Oleh Mulyadhi Kartanegara
Pengantar
Kata “filsafat Islam” telah lama kita dengar, tetapi apa itu maknanya, lingkup, dan
pandangannya, sepertinya masih harus kita diskusikan. Oleh karena itu dalam paper ini saya
ingin mendiskusikan beberapa topik penting, yaitu: (1) Apa itu filsafat Islam? (2) Peran filsafat Islam dalam Dunia Modern, (3) Filsafat Islam di Indonesia, dan terakhir (4) Menyongsong Masa Depan Filsafat Islam. Dengan ini diharapkan pemahamanan kita tentang filsafat Islam dari sudut cita dan fakta bisa menjadi lebih baik dan bermakna.
1. Apa itu Filsafat Islam?
a. Adakah yang disebut Filsafat Islam?
Dalam buku saya yang berjudul Gerbang Kearifan, saya mendiskusikan beberapa pandangan sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan bisa memiliki filsafat yang independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof Muslim adalah pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim.
Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan namanama lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam.
Adapun saya sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan setidaknya 3 alasan. Pertama: Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini, sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof Muslim.
Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adealah pemerhati flsafat asing yang kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka tanpa ragu-ragu mereka mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan 1menggantikannnya dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan al-Sawi dan Ibn Taymiyyah, juga mengeriktik sistem logika Aristotetles. Sementara al-‘Amiri mengeritik dengan pedas pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan Islam.
Ketiga, adalah adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam, akibat dari interaksi antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsfat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mikraj dsb.
b. Lingkup Filsafat Islam
Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini.
Ketika Ibn Sina menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia tidak hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika dan fisika. Dan ia menulisnya sedeikian lengkap pada setiap bidang tersebut, sehingga kita misalnya memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi pengantar, kategori, analitika priora, analitika posteriora, topika, dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk matematika, ia menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi, seperti tentang langit, meteorologi, kejadian dan khancuran yang menandai semua benda fisik, tentang batu-batuan (minerologi), tumbuh-tumbuhan (botani), hewan (zoologi), anatomi, farmakologi, kedokteran dan psikologi. Dan sebagai puncaknya ia menulis tentang metafisika (al-‘ilm al-ilahi) yang meliputi bidang ketuhanan, malaikat dan akal-akal, dan hubungan mereka dengan dunia fisik yang dibahas dalam bidang fisika.
Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh ia meliputi bidang-bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran, ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang digunakanaanaya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan tidak ada, sarjana filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Hal ini terjadi, menurut hemat penulis, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.
c. Pandangan Filsafat yang Holistik
Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber yang sah dan penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya.
2. Peran Filsafat Islam dalam Dunia Modern
a. Menjawab Tantangan Kontemporer
Pada saat ini, dalam pandangan saya, umat Islam telah dilanda berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace (w. 1827), kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa.Dan ia mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam, tetapi adalah hukukm alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam. Demikian juga dalam bidang biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewanhewan, karena menurut Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena mekanisme alam sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection). Menurutnya hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan engselnya sendiri, kalau ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah agen yang cerdas di luar dirinya. Oleh karena itu dalam pandangan Darwin, Tuhan telah berhenti menjadi pencipta hewan.
Dalam bidang psikologi, Freud (w. 1941) telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan, sebagai konsep, muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi menghadapi tantangan eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan internalnya, ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan Emil Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah Masyarakat itu sendiri yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial yang ada. Dengan demikian jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki tempat yang spesial, bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah.
Tantangan yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, rkologi dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa kritik, atau respons kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab tantangan-tantangan tersebut secara rasional dan elegan, dan tidak semata-mata bersifat dogmatis dan otoriter. Dan di sinilah saya melihat bahwa filsafat Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.
b. Filsafat sebagai Pendukung Agama
Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan bagi agama, saya melihat filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan filsafat modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena menurut hemat saya tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, saya yakin bahwa Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis.
Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya, memang betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam juga adalag sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahwan pendukung agama. Di sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis seperti yang saya deskrisikan di atas.
Serangan terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argumen adanya Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dll., seperti yang telah saya jelaskan antara lain dalam buku saya Menembus Batas Waktu. Serangan terhadap wahyu bisa dijawab oleh berbagai teori pewahyuan yang telah dikemukakan oleh banyak pemikir Muslim dari al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn Rusyd, Mulla Shadra dll.
Demikian juga serangan terhadap validitas pengalaman mistik dan religius, juga telah dijawab secara mendalam oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Reconstruction of Religiuous Thought in Islam dan Mehdi Ha’iri Yazdi dalam bukunya The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Dalam kedua karya ini, Iqbal dan Yazdi telah mencoba menjelaskan secara filosofis tentang realitas pengalaman religius dan mistik, dan berusaha menjadikan pengalaman mistik sebagai salah satu sumber ilmu yang sah. Tentu saja masih banyak hal yang dapat dilakukan filsafat Islam untuk mendukung agama, yang tidak pada tempatnya untuk dijelaskan secara rinci di sini.
3. Filsafat Islam di Indonesia
a. Masa Lalu
Filsafat Islam belum begitu dikenal di Indonesia, karena memang filsfat Islam baru diperkenalkan ke publik pada tahun 70-an oleh almarhum Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya yang terkenal Falsafah & Mistisime dalam Islam, yang diterbitkan Bulan Bintang pada tahun 1973. Dalam buku ini pak Harun telah memperkenalkan 6 filosof Muslim yang terkenal yaitu al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, setelah sebelumnya ia membicarakan tentang “Kontak Pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafah Yunani.” Dalam buku ini pak Harun dengan singkat tetapi esensial memperkenalkan biografi dan ajaran para filosof Muslim tersebut, sehingga para mahasiswa Muslim, khususnya mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia, telah menyadari keberadaan filsafat Islam yang sebelumnya hampir tidak pernah diperkenalkan kepada mereka. Dan dengan dijadikannya buku tersebut sebagai buku wajib, maka pak Harun boleh dikata telah berhasil memperkenalkan filsafat Islam di Indonesia ini.
Tetapi karena buku ini merupakan satu-satunya buku yang digunakan dalam matakuliah filsafat Islam selama puluhan tahun, maka timbul kesan yang keliru bahwa seakan filsafat Islam hanya menghasilkan 6 orang filosof sebagaimana yang diperkenalkan oleh Pak Harun di atas. Untunglah pada tahun 1987 Pustaka Jaya telah menerbitkan sebuah buku terjemahan yang bagus dan komprehensif tentang filsafat Islam karangan Majid Fakhry yang berjudul Sejarah Filsafat Islam, yang diterjemahkan oleh saya sendiri, sehingga dengan demikian sadarlah kita bahwa filsafat Islam telah melahirkan bukan hanya 6 filosof, sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh Pak harun, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan para filosof yang tidak kalah hebatnya daripada filosof-filosof yang telah diperkenalkan sebelumnya. Buku ini menjelaskan filsafat Islam dari sudut historis, yang meliputi paparan tentang perkembangan filsafat sebelum Islam, pada masa awal Islam, masa pertengahan dan masa modern. Dan buku ini telah menikmati posisi yang penting di universitas-universitas Islam, sebagai buku daras yang tak ada duanya pada saat itu.
