakan makhluk yang secara potensial dapat berfikir mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang rumit, dia akan menemukan masalah kemudian dia mencoba untuk menyelesaikan masalah itu dengan alat yang dia punya sehingga permasalahannya akan selesai. Berfikir komprehensif, artinya berfikir secara menyeluruh tidak parsial, sehingga manusia mampu memecahkan masalahnya dengan bijaksana.
Filsafat sendiri secara ringkas hanya membahas tentang manusia, alam dan Tuhan. Ketiga bahasan ini lantas menjadi “obyek” kajian filsafat. Dengan sendirinya ketika membahas tentang manusia, maka langsung muncul bahasan tentang siapakah manusia, bagaimana manusia maujud dan untuk apa manusia ada. Sedangkan alam juga sama, yaitu apa esensi alam, bagaimana alam maujud dan untuk apa alam maujud, bahkan lebih jauh lagi ketika filsafat membahas tentang Tuhan, juga muncul pertanyaan yang mungkin bagi kita terlalu “jauh” untuk dikaji yaitu siapa Tuhan, bagaimana Tuhan maujud dan untuk apa Tuhan wujud.
Jika diatas kita sudah membahas tentang ilmu filsafat, sekarang bagaimana jika kita membahas tentang filsafat ilmu. Tentunya keduanya mempunyai kesamaan dan perbedaan. Kesamaannya adalah keduanya membahas tentang manusia, alam dan Tuhan, keduanya adalah filsafat yang tentu mempunyai ruang lingkup yang sama yaitu ontology, epistemology dan aksiologi yang semuanya mengarah pada pengetahuan, yaitu apa ilmu itu, bagaimana manusia memperoleh ilmu dan untuk apa ilmu itu. Tiga pertanyaan tersebut yang kemudian dikenal dengan ontology (nadzariyat al-wujud), epistemology (nadzariyat al-ma’rifah) dan aksiologi (nadzariyat al-qimah)
B. Ontologi
Sebelum membahas ontology, maka perlu kita ketahui adalah “apa” yang sebenarnya ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap penginderaan dari segenap pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Bagi Descrates maka yang bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan berfikirlah maka sesuatu itu lantas ada atau yang terkenal dengan istilah “cogito ergo sum”. Descrates menyusun filsafatnya secara deduktif berdasarkan pernyataan yang baginya merupakan kebenaran yang tidak diragukan lagi.
John Locke sendiri menganggap bahwa pikiran manusia pada mulanya dapat diibaratkan sebuah lempeng lilin yang licin (tabula rasa) dimana pengalaman indera kemudian melekat pada lempeng tersebut. Makin lama makin banyak pengalaman indera yang terkumpul dan kombinasi dari pengalaman-pengalaman indera ini seterusnya membuahkan ide yang kian lama kian rumit. Dengan demikian pikiran dapat diibaratkan sebagai organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera. Berkeley terkenal dengan pernyataannya “to be is to be perceived” (ada adalah disebabkan persepsi)
Dari sinilah kemudian manusia mulai memaknai apa yang ada dalam semesta ini dengan berbagai potensi yang dimiliki manusia, ada yang mengembangkan potensi spiritualnya sehingga manusia menafsiri hakekat alam itu memiliki ujud-ujud yang bersifat gaib (supernatural) dan wujud-wujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Paham seperti ini kemudian dikenal dengan madzhab supernaturalisme.
Sebagai lawan dari supernaturalisme, maka terdapat paham naturalism yang menolak pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat supernatural ini. Materialisme yang merupakan paham berdasarkan naturalism ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Bahasan tersebut diatas dalam filsafat masuk dalam perbincangan ontologis, karena membincangkan tentang hakekat wujud alam itu sendiri. Menurut Kasiram Ontologi meliputi pembahasan tentang apa hakekat sesuatu yang ada, yang bersifat universal, yang tidak terikat oleh suatu model tertentu. Istilah ontologi digunakan sewaktu membahas sesuatu yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Komponen Ontologi akan memberi batasan apa hakekat garapan ilmu itu, misalnya: apa hakekat hukum dari ilmu hukum, apa hakekat jiwa dari psikologi, apa hakekat pendidikan dari ilmu pendidikan, dan seterusnya. Garapan khusus yang menjadi obyek ilmu itu disebut obyek formil dari ilmu itu. Obyek formil inilah yang membedakan ilmu yang satu dengan ilmu yang lain. Sedangkan obyek materil, bisa sama dari ilmu yang sejenis.