Mahasiswa Muslim sangat diuntungkan dengan kehadiran karya terjemahan ini, karena ia telah banyak mengubah persepsi yang keliru tentang filsafat Islam dari sudut lingkup, rentangan waktu, ajaran dll. Dengan buku ini pula kita menjadi sadar bahwa ternyata filsafat Islam tidak berhenti pada Ibn Rusyd sebagaimana dikesankan setelah membaca buku pak harun, tetapi terus hidup dan berlangsung hingga saat ini.
b. Masa Kini
Yang saya maksud dengan masa kini, adalah kurang lebih periode sepuluh tahun terkahir dari sekarang. Pada saat ini kita telah menikmati banyak informasi tentang filsafat Islam. Diterjemahkannya buku yang diedit oleh M.M. Syarif yang berjudul, History of Muslim Philosophy secara parsial ke dalam bahasa Indonesia telah memperkaya khazanah filsafat Islam di Indonesia. Tetapi tambahan informasi yang sangat signifikan terjedi setelah penerbit Mizan menerjemahkan karya besar dalam sejarah filsafat Islam yang diedit oleh Nasr dan Oliver Leaman, yang berjudul A History of Islamic Philosophy ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Ensiklopedia Filsafat Islam (dua jilid). Berbagai karya filosofis yang lebih spesifik (misalnya yang membahas tentang pemikiran para filosof tertentu) juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti The Philosophy of Mulla Sadra yang ditulis oleh Fazlur Rahman, yang membahas beberapa aspek dari pemikiran Mulla Shadra, atau Knowledge and Illumination, karangan Hussein Ziai, yang membicarakan secara khusus filsafat iluminasi Suhrawardi. Namun sejauh ini, informasi ini lebih bersandar pada terjemahan dari karya asing, dan bukan karangan sarjana Muslim Indonesia sendiri. Sedikit sekali karya filsafat Islam yang ditulis oleh para penulis negeri ini. Ada misalnya buku tentang Suhrawardi yang ditulis oleh sdr Amroeni, khususnya kritik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik,atau yang ditulis oleh M. Iqbal tentang Ibn Rusyd, sebagai bapak rasionalisme. Namun tulisan-tulisan tersebut masih bersifat studi tokoh, dan pada dasarnya diadaptasi dari sebuah tesis atau disertasi. Tidak banyak penulis Muslim Indonesia yang menulis buku pengantar terhadap filsafat Islam yang bersifat independen, kecuali pak Haidar Bagir dengan Buku Saku Filsafat Islam-nya, dan saya sendiri dengan Gerbang Kearifan-nya.
4. Menyongsong Masa Depan
a. Rekonstruksi Filsafat Islam
Kita pada dasarnya tidak tahu persis apa yang akan terjadi pada filsafat Islam di masa depan. Tetapi kita bisa menyongsongnya dengan melakukan beberapa kegiatan yang konstruktif bagi masa depan filsafat Islam yang lebih baik. Tetapi terus terang saja saya merasa sedih demi memikirkan betapa sedikitnya usaha-usaha dari para sarjana Muslim di negeri ini untuk mempersiapkan masa depan filsafat Islam yang lebih baik. Banyak sarjanasarjana terbaik Muslim, justru lebih tertarik pada filsafat Barat daripada filsafat Islam sendiri. Nah keadaan inilah yang kemudian mendorong saya untuk menulis beberapa karya filsafat, bukan saja agar filsafat Islam lebih dikenal, tetapi juga sebagai upaya merekonstruksi filsafat Islam agar lebih relevan dengan konteks dan tuntutan masa kini.
Nah dalam rangka mengkonstruksi pemikiran filosofis inilah maka saya mencoba untuk menulis beberapa karya, seperti yang akan saya uraikan berikut ini.
1). Remapping Filsafat Islam
Tidak banyaknya buku pengantar filsafat Islam telah menyebabkan banyak ketidakjelasan tentang aspek-aspek apa saja yang diliput dalam filsafat Islam. Oleh karena itu saya merasa terdorong untuk memetakan kembali (remapping) filsafat Islam, dan untuk itu saya menulis sebuah buku pengantar filsafat Islam yang berjudul Gerbang Kearifan. Buku kecil ini dimaksudkan untuk memperkenalkan filsafat Islam dalam berbagai aspeknya. Sering buku pengantar filsafat Islam bersifat monolitik, dalam arti hanya membahas satu aspek tertentu saja dari filsafat Islam, misalnya alirannya saja, sejarahnya saja, atau tokoh-tokohnya saja.
Tidak banyak buku pengantar yang mencoba mengenalkan beberapa aspek filsafat Islam sekaligus. Nah, karena itu saya mencoba dalam karya kecil ini memperkenalkan filsafat Islam dalam berbagai aspeknya, seperti aliran-aliran filsafat yang telah dikembangkan di dunia Islam, seperti Peripatetik, Illuminasionis, Irfani dan Hikmah Muta’aliyyah. Selain aliran-aliran, karya ini juga mencoba mediskusikan beberapa topik penting dalam filsafat seperti tentang Tuhan, alam dan manusia. Digambarkan di sini berbagai konsep filosofis tentang Tuhan, seperti Tuhan sebagai Sebab Pertama, sebagai Wajib al-Wujud, sebagai Cahaya dan juga sebagai Wujud Murni. Kemudian beberapa pertanyaan kritis diajukan berkaitan dengan filsafat alam, misalnya, apakah alam dicipta atas kehendak Tuhan atau keniscayaan logis? Apakah alam abadi atau dicipta dalam waktu? Apakah alam telah ditentukan secara deterministik atau berkembang secara evolutif? Dan apakah alam diatur secara langsung oleh Tuhan atau didelegasikan kepada sebab sekunder? Adapun tentang manusia, maka dibahas di sini manusia sebagai mikrokosmos, manusia sebagai tujuan akhir penciptaan, manusia sebagai theomorfis dan juga disinggung tentang manusia dan
kebebasan memilihnya.
Selain aspek historis (dalam bentuk aliran-aliran) dan tema-tema utama, Gerbang Kearifan juga membahas tentang hubungan filsafat dan disiplin ilmu lainnya. Misalnya dijelaskan di dalamnya, bagaimana hubungan antara filsafat dan sains, filsafat dan agama, serta hubungan filsafat dan mistisime atau tasawuf. Dan terkahir buku ini juga membicarakan tentang ladang-ladang potensial yang bisa digarap untuk kajian masa depan filsafat Islam. Ladang-ladang potensial tersebut antara lain, (1) studi biografis, yang memperkenalkan ribuan ilmuan-filosof Muslim, (2) studi gnomologis, yang mencoba membahas berbagai karya hikmah yang pernah dibuat oleh para filosof Muslim, (3) sains Islam, yang sangat penting dikaji ulang tetapi yang sangat terabaikan, (4) filsafat perenial, yang membahas pemikiran dari berbagai pemikir Muslim perenial yang umumnya berasal dari Eropa, yang telah banyak menghasilkan karya-karya besar, dan terakhir (5) filsafat paska-Ibn Rusyd, yang akan membicarakan perkembangan filsafat Islam setelah masa Ibn Rusyd hingga saat ini. Dengan demikian jelas, bahwa Gerbang Kearifan berusaha untuk memetakan kembali seluruh hasil pemikiran filsafat Islam dalam suatu kesatuan yang padu.
2) Rekonstruksi Epistemologis
Problem lain yang dihadapi filsafat Islam pada saat ini adalah tidak jelasnya pada kebanyakan pembaca filsafat Islam di negeri ini tentang bangunan epistemologi Islam.
Banyak kesimpang-siuran yang terjadi dan ketidak-jelasan yang dapat ditemukan di bidang yang satu ini. Saya sampai pada kesimpulan bahwa sebuah karya yang khusus di bidang ini untuk merekonstruksi bangunan epistemologi Islam perlu ditulis. Inilah yang mendorong saya kemudian untuk menulis sebuah karya epistemologi yang berjudul Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Dalam karya yang terbit pada tahun 2003 ini saya mencoba untuk merekonstruksi epistemologi Islam dalam 14 bab. Menurut saya adalah penting untuk pertama-tama mengerti betul apa yang disebut ilmu dalam tradisi Islam dan bedanya dengan sains. Ilmu dibedakan dengan sains terutama dalam lingkupnya. Sementara sains modern membatasi lingkupnya hanya pada bidang-bidang fisik-empiris, ilmu dalam tradisi ilmiah Islam meliputi bukan hanya bidang fisik tetapi juga bidang matematik dan bahkan metafisik.
Isu lain yang perlu mendapat perhatian juga berkaitan dengan objek ilmu dan metode ilmiah. Dalam filsafat ilmu modern, objek-objek ilmu dibatasi hanya pada objek-objek fisik, sedangkan dalam tradisi ilmiah Islam, objek ilmu tidak pernah dibatasi hanya pada objekobjek fisik, tetapi melebar pada objek-objek matematik dan metafisik. Namun sebelum berbicata tentang objek-objek non-fisik, maka terlebih dahulu perlu didiskusikan tentang status ontologis objek-objek non-fisik tersebut, mengingat banyak orang-orang modern yang merasa ragu akan keberadaan dan realitas mereka. Bagi para filosof Muslim, semua objekobjek ilmu, baik yang fisik maupun yang non-fisik adalah real, dalam arti nyata dan memiliki status ontologis yang fundamental. Namun justru karena objek ilmu itu berbedabeda dalam sifat dasarnya, maka kita juga harus menemukan beberapa metode ilmiah yang berbeda agar cocok dengan jenis dn sifat dasar objeknya. Observasi tentu sja sangat berguna untuk meneliti objek-objek yang bersifat fisik tetapi untuk objek-objek yang bersifat non-fisik maka kita perlu menggunakan metode lain, seperti burhani dan ‘irfani.
Demikian juga untuk memhami naskah-naskah suci, seperti al-Qur’an dan hadits diperlukan metode lain, yang biasa disebut metode bayani. Selain isu-isu di atas, filsafat Islam juga, menurut saya, perlu mendiskusikan tentang realitas pengalaman mistik atau religius, karena sikap skeptik dari banyak kalangan ilmuwan dan filosof modern terhadapnya. Kita harus bisa menunjukkan secara rasional, bahwa pengalaman religus (mistik atau kenabian) adalah real, sama realnya dengan pengalaman indrawi. Dan karena itu bisa untuk dijadikan sebagai sumber yang sah bagi ilmu, sebagaimana pengalaman indrawi. Selain pengalaman mistik, kita juga perlu
mendiskusikan realitas pewahyuan dan menjelaskan secara rasional kemungkinan pewahyuan seperti yang dialami oleh para Nabi.
Persoalan lain yang perlu dicermati adalah soal objektivitas ilmu. Sementara ini banyak kalangan percaya bahwa sains telah mencapai tingkat objektivitas yang demikian tinggi, sehingga bisa berlaku universal dan bebas nilai. Tetapi peneltian yang cermat, menunjukkan bahwa objektivitas absolut tidak mungkin bisa dicapai, dan ini terjadi karena hasil penelitian ilmiah sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kecenderungan bahkan ideologi dan kepercayaan dari ilmuwan-ilmuwan itu sendiri. Seorang astronom Barat sepeerti Laplace memiliki pemahaman yang sangat berbeda tentang alam dari astronom Muslim, seperti al-Biruni. Bahkan ketika Darwin dan Rumi percaya kepada evolusi, namun dalam memberikan keterangan tentang apa yang menyebabkan atau bertanggung jawab atas terjadinya evolusi tersebut sangat berbeda. Oleh karena itu maka menurut saya perlu dirumuskan bagaimana pandangan keilmuan yang cocok dengan ajaran fundamental Islam, sehingga diperoleh kemajuan ilmiah, tetapi tidak bertentangan dengan kepercayaan agama.
3). Integrasi Ilmu
Hal lain yang perlu dikonstruksi ulang adalah soal integrasi ilmu. Dikotomi yang terjadi antara ilmu-ilmu agama, di sati pihak, dan ilmu-ilmu umum, di pihak lain telah menimbulkan berbagai masalah keilmuan yang merugikan. Terjadinya penolakan terhadap keabsahan ilmiah dari keduaanya seringkali terjadi. Oleh karena itu perlu sekali dicari jalan untuk menjembatani dan mengintegrasikan berbagai aspek keilmuan tersebut dalam suatu pandangan yang holistik-integral. Untuk menjawab tantangan inilah, maka kemudian saya mencoba merumuskan integrasi ilmu ini dalam karya saya yang lain yang berjudul Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Maka berbagai aspek integrasi ilmu terus ditelusuri dan diteliti. Dari penelitian ini maka dirmuskan bahwa sumber dari segala integrasi ilmu ini tidak lain daripada konsep tawhid, yang merupakan ajaran yang paling fundamental dalam Islam. Adapun integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum terletak pada kenyataan bahwa objek dari kedua jenis ilmu tersebut adalah sama, yakni sama-sama sebagai ayat Allah.
Ilmu-ilmu agama telah menjadikan al-Qur’an sebagai objek utama penelitiannya, sedangkan ilmu-ilmu umum telah menjadikan alam sebagai objek utama, Baik al-Qur’an maupun alam dipandang dalam tradisi ilmiah Islam sebagai ayat-ayat Allah, hanya saja yang pertama ayat qawliyyah sedangkan yang kedua kawniyyah. Persoalan sebenarnya timbul ketika ilmu-ilmu umum berhenti memandang alam sebagai ayat Allah, sementara ilmu-ilmu agama masih memandang al-Qur’an sebagai ayat Allah. Menurut hemat saya kalau saja kita bisa memandang alam sebagai ayat Allah dalam penelitian ilmiah kita, maka konflik antara agama dan sains bisa dihindarkan.
Selain menemukan titik temu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, perlu juga dirumuskan ulang integrasi di berbagai bidang keilmuan, seperti integrasi objek-objek ilmu, integrasi bidang ilmu, sumber ilmu, dan metode ilmiah, dll..Dalam soal integrasi objek ilmu, epistemologi Islam tidak membatasi objek ilmu hanya pada objek-objek fisik, tetapi juga objek-objek non-fisik, dan ini tentu saja didasarkan pada keyakinan para ilmuwan Muslim pada realitas atau status ontologis dari objek-objek tersebut, baik yang fisik maupun non-fisik.
Dengan diakuinya objek-objek fisik dan non-fisik tersebut, maka mudah untuk membayangkan adanya integrasi di bidang-bidang atau cabang-cabang ilmu yang berbeda sifat-sifatnya. Maka dalam karya ini saya menunjukkan adanya integrasi antara ilmu-ilmi fisika, yang meliputi minerologi, botani, zoologi, anatomi, kedokteran dan psikologi, ilmu-ilmu matematika, yang meliputi aritmatika, geometri, aljabar, optik, musik dan astronomi, dan ilmu-ilmu metafisik, yang meliputi, ontologi, teologi, kosmologi, antropologi dan eskatologi.
Selain pada objek dan bidang ilmu, integrasi juga perlu dirumuskan dalam kaitannya dengan sumber ilmu. Dalam epistemologi Islam, sumber ilmu tidak dibatasi hanya pada persepsi inderawi, tetapi juga meliputi penalaran rasional dan persepsi atau pengalaman intuitif, dan sekaligus juga wahyu. Sumber-sumber yang berbeda ini, sekalipun dapat dibedakan satu sama lain, tetapi tidak dipandang secara terpisah-pisah melainkan dibingkai dalam sebuah bangunan yang holistik. Sumber-sumber yang berbeda ini dipandang sama-sama sahnya sebagai sumber ilmu, sehingga epistemologi Islam memiliki sumber ilmu yang lebih kaya ketimbang epistemologi Barat yang hanya menerima persepsi indrawi sebagai sumber yang sah bagi ilmu. Namun integrasi di bidang sumber-sumber ilmu, ini juga harus diikuti oleh integrasi di bidang metode ilmiah. Adanya objek-objek ilmu yang berbeda sifat dasarnya, menyebabkan ilmuwan-ilmuwan Muslim berusaha membangun berbagai metode ilmiah yang berbeda-beda. Karena metode observasi yang biasa digunakan untuk objekobjek fisik, tentu saja tidak bisa digunakan untuk meneliti objek-objek akal yang bersifat abstrak atau immaterial. Tentu untuk itu perlu dicari metode lain yang tepat untuknya.