C. Epistemologi
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung maupun tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Apa yang harus kita lakukan sekiranya anak kita demam panas dan menderita kejang? Lagu nina bobok apa yang harus kita nyanyikan agar dia tertidur lelap? Sekiranya insan yang sangat kita cintai itu kemudian meninggalkan kita maka kemana kita mesti berpaling dalam kemelut kesedihan?
Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka harus kita ketahui jawaban apa yang mungkin diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan.
Sekiranya kita bertanya “apakah yang akan terjadi sesudah manusia mati?”, maka pertanyaan itu tidak pantas diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab secara ontologism ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat transcendental yang berada diluar pengalaman kita.
Jadi pada hakikatnya kita mengharapkan jawaban yang benar, bukannya sekedar jawaban yang bersifat sembarang saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang dalam kajian filsafat disebut epistemology, dan landasan epistemology ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain, metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar.
Istilah epistemologi berasal dari kata "episteme" yang berarti pengetahuan dan "logos" yang berarti teori. Secara etimologis maka epistemologis berarti teori pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempersoalkan atau menyelidiki tentang asal, susunan, metode serta kebenaran pengetahuan. Menurut "Langeveld" , teori pengetahuan membicarakan hakekat pengetahuan, unsur pengetahuan dan susunan berbagai jenis pengetahuan, pangkal tumpuannya yang fundamental, metode dan batas-batasnya. (Burhanuddin Salam, 1997:97).
Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Dengan kata lain, pengetahuan itu diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan atau metode ilmiah. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan, maka sah disebut keilmuan. Kata sifat keilmuan lebih mencerminkan hakekat ilmu dari pada istilah ilmu sebagai kata benda. Hakekat keilmuan ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan menurut syarat keilmuan yaitu bersifat terbuka dan menjunjung kebenaran diatas segala-galanya. (Jujun S Suriasumantri, 2003:9).
Menurut Amos Neolaka, bahwa epistemologi merupakan gabungan antara berfikir secara rasional dan empiris, secara sintesa dan dialektis. Ilmu bertujuan untuk menyusun suatu pengetahuan secara sistematis yang bersifat konsisten dan berorientasi kepada pengalaman manusia. Kaum rasionalis cenderung untuk berfikir konsisten, sistematis dan teoritis, kaum empiris bergulat dengan fakta, tetapi tidak menyusun kerangka teoritis. Itulah sebabnya secara epistemologis, metode ilmiah adalah operasionalisasi epistemologi, sehingga ilmu pengetahuan yang diperoleh berbeda dengan pengetahuan yang lainnya. Jadi ciri ontologi ilmu adalah empiris dan ciri epistemologi ilmu adalah metode ilmiah.
Dalam catatannya Kasiram menyebutkan bahwa Epistemologi membahas tentang proses terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Maka itu, epistemologi membahas tentang sumber, sarana dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai kebenaran pengetahuan tentang sesuatu itu. Ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang dengan metodologi yang kita kenal sekarang lebih banyak menjangkau kebenaran epistemologik, belum menjangkau kebenaran substantif-hakiki. (Noeng Muhajir, 1998:55). Kemudian komponen epistemologi, yang akan membahas tentang bagaimana tatacara memperoleh pengetahuan yang benar dan bagaimana mengembangkannya dari ilmu itu. Tatacara untuk memperoleh pengetahuan yang benar ini disebut metodologi penelitian. Tiap ilmu yang telah berdiri sendiri harus mempunyai metodologi penelitian yang khas, yang cocok, meskipun ilmu yang sejenis misalnya ilmu sosial yang mempunyai obyek materiil yang sama, bisa menggunakan metodologi penelitian yang sama. Namun demikian tetap harus mempunyai kekhasan teknis metodologis sendiri
D. Aksiologi
Sebagai cabang filsafat, aksiologi menunjuk pada kajian atau teori tentang nilai. Menelaah landasan aksiologik ilmu berarti mengkaji hubungan antara ilmu, moral dan nilai-nilai. Sebenarnya, persoalan dan perdebatan aksiologik ilmu muncul bersama kelahiran dan perkembangan. Untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Ke arah mana perkembangan ilmu harus digerakkan? Di manakah batas normatif penjelajahan ilmu?