Dengan demikian maka dalam Integrasi Ilmu ini saya mencoba mendiskusikan sekurangnya empat macam metode ilmiah yang pernah digunakan oleh para ilmuwan Muslim, yaitu tajribi (metode eksperimen), burhani (metode logika demonstratif), ‘irfani (metode intuitif) dan bayani (metode hermeneutik, yang digunakan untuk memahami naskah suci).
b. Reaktualisasi Tradisi Filsafat Islam
1) Membangun Tradisi Ilmiah Baru
Upaya rekonstruksi filsafat Islam seperti yang saya lakukan dalam karya-karya di atas, tentunya telah memberi sumbangan yang cukup berarti kepada wacana filosofis Islam di Indonesia. Namun wacana saja, saya anggap tidak akan betul-betul signifikan bagi perkembangan filsafat di negeri ini. Upaya-upaya yang lebih real dan kongkrit harus terus dilakukan, agar kehadiran dan perkembangan filsafat Islam semakin terasa. Ada setidaknya
dua upaya yang telah saya lakukan:
(1) membangun tradisi ilmiah Islam, dan
(2) mendirikan pusat kajian dan informasifilsafat Islam.
Marilah kita mulai dengan yang pertama. Kemajuan yang berati dari ilmu pengetahuan nampaknya tidak akan betul-betul tercapai sampai suatu bangsa memiliki tradisi ilmiahnya. Barat maju dalam ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia memiliki tradisi ilmiah yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim pada masa lalu telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah yang sangat gemilang dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah
tradisi ilmiah yang mapan dan karakteristik yang berbeda dengan tradisi ilmiah Barat.
Dengan demikian saya sampai pada kesimpulan bahwa tanpa dimilikinya sebuah tradisi ilmiah tertentu, maka bangsa kita tidak akan mencapai prestasi yang gemilang dalam hal kemajuan ilmu. Oleh karena itu, upaya yang sungguh-sungguh perlu dilakukan untuk membangun sebuah tradisi ilmiah tertentu di negeri ini.
Namun untuk mampu mendirikan sebuah tradisi ilmiah yang didambakan tidaklah mudah, dan kita membutuhkan sebuah model ideal untuk kita tiru. Untuk keperluan itulah maka saya mencoba, dalam buku saya yang lain Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, untuk memberi gambaran yang gamblang tentang bagaimana sebuah tradisi ilmiah dibangun.
Tradisi ilmiah Islam saya pilih sebagai model ideal untuk membangun tradisi ilmiah, karena pertama tradisi ini lebih cocok kita kembangkan di negeri ini yang berpenduduk mayoritas Muslim. Kedua karena tradisi ilmiah Barat telah lama diperkenalkan di sini, dan kita membutuhkan sebuah tradisi ilmiah yang baru sebagai alternatif.
Dalam buku Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam ini saya mencoba memotret tradisi ilmiah Islam dengan gamblang dengan maksud mencari tahu apa rahasia sukses para ilmuwan Muslim pada masa kejayaannya, untuk kemudian kita tiru, sehingga terbangunlah sebuah tradisi ilmiah yang didambakan. Buku ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan penting,yaitu
(1) faktor-faktor apa yang telah mendorong pesatnya ilmu pengetahuan di masa kejayaan Islam?
(2) Lembaga-lembaga pendidikan yang bagaimana yang telah bertanggung jawab atas munculnya ratusan ilmuwan Muslim yang agung di berbagai bidang, dan
(3) apa sistempendidikan yang diterapkan di sana? Selain tiga pertanyaan di atas adalah lagi tiga
pertanyaan yang tidak kalah fundamentalnya yaitu
(4) kegiatan-kegiatan ilmiah apa saja yang telah dilakukan para ilmuwan Muslim sehingga mereka telah melahirkan ratusan ribu karya ilmiah di berbagai bidang?
(5) riser-riset ilmiah yang bagaimana yang mereka lakukan sehingga mereka berhasil mengembangkan berbagai disiplin ilmiah, baik yang berkenaan dengan ilmu-ilmu agama (naqliyyah) maupun umum (‘aqliyyah) dan terakhir
(6) metodemetode ilmiah apa saja yang mereka gunakan dalam mempelajarai dan menganalisa
berbagai objek ilmu yang berbeda-beda jenis dan sifat dasarnya?
Dari upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka kita kemudian menjadi tahu apa yang menjadi kunci sukses mereka. Pertama, faktor-faktor yang mendorong pesatnya ilmu pengetahuan pada masa itu adalah
(1) dorongan religius di mana agama Islam sangat menekankan pentingnya bagi umat Islam untuk menuntut ilmu, dengan menjadikannya sebagai kewajiban agama.
(2) apresiasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap ilmu, ilmuwan dan buku, dan
(3) patronasi yang sangat besar dan tulus dari para penguasa dan pengusaha terhadap perkembangan ilmu.
Sebuah bangsa yang tidak lagi mempedulikan kewajiban agama dalam menuntut ilmu, tidak adanya apresiasi yang tinggi terhadap ilmu dan tidak ada pengayoman yang serius terhadap dari para penguasa dan pengusaha terhadap ilmu, maka di sana sulit dibayangkan ilmu pengetahuan akan mendapat kemajuan.
Selanjutnya tentang lembaga pendidikan yang di bangun pada masa itu, kita jadi mengenal dua jenis lembaga pendidikan. Pertama lembaga pendidikan formal dan yang kedua informal. Perdidikan formal berupa madrasah (colleges) yang didirikan para penguasa untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sedangkan lembaga-lembaga informal meliputi banyak jenis: akademi, perpustakaan, rumah sakit, observatorium, dan zawiyyah. Melalui lembagalembaga informal ini maka disiplin-disiplin ilmu umum telah dikembangkan dengan baik.
Tentang sistem pendidikan, para ilmuwan Muslim telah mengembangkan metode pengajaran yang khusus, yang sangat berpengaruh pada pesatnya perkembangan ilmu, yaitu menyalin buku, menghafal dan metode debat yang sangat merangsang daya kritis sang murid. Bebarapa poin penting yang saya diskusikan antara lain, motivasi mencari ilmu, yaitu untuk mencari kebenaran, dan bukan sekedar untuk mendapatkan pekerjaan seperti yang berlaku di negeri ini, menyusun klasifikasi ilmu, sehingga tahu peta ilmu dan saling hubungan antara bidang, dan kurikulum, yaitu materi-materi apa saja yang harus dipelajari oleh seorang murid.
Adapun tentang kegiatan ilmiah apa saja yang mereka lakukan, kita kemudian mengenal beberapa kegiatan ilmiah yang esensial bagi setiap tradisi ilmiah, yaitu memburu manuskrip, menerjemahkan, membuat komentar atas karya-karya orang-orang terdahulu, menulis karya-karya orisinal yang bukan saja ekstensif tetapi juga sangan intensif, menyalin dan mendistribusi buku, rihlah dan khalwat, sebuah upaya untuk mengeksplorasi dunia fisik dan dunia batin, seminar dan diskusi ilmiah baik yang diselenggarakan di lingkungan istana atau di tempat kediaman seorang sarjana, melakukan kritik baik yang bersifat ilmiah (agama maupun umum), sosial dan politik dn terakhir eksperimen-eksperimen yang menyebabkan ilmuwan-ilmuwan Muslim dipandang sebagai perintis metode eksperiman dalam kegiatan ilmiah mereka.
Tentang riset-riset ilmiah yang para ilmuwan Muslim lakukan, kita terperangah akan luasnya bidang yang mereka tekuni. Penelitian atau riset yang mereka lakukan ternyata tidak hanya ada bidang-bidang ilmu keagamaan sebegaimana yang dikesankan selama ini, tetapi juga bidang-bidang ilmu rasional yang melipun ilmu-ilmu fisika, matematika dan metafisika.
Ribuan karya telah mereka hasilkan dari penelitian tersebut. Terakhir, berkenaan dengan metode-metode ilmiah yang mereka gunakan dalam peneliian-penelitian ilmiah mereka.
Dari sini kita tahu bahwa mereka telah menggunakan berbagai metode yang berbeda, sesuai dengan bidang dan objek yang ditelitinya. Maka setidaknya empat metode telah teridentifikasa, yaitu, seperti telah disinggung, metode tajribi, burhani, ‘irfani dan bayani.
2) CIPSI dan Masa Depan Filsafat Islam: Implementasi
Selain upaya membangun sebuah tradisi ilmiah, seperti yang dibicarakan di atas, gerakan yang lebih kongkrit masih perlu dilakukan untuk mengembangkan filsafat Islam di Negeri ini. Oleh karena itu, saya dan kawan-kawan bertekad mendirikan sebuah lembaga yang bisa mengaktualkan tradisi ilmiah di atas sebagai implementasi dari citia-cita membangun sebuah tradisi ilmiah Islam di Indonesia. Oleh karena itulah pada bulan Juli yang lalu, kami mendirikan Pusat Kajian dan Informasi Filsafat Islam atau Center for Islamic-Philosophical Studies and Information (CIPSI). Sesuai dengan namanya, maka CIPSI bergerak pada dua divisi, pertama divisi kajian dan kedua divisi informasi. Divisi kajian meliputi penerjemahan, kajian dan diskusi, penelitian dan pengajaran. Sedangkan divisi informasi meliputi database, perpustakaan dan penerbitan.
Sampai saat ini CIPSI baru melakukan beberapa kegiatan ilmiah yang belum seberapa, dan belum bisa menggarap semua kegitan kedua divisi di atas. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan antara lain (1) mengkoleksi buku-buku klasik,(2) mendata biografi dan karyakarya para filosof/ilmuwan Muslim (3) menerjemahkan karya-karya terebut dan(4) menyelenggarakan beberapa kajian/diskusi baik intern maupun ekstern.
(1) Koleksi karya-karya ilmiah.CIPSI berusaha untuk menghidupkan kembali tradisi ilmiah Islam, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para ilmuwan Muslim. Salah satunya adalah mengkoleksi karya-karya kasik. Seperti ilmuwan-ilmuwan masa lalu berusaha keras untuk melakukan pemburuan manusikrip, maka CIPSI juga berusaha untuk menghimpun atau mengoleksi sebanyak mungkin karya ilmiah yang telah dihasilkan para ilmuwan Muslim dari masa klasik, abad tengah dan modern. Hingga saat ini CIPSI telah menghimpun sebanyak 110 judul (140 jilid/280 copies) dari karya filosofis bererapa filosof terkenal, dari al-Kindi hingga Muhammad Taqi Misbah Yazdi. (list karya tersebut dapat dilihat dalam slide terpisah). Dengan ini maka CIPSI turut melestarikan karya-karya besar filsafat/mistik/teologis yang sulit sekali diperoleh dan terancam punah kalau tidak ada usaha-usaha sadar dan terencana untuk melestarikannya.
(2) Proyek Pernerjemahan Serial. Menyadari bahwa orang-orang Indonesia tidak bisa secara umum diharapkan dapat mengerti bahasa Arab dengan baik, maka merupakan suatu keharusan, dalam rangka mengembangkan filsafat Islam di negeri ini, untuk menerjemahkan karya-karya utama tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Sampai saat ini CIPSI baru berusaha menerjemahkan sebuah karya inseklopidia dari Ikhwan al-Shafa’ yang berjudul Rasa’il Ikhwan al-Shafa’. Karya ini memiliki 4 jilid rata-rata 400 halaman, dan diterjemahkan oleh empat orang penerjemah yang masing-masing menerjemahkan satu jilid. Jilid pertama dari karya ini membahas tentang matematik (aritmatik, geometri, musik dan astronomi), dan juga logika. Jilid kedua membahas tentang fisika (meliputi topik materi dan bentuk, ruang, waktu dan gerak), juga tentang minerologi, botani,, zoologi, dan astronomi. Jilid ketiga, berkenaan dengan psikologi, dan keempat berkenaan dengan agama. Hingga saat ini penerjemahan telah mencapai sekitar 40 %. Adapun karya lain yang tengah dipersiapkan untuk penerjemahan berikutnya adalah al-Shifa karya Ibn Sina, yang meliputi semua cabang ilmu dan memiliki 10 jilid. Dipilihnya karya-karya yang bersifat ensiklopedis ini dimaksudkan sebagai contoh yang kongkrit dari model sains Islam
sebagaimana yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim dulu bagi orang-orang
modern.
(3) Database Biografis dan Bibliografis. Selain kegiatan di atas CIPSI juga telah membuat database berkenaan dengan nama-mana para filosof/ilmuwan Muslim, biografi dan karyakarya filosofis mereka. Dari pendataan ini, maka hingga saat ini CIPSI telah memiliki daftar sebanyak 800 orang filosof/ilmuwan, dan memiliki daftar karya filosofis sebanyak lebih dari 2000 karya filsfat dalam berbagai cabang ilmu. Tapi jumlah ini itupun baru diidentifikasi dari 40 filosof, padahal kita memiliki sekitar 800 filosof, sehingga seiring dengan waktu, kita sangat potensial untuk memperpanjang daftar karya ini hingga mencapai puluhan atau ratusan ribu karya. Dan karya-karya inilah yang akan kami usahakan mengoleksinya sehingga CIPSI diperkirakan akan mengoleksi puluhan atau bahwa ratusan ribu karya filsafat Islam di perpustakaannya.
(4) Kegiatan berikutnya adalah menyelenggarakan kajian-kajian/diskusi/seminar baik yang bersifat intern maupun ekstern. Untuk kajian intern CIPSI menyelenggarakan kajian-kajian intensif tentang beberapa isu yang hangat dan relevan dengan perkembangan zaman seminggu sekali. Sementara ini materi kajian intern diambil dari buku saya yang segera akan terbit Nalar Perenial: sebuah Respons terhadap Modernitas. Berbagai isu kontemporer didiskusikan, seperti tentang Islamisasi Ilmu, masyarakat madani, posisi wanita, tentang evolusi, pengaruh mistisisme atas fisika baru dan tentang etika lingkungan. Diskusi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menjawab tantangan-tangan kontemporer dari perspektif filsfat Islam. Adapun kajian ekstern, telah dilakukann di Mesjid Baitul Ihsan B.I. dengan tema Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Seminar ini dimungkinkan berkat kerjasama CIPSI dengan BI. Seminar enam kali pertemuan ini disemarakkan oleh pemikir-pemikir terkemuka negeri ini yang menjadi pembanding saya dalam setiap pertemuannya. Beberapa seminar juga telah direncanakan dan kerjasama dengan lembaga lain juga telah digalang.
Selain kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan di atas, CIPSI juga telah memetakan bebrapa lahan potensial untuk penelitian-pemelitian intensif filsafat Islam di Indonesia di masa depan. Dan itu akan meliputi peneltian di bidang biografis, gnomologis, sains Islam, filsafat perenial dan filsafat Islam paska Ibn Rusyd. Diharapkan dengan kegiatan-kegiatan ini CIPSI akan memberi sumbangan yang signifikan dan menentukan bagi perkembangan dan masa depan filsafat Islam di negeri ini.
Pengantar
Kata “filsafat Islam” telah lama kita dengar, tetapi apa itu maknanya, lingkup, dan
pandangannya, sepertinya masih harus kita diskusikan. Oleh karena itu dalam paper ini saya
ingin mendiskusikan beberapa topik penting, yaitu: (1) Apa itu filsafat Islam? (2) Peran filsafat Islam dalam Dunia Modern, (3) Filsafat Islam di Indonesia, dan terakhir (4) Menyongsong Masa Depan Filsafat Islam. Dengan ini diharapkan pemahamanan kita tentang filsafat Islam dari sudut cita dan fakta bisa menjadi lebih baik dan bermakna.
1. Apa itu Filsafat Islam?
a. Adakah yang disebut Filsafat Islam?
Dalam buku saya yang berjudul Gerbang Kearifan, saya mendiskusikan beberapa pandangan sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan bisa memiliki filsafat yang independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof Muslim adalah pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim.
Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan namanama lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam.
Adapun saya sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan setidaknya 3 alasan. Pertama: Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini, sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof Muslim.
Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adealah pemerhati flsafat asing yang kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka tanpa ragu-ragu mereka mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan 1menggantikannnya dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan al-Sawi dan Ibn Taymiyyah, juga mengeriktik sistem logika Aristotetles. Sementara al-‘Amiri mengeritik dengan pedas pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan Islam.
Ketiga, adalah adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam, akibat dari interaksi antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsfat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mikraj dsb.
b. Lingkup Filsafat Islam
Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini.
Ketika Ibn Sina menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia tidak hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika dan fisika. Dan ia menulisnya sedeikian lengkap pada setiap bidang tersebut, sehingga kita misalnya memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi pengantar, kategori, analitika priora, analitika posteriora, topika, dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk matematika, ia menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi, seperti tentang langit, meteorologi, kejadian dan khancuran yang menandai semua benda fisik, tentang batu-batuan (minerologi), tumbuh-tumbuhan (botani), hewan (zoologi), anatomi, farmakologi, kedokteran dan psikologi. Dan sebagai puncaknya ia menulis tentang metafisika (al-‘ilm al-ilahi) yang meliputi bidang ketuhanan, malaikat dan akal-akal, dan hubungan mereka dengan dunia fisik yang dibahas dalam bidang fisika.
Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh ia meliputi bidang-bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran, ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang digunakanaanaya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan tidak ada, sarjana filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Hal ini terjadi, menurut hemat penulis, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.
c. Pandangan Filsafat yang Holistik
Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber yang sah dan penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya.
2. Peran Filsafat Islam dalam Dunia Modern
a. Menjawab Tantangan Kontemporer
Pada saat ini, dalam pandangan saya, umat Islam telah dilanda berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace (w. 1827), kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa.Dan ia mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam, tetapi adalah hukukm alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam. Demikian juga dalam bidang biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewanhewan, karena menurut Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena mekanisme alam sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection). Menurutnya hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan engselnya sendiri, kalau ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah agen yang cerdas di luar dirinya. Oleh karena itu dalam pandangan Darwin, Tuhan telah berhenti menjadi pencipta hewan.
Dalam bidang psikologi, Freud (w. 1941) telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan, sebagai konsep, muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi menghadapi tantangan eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan internalnya, ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan Emil Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah Masyarakat itu sendiri yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial yang ada. Dengan demikian jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki tempat yang spesial, bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah.
Tantangan yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, rkologi dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa kritik, atau respons kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab tantangan-tantangan tersebut secara rasional dan elegan, dan tidak semata-mata bersifat dogmatis dan otoriter. Dan di sinilah saya melihat bahwa filsafat Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.
b. Filsafat sebagai Pendukung Agama
Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan bagi agama, saya melihat filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan filsafat modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena menurut hemat saya tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, saya yakin bahwa Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis.
Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya, memang betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam juga adalag sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahwan pendukung agama. Di sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis seperti yang saya deskrisikan di atas.
Serangan terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argumen adanya Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dll., seperti yang telah saya jelaskan antara lain dalam buku saya Menembus Batas Waktu. Serangan terhadap wahyu bisa dijawab oleh berbagai teori pewahyuan yang telah dikemukakan oleh banyak pemikir Muslim dari al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn Rusyd, Mulla Shadra dll.
Demikian juga serangan terhadap validitas pengalaman mistik dan religius, juga telah dijawab secara mendalam oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Reconstruction of Religiuous Thought in Islam dan Mehdi Ha’iri Yazdi dalam bukunya The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Dalam kedua karya ini, Iqbal dan Yazdi telah mencoba menjelaskan secara filosofis tentang realitas pengalaman religius dan mistik, dan berusaha menjadikan pengalaman mistik sebagai salah satu sumber ilmu yang sah. Tentu saja masih banyak hal yang dapat dilakukan filsafat Islam untuk mendukung agama, yang tidak pada tempatnya untuk dijelaskan secara rinci di sini.
3. Filsafat Islam di Indonesia
a. Masa Lalu
Filsafat Islam belum begitu dikenal di Indonesia, karena memang filsfat Islam baru diperkenalkan ke publik pada tahun 70-an oleh almarhum Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya yang terkenal Falsafah & Mistisime dalam Islam, yang diterbitkan Bulan Bintang pada tahun 1973. Dalam buku ini pak Harun telah memperkenalkan 6 filosof Muslim yang terkenal yaitu al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, setelah sebelumnya ia membicarakan tentang “Kontak Pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafah Yunani.” Dalam buku ini pak Harun dengan singkat tetapi esensial memperkenalkan biografi dan ajaran para filosof Muslim tersebut, sehingga para mahasiswa Muslim, khususnya mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia, telah menyadari keberadaan filsafat Islam yang sebelumnya hampir tidak pernah diperkenalkan kepada mereka. Dan dengan dijadikannya buku tersebut sebagai buku wajib, maka pak Harun boleh dikata telah berhasil memperkenalkan filsafat Islam di Indonesia ini.
Tetapi karena buku ini merupakan satu-satunya buku yang digunakan dalam matakuliah filsafat Islam selama puluhan tahun, maka timbul kesan yang keliru bahwa seakan filsafat Islam hanya menghasilkan 6 orang filosof sebagaimana yang diperkenalkan oleh Pak Harun di atas. Untunglah pada tahun 1987 Pustaka Jaya telah menerbitkan sebuah buku terjemahan yang bagus dan komprehensif tentang filsafat Islam karangan Majid Fakhry yang berjudul Sejarah Filsafat Islam, yang diterjemahkan oleh saya sendiri, sehingga dengan demikian sadarlah kita bahwa filsafat Islam telah melahirkan bukan hanya 6 filosof, sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh Pak harun, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan para filosof yang tidak kalah hebatnya daripada filosof-filosof yang telah diperkenalkan sebelumnya. Buku ini menjelaskan filsafat Islam dari sudut historis, yang meliputi paparan tentang perkembangan filsafat sebelum Islam, pada masa awal Islam, masa pertengahan dan masa modern. Dan buku ini telah menikmati posisi yang penting di universitas-universitas Islam, sebagai buku daras yang tak ada duanya pada saat itu.
Mahasiswa Muslim sangat diuntungkan dengan kehadiran karya terjemahan ini, karena ia telah banyak mengubah persepsi yang keliru tentang filsafat Islam dari sudut lingkup, rentangan waktu, ajaran dll. Dengan buku ini pula kita menjadi sadar bahwa ternyata filsafat Islam tidak berhenti pada Ibn Rusyd sebagaimana dikesankan setelah membaca buku pak harun, tetapi terus hidup dan berlangsung hingga saat ini.
b. Masa Kini
Yang saya maksud dengan masa kini, adalah kurang lebih periode sepuluh tahun terkahir dari sekarang. Pada saat ini kita telah menikmati banyak informasi tentang filsafat Islam. Diterjemahkannya buku yang diedit oleh M.M. Syarif yang berjudul, History of Muslim Philosophy secara parsial ke dalam bahasa Indonesia telah memperkaya khazanah filsafat Islam di Indonesia. Tetapi tambahan informasi yang sangat signifikan terjedi setelah penerbit Mizan menerjemahkan karya besar dalam sejarah filsafat Islam yang diedit oleh Nasr dan Oliver Leaman, yang berjudul A History of Islamic Philosophy ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Ensiklopedia Filsafat Islam (dua jilid). Berbagai karya filosofis yang lebih spesifik (misalnya yang membahas tentang pemikiran para filosof tertentu) juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti The Philosophy of Mulla Sadra yang ditulis oleh Fazlur Rahman, yang membahas beberapa aspek dari pemikiran Mulla Shadra, atau Knowledge and Illumination, karangan Hussein Ziai, yang membicarakan secara khusus filsafat iluminasi Suhrawardi. Namun sejauh ini, informasi ini lebih bersandar pada terjemahan dari karya asing, dan bukan karangan sarjana Muslim Indonesia sendiri. Sedikit sekali karya filsafat Islam yang ditulis oleh para penulis negeri ini. Ada misalnya buku tentang Suhrawardi yang ditulis oleh sdr Amroeni, khususnya kritik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik,atau yang ditulis oleh M. Iqbal tentang Ibn Rusyd, sebagai bapak rasionalisme. Namun tulisan-tulisan tersebut masih bersifat studi tokoh, dan pada dasarnya diadaptasi dari sebuah tesis atau disertasi. Tidak banyak penulis Muslim Indonesia yang menulis buku pengantar terhadap filsafat Islam yang bersifat independen, kecuali pak Haidar Bagir dengan Buku Saku Filsafat Islam-nya, dan saya sendiri dengan Gerbang Kearifan-nya.