1. Ilmu dan moral
Revolusi Copernican yang menentang doktris geosentrisisme dan menawarkan heliosentrisisme, misalnya, membuktikan betapa pernyataan keilmuan sudah bersentuhan dengan masalah nilai, khususnya sebagaimana diajarkan oleh agama ketika itu. Kisah ini pun berlanjut hingga pengadilan terhadap Galileo. Namun justru Galileo yang berhasil memberikan jawaban cerdas terhadap problema persinggungan antara ilmu dan agama. Pemisahan diri ilmu dari agama, sebagaimana juga filsafat dari teologi, telah mempengaruhi proses perkembangan pemikiran jaman Renaisans dan selanjutnya.
Secara gagah berani, para perintis ilmu-ilmu modern berjuang untuk menegakkan ilmu dengan kaidah dasar menafsirkan alam sebagaimana adanya (das sein) dan bukan alam sebagaimana seharusnya (das sollen). Karena menafsirkan alam sebagaimana adanya, maka semboyan yang digunakan adalah ilmu bebas nilai. Melalui pertarungan panjang dan memakan sejumlah korban, akhirnya semakin diterima otonomi keilmuan untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
Perkembangan lanjut ilmu, secara tak terelakkan, mengarah pada penerapan terhadap masalah-masalah praktik. Wujudnya, ilmu menjelma menjadi teknologi dan rekayasa. Justru ketika ilmu memasuki tahapan teknologik ini, persoalan moral kembali menyeruak. Untuk apa ilmu digunakan? Bagaimana bila perkembangan ilmu dan teknologi mengarah kepada proses dehumanisasi?
Ada dua golongan ilmuwan berdasarkan penyikapannya terhadap hubungan ilmu dan teknologi dengan moral dan nilai-nilai. Golongan pertama tetap menghendaki agar ilmu bersifat dan ilmuwan bersikap netral. Golongan kedua, menghendaki agar meskipun ilmu secara metafisik bersifat netral, seara teknologi harus berpihak atau sekurang-kurangnya berlandaskan asas-asas moral. Sementara golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu seara totol, golongan kedua lebih bersikap pragmatik. Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia, dan sekali-kali tidak boleh merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
2. Tanggungjawab sosial ilmuwan
Semula ilmu merupakan karya dan pengetahuan perseorangan (personal knowledge). Baru ketika pengetahuan perseorangan tersebut dikomunikasikan (articulated knowledge), ilmu menjadi pengetahuan objektif (objective knowledge) dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Karena itu, sebagai pribadi seorang ilmuwan memikul tanggungjawab sosial. Kedudukan seseorang menjadi seorang ilmuwan, menjadikannya memiliki fungsi sosial sebagai ilmuwan.
Perangkat tanggungjawab sosial ilmuwan terrangkum sebagiannya dalam sikap sosial seorang ilmuwan yang konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dia lakukan. Lazimnya disepakati bahwa keberpihakan ilmuwan terhadap nilai bisa diterima sejauh menyangkut pemilihan masalah kajian. Karena itu pula, sejumlah akademisi memandang perlu menegaskan kebermaknaan kajian, baik secara teoretik, praktik-pragmatik, maupun normatif. Selanjutnya, setelah temuan diperoleh dan kesimpulan dipersembahkan, maka menjadi tugas ilmuwan untuk memberikan perspektif yang benar, tentang keuntungan dan kerugiannya, tentang kebaikan dan keburukannya, sehingga penyelesaian yang objektif bisa ditempuh.
Singkat kalimat, berdasarkan kemampuan dan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi pendapat dan kesadaran masyarakat terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Tanggungjawab sosial demikian akan menuntun para ilmuwan untuk tak terjebak ke dalam sikap terus-menerus elitis dan esoterik. Ilmuwan dituntut untuk tidak saja memiliki pengetahuan dan daya analisis yang handal, tetapi juga memiliki integritas kepribadian serta memiliki kecakapan berkomunikasi dalam bahasa awam.
Seorang ilmuwan juga dituntut untuk memiliki sikap yang sejalan dengan semangat menemukan kebenaran. Rintangannya, seorang ilmuwan pun bisa terjebak untuk mencari pembenaran dan bukan kebenaran, mencari siasat rasionalisasi dan bukan penalaran rasional. Ragam pamrih manusiawi, mulai dari kekayaan, kekuasaan, hingga kemashuran bisa menjebak ilmuwan untuk meninggalkan sikap dan perilaku berpikir teratur dan teliti baik yang menyangkut jalan pikiran maupun materi pemikiran.