4. Menyongsong Masa Depan
a. Rekonstruksi Filsafat Islam
Kita pada dasarnya tidak tahu persis apa yang akan terjadi pada filsafat Islam di masa depan. Tetapi kita bisa menyongsongnya dengan melakukan beberapa kegiatan yang konstruktif bagi masa depan filsafat Islam yang lebih baik. Tetapi terus terang saja saya merasa sedih demi memikirkan betapa sedikitnya usaha-usaha dari para sarjana Muslim di negeri ini untuk mempersiapkan masa depan filsafat Islam yang lebih baik. Banyak sarjanasarjana terbaik Muslim, justru lebih tertarik pada filsafat Barat daripada filsafat Islam sendiri. Nah keadaan inilah yang kemudian mendorong saya untuk menulis beberapa karya filsafat, bukan saja agar filsafat Islam lebih dikenal, tetapi juga sebagai upaya merekonstruksi filsafat Islam agar lebih relevan dengan konteks dan tuntutan masa kini.
Nah dalam rangka mengkonstruksi pemikiran filosofis inilah maka saya mencoba untuk menulis beberapa karya, seperti yang akan saya uraikan berikut ini.
1). Remapping Filsafat Islam
Tidak banyaknya buku pengantar filsafat Islam telah menyebabkan banyak ketidakjelasan tentang aspek-aspek apa saja yang diliput dalam filsafat Islam. Oleh karena itu saya merasa terdorong untuk memetakan kembali (remapping) filsafat Islam, dan untuk itu saya menulis sebuah buku pengantar filsafat Islam yang berjudul Gerbang Kearifan. Buku kecil ini dimaksudkan untuk memperkenalkan filsafat Islam dalam berbagai aspeknya. Sering buku pengantar filsafat Islam bersifat monolitik, dalam arti hanya membahas satu aspek tertentu saja dari filsafat Islam, misalnya alirannya saja, sejarahnya saja, atau tokoh-tokohnya saja.
Tidak banyak buku pengantar yang mencoba mengenalkan beberapa aspek filsafat Islam sekaligus. Nah, karena itu saya mencoba dalam karya kecil ini memperkenalkan filsafat Islam dalam berbagai aspeknya, seperti aliran-aliran filsafat yang telah dikembangkan di dunia Islam, seperti Peripatetik, Illuminasionis, Irfani dan Hikmah Muta’aliyyah. Selain aliran-aliran, karya ini juga mencoba mediskusikan beberapa topik penting dalam filsafat seperti tentang Tuhan, alam dan manusia. Digambarkan di sini berbagai konsep filosofis tentang Tuhan, seperti Tuhan sebagai Sebab Pertama, sebagai Wajib al-Wujud, sebagai Cahaya dan juga sebagai Wujud Murni. Kemudian beberapa pertanyaan kritis diajukan berkaitan dengan filsafat alam, misalnya, apakah alam dicipta atas kehendak Tuhan atau keniscayaan logis? Apakah alam abadi atau dicipta dalam waktu? Apakah alam telah ditentukan secara deterministik atau berkembang secara evolutif? Dan apakah alam diatur secara langsung oleh Tuhan atau didelegasikan kepada sebab sekunder? Adapun tentang manusia, maka dibahas di sini manusia sebagai mikrokosmos, manusia sebagai tujuan akhir penciptaan, manusia sebagai theomorfis dan juga disinggung tentang manusia dan
kebebasan memilihnya.
Selain aspek historis (dalam bentuk aliran-aliran) dan tema-tema utama, Gerbang Kearifan juga membahas tentang hubungan filsafat dan disiplin ilmu lainnya. Misalnya dijelaskan di dalamnya, bagaimana hubungan antara filsafat dan sains, filsafat dan agama, serta hubungan filsafat dan mistisime atau tasawuf. Dan terkahir buku ini juga membicarakan tentang ladang-ladang potensial yang bisa digarap untuk kajian masa depan filsafat Islam. Ladang-ladang potensial tersebut antara lain, (1) studi biografis, yang memperkenalkan ribuan ilmuan-filosof Muslim, (2) studi gnomologis, yang mencoba membahas berbagai karya hikmah yang pernah dibuat oleh para filosof Muslim, (3) sains Islam, yang sangat penting dikaji ulang tetapi yang sangat terabaikan, (4) filsafat perenial, yang membahas pemikiran dari berbagai pemikir Muslim perenial yang umumnya berasal dari Eropa, yang telah banyak menghasilkan karya-karya besar, dan terakhir (5) filsafat paska-Ibn Rusyd, yang akan membicarakan perkembangan filsafat Islam setelah masa Ibn Rusyd hingga saat ini. Dengan demikian jelas, bahwa Gerbang Kearifan berusaha untuk memetakan kembali seluruh hasil pemikiran filsafat Islam dalam suatu kesatuan yang padu.
2) Rekonstruksi Epistemologis
Problem lain yang dihadapi filsafat Islam pada saat ini adalah tidak jelasnya pada kebanyakan pembaca filsafat Islam di negeri ini tentang bangunan epistemologi Islam.
Banyak kesimpang-siuran yang terjadi dan ketidak-jelasan yang dapat ditemukan di bidang yang satu ini. Saya sampai pada kesimpulan bahwa sebuah karya yang khusus di bidang ini untuk merekonstruksi bangunan epistemologi Islam perlu ditulis. Inilah yang mendorong saya kemudian untuk menulis sebuah karya epistemologi yang berjudul Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Dalam karya yang terbit pada tahun 2003 ini saya mencoba untuk merekonstruksi epistemologi Islam dalam 14 bab. Menurut saya adalah penting untuk pertama-tama mengerti betul apa yang disebut ilmu dalam tradisi Islam dan bedanya dengan sains. Ilmu dibedakan dengan sains terutama dalam lingkupnya. Sementara sains modern membatasi lingkupnya hanya pada bidang-bidang fisik-empiris, ilmu dalam tradisi ilmiah Islam meliputi bukan hanya bidang fisik tetapi juga bidang matematik dan bahkan metafisik.
Isu lain yang perlu mendapat perhatian juga berkaitan dengan objek ilmu dan metode ilmiah. Dalam filsafat ilmu modern, objek-objek ilmu dibatasi hanya pada objek-objek fisik, sedangkan dalam tradisi ilmiah Islam, objek ilmu tidak pernah dibatasi hanya pada objekobjek fisik, tetapi melebar pada objek-objek matematik dan metafisik. Namun sebelum berbicata tentang objek-objek non-fisik, maka terlebih dahulu perlu didiskusikan tentang status ontologis objek-objek non-fisik tersebut, mengingat banyak orang-orang modern yang merasa ragu akan keberadaan dan realitas mereka. Bagi para filosof Muslim, semua objekobjek ilmu, baik yang fisik maupun yang non-fisik adalah real, dalam arti nyata dan memiliki status ontologis yang fundamental. Namun justru karena objek ilmu itu berbedabeda dalam sifat dasarnya, maka kita juga harus menemukan beberapa metode ilmiah yang berbeda agar cocok dengan jenis dn sifat dasar objeknya. Observasi tentu sja sangat berguna untuk meneliti objek-objek yang bersifat fisik tetapi untuk objek-objek yang bersifat non-fisik maka kita perlu menggunakan metode lain, seperti burhani dan ‘irfani.