Sifat dasar ilmu, bila dihayati dengan benar, akan berimplikasi etik bagi seorang ilmuwan. Penghargaan terhadap kebenaran akan mempengaruhi pandangan moral ilmuwan, karena kebenaran telah menjadi jalan hidupnya. Karena itu, sangat wajar bila ilmuwan yang baik tidak hanya cakap menyampaikan informasi tetapi juga memberikan teladan bagi masyarakatnya. Ini mencakup sikap-sikap mulia seperti objektif, terbuka, mau menerima dan memberi kritik, teguh pendirian dalam kebenaran, tetapi juga berani mengakui kesalahan dan keterbatasan.
Sejumlah prinsip etika keilmuan tersebut harus menjadi pegangan seorang ilmuwan sehingga bisa dengan cerdas dan bijaksana menjawab dilema penggunaan nuklir maupun dilema rekayasa genetika. Demikian pula, sikap terbuka seorang ilmuwan mengharuskan dia untuk mengakui kebaikan dan kebenaran lain di luar kebaikan dan kebenaran ilmu. Betapa pun, ilmu bukan satu-satunya penyangga peradaban manusia. Namun, bila para ilmuwan bersikap konsekuen terhadap pandangan intelektual dan moralnya, maka boleh diharapkan salah satu sendi peradaban manusia akan kukuh.
E. Ilmu dan Kebudayaan
Walaupun dibanding makhluk lain manusia lebih lemah, karena tidak memiliki kemampuan cukup baik untuk bertindak instinktif, ternyata kekurangan ini diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar; berkomunikasi dan menguasai obyek-obyek yang bersifat fisik. Kemampuan untuk belajar ini dimungkinkan oleh berkembangnya inteligensi dan cara berpikir simbolik. Terlebih-lebih lagi manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup lain. Budi ini yang menyebabkan manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap obyek dan kejadian. Pilihan nilai ini yang menjadi tujuan dan isi kebudayaan.
Nilai-nilai budaya adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Di samping nilai-nilai budaya ini kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya. Pada dasarnya tata hidup merupakan pencerminan nyata dari nilai budaya yang bersifat abstrak: kegiatan manusia dapat ditangkap oleh pancaindera sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh budi manusia. Di samping itu maka nilai budaya dan tata hidup manusia ditopang oleh perwujudan kebudayaan berupa sarana kebudayaan. Sarana kebudayaan ini pada dasarnya merupakan produk kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.
Keseluruhan wajah kebudayaan tersebut sangat erat hubungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar ini kebudayaan diteruskan dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian maka kebudayaan diteruskan dari waktu ke waktu: kebudayaan yang telah lalu bereksistensi pada masa kini dan kebudayaan masa kini disampaikan ke masa yang akan datang. Kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat waktu. Tanaman mengikat bahan-bahan kimiawi, binatang mengikat ruang, tetapi hanya manusia seorang yang mampu mengikat waktu.
Allport, Vernon dan Lindzey (1951) mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memenuhi kebutuhan manusia. Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang memberikan kenikmatan kepada manusia. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan penekanan segi-segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama merengkuh penghayatan yang bersifat mistik dan transedental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi. Setiap kebudayaan mempunyai skala hirarki mengenai mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting dari nilai-nilai tersebut serta mempunyai penilaian tersendiri dari tiap-tiap kategori.
Bila masyarakat Indonesia dikehendaki untuk maju, maka kita pun harus memusatkan perhatian kepada nilai-nilai yang relevan dengan masyarakat modern yang sedang dikembangkan. Dibandingkan dengan masyarakat tradisional maka masyarakat modern mempunyai indikator-indikator sebagti berikut: (a) lebih bersifat analitik di mana sebagian besar aspek kehidupan bermasyarakat didasarkan kepada asas efisiensi baik yang bersifat teknis maupun ekonomis, dan (b) lebih bersifat individual daripada komunal terutama ditinjau dari segi pengembangan potensi manusiawi dan masalah survival.
Indikator pertama memberikan tempat yang penting kepada nilai teori dan nilai ekonomi. Nilai teori ini terutama sekali berkaitan erat dengan aspek penalaran (reasoning), ilmu dan teknologi. Sedangkan nilai ekonomi berpusat kepada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara lebih efektif dan efisien berdasarkan kalkulasi yang bertanggung jawab umpamanya pola konsumsi masyarakat. Indikator kedua menimbulkan pergeseran dalam nilai sosial dan nilai kekuasaan (politik). Kedua nilai ini harus lebih berorientasi kepada kepercayaan pada diri sendiri serta keberanian untuk mengambil keputusan sendiri.
0 comments:
Post a Comment