Demikian juga untuk memhami naskah-naskah suci, seperti al-Qur’an dan hadits diperlukan metode lain, yang biasa disebut metode bayani. Selain isu-isu di atas, filsafat Islam juga, menurut saya, perlu mendiskusikan tentang realitas pengalaman mistik atau religius, karena sikap skeptik dari banyak kalangan ilmuwan dan filosof modern terhadapnya. Kita harus bisa menunjukkan secara rasional, bahwa pengalaman religus (mistik atau kenabian) adalah real, sama realnya dengan pengalaman indrawi. Dan karena itu bisa untuk dijadikan sebagai sumber yang sah bagi ilmu, sebagaimana pengalaman indrawi. Selain pengalaman mistik, kita juga perlu
mendiskusikan realitas pewahyuan dan menjelaskan secara rasional kemungkinan pewahyuan seperti yang dialami oleh para Nabi.
Persoalan lain yang perlu dicermati adalah soal objektivitas ilmu. Sementara ini banyak kalangan percaya bahwa sains telah mencapai tingkat objektivitas yang demikian tinggi, sehingga bisa berlaku universal dan bebas nilai. Tetapi peneltian yang cermat, menunjukkan bahwa objektivitas absolut tidak mungkin bisa dicapai, dan ini terjadi karena hasil penelitian ilmiah sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kecenderungan bahkan ideologi dan kepercayaan dari ilmuwan-ilmuwan itu sendiri. Seorang astronom Barat sepeerti Laplace memiliki pemahaman yang sangat berbeda tentang alam dari astronom Muslim, seperti al-Biruni. Bahkan ketika Darwin dan Rumi percaya kepada evolusi, namun dalam memberikan keterangan tentang apa yang menyebabkan atau bertanggung jawab atas terjadinya evolusi tersebut sangat berbeda. Oleh karena itu maka menurut saya perlu dirumuskan bagaimana pandangan keilmuan yang cocok dengan ajaran fundamental Islam, sehingga diperoleh kemajuan ilmiah, tetapi tidak bertentangan dengan kepercayaan agama.
3). Integrasi Ilmu
Hal lain yang perlu dikonstruksi ulang adalah soal integrasi ilmu. Dikotomi yang terjadi antara ilmu-ilmu agama, di sati pihak, dan ilmu-ilmu umum, di pihak lain telah menimbulkan berbagai masalah keilmuan yang merugikan. Terjadinya penolakan terhadap keabsahan ilmiah dari keduaanya seringkali terjadi. Oleh karena itu perlu sekali dicari jalan untuk menjembatani dan mengintegrasikan berbagai aspek keilmuan tersebut dalam suatu pandangan yang holistik-integral. Untuk menjawab tantangan inilah, maka kemudian saya mencoba merumuskan integrasi ilmu ini dalam karya saya yang lain yang berjudul Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Maka berbagai aspek integrasi ilmu terus ditelusuri dan diteliti. Dari penelitian ini maka dirmuskan bahwa sumber dari segala integrasi ilmu ini tidak lain daripada konsep tawhid, yang merupakan ajaran yang paling fundamental dalam Islam. Adapun integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum terletak pada kenyataan bahwa objek dari kedua jenis ilmu tersebut adalah sama, yakni sama-sama sebagai ayat Allah.
Ilmu-ilmu agama telah menjadikan al-Qur’an sebagai objek utama penelitiannya, sedangkan ilmu-ilmu umum telah menjadikan alam sebagai objek utama, Baik al-Qur’an maupun alam dipandang dalam tradisi ilmiah Islam sebagai ayat-ayat Allah, hanya saja yang pertama ayat qawliyyah sedangkan yang kedua kawniyyah. Persoalan sebenarnya timbul ketika ilmu-ilmu umum berhenti memandang alam sebagai ayat Allah, sementara ilmu-ilmu agama masih memandang al-Qur’an sebagai ayat Allah. Menurut hemat saya kalau saja kita bisa memandang alam sebagai ayat Allah dalam penelitian ilmiah kita, maka konflik antara agama dan sains bisa dihindarkan.
Selain menemukan titik temu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, perlu juga dirumuskan ulang integrasi di berbagai bidang keilmuan, seperti integrasi objek-objek ilmu, integrasi bidang ilmu, sumber ilmu, dan metode ilmiah, dll..Dalam soal integrasi objek ilmu, epistemologi Islam tidak membatasi objek ilmu hanya pada objek-objek fisik, tetapi juga objek-objek non-fisik, dan ini tentu saja didasarkan pada keyakinan para ilmuwan Muslim pada realitas atau status ontologis dari objek-objek tersebut, baik yang fisik maupun non-fisik.
Dengan diakuinya objek-objek fisik dan non-fisik tersebut, maka mudah untuk membayangkan adanya integrasi di bidang-bidang atau cabang-cabang ilmu yang berbeda sifat-sifatnya. Maka dalam karya ini saya menunjukkan adanya integrasi antara ilmu-ilmi fisika, yang meliputi minerologi, botani, zoologi, anatomi, kedokteran dan psikologi, ilmu-ilmu matematika, yang meliputi aritmatika, geometri, aljabar, optik, musik dan astronomi, dan ilmu-ilmu metafisik, yang meliputi, ontologi, teologi, kosmologi, antropologi dan eskatologi.
Selain pada objek dan bidang ilmu, integrasi juga perlu dirumuskan dalam kaitannya dengan sumber ilmu. Dalam epistemologi Islam, sumber ilmu tidak dibatasi hanya pada persepsi inderawi, tetapi juga meliputi penalaran rasional dan persepsi atau pengalaman intuitif, dan sekaligus juga wahyu. Sumber-sumber yang berbeda ini, sekalipun dapat dibedakan satu sama lain, tetapi tidak dipandang secara terpisah-pisah melainkan dibingkai dalam sebuah bangunan yang holistik. Sumber-sumber yang berbeda ini dipandang sama-sama sahnya sebagai sumber ilmu, sehingga epistemologi Islam memiliki sumber ilmu yang lebih kaya ketimbang epistemologi Barat yang hanya menerima persepsi indrawi sebagai sumber yang sah bagi ilmu. Namun integrasi di bidang sumber-sumber ilmu, ini juga harus diikuti oleh integrasi di bidang metode ilmiah. Adanya objek-objek ilmu yang berbeda sifat dasarnya, menyebabkan ilmuwan-ilmuwan Muslim berusaha membangun berbagai metode ilmiah yang berbeda-beda. Karena metode observasi yang biasa digunakan untuk objekobjek fisik, tentu saja tidak bisa digunakan untuk meneliti objek-objek akal yang bersifat abstrak atau immaterial. Tentu untuk itu perlu dicari metode lain yang tepat untuknya.
Dengan demikian maka dalam Integrasi Ilmu ini saya mencoba mendiskusikan sekurangnya empat macam metode ilmiah yang pernah digunakan oleh para ilmuwan Muslim, yaitu tajribi (metode eksperimen), burhani (metode logika demonstratif), ‘irfani (metode intuitif) dan bayani (metode hermeneutik, yang digunakan untuk memahami naskah suci).
b. Reaktualisasi Tradisi Filsafat Islam
1) Membangun Tradisi Ilmiah Baru
Upaya rekonstruksi filsafat Islam seperti yang saya lakukan dalam karya-karya di atas, tentunya telah memberi sumbangan yang cukup berarti kepada wacana filosofis Islam di Indonesia. Namun wacana saja, saya anggap tidak akan betul-betul signifikan bagi perkembangan filsafat di negeri ini. Upaya-upaya yang lebih real dan kongkrit harus terus dilakukan, agar kehadiran dan perkembangan filsafat Islam semakin terasa. Ada setidaknya
dua upaya yang telah saya lakukan:
(1) membangun tradisi ilmiah Islam, dan
(2) mendirikan pusat kajian dan informasifilsafat Islam.
Marilah kita mulai dengan yang pertama. Kemajuan yang berati dari ilmu pengetahuan nampaknya tidak akan betul-betul tercapai sampai suatu bangsa memiliki tradisi ilmiahnya. Barat maju dalam ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia memiliki tradisi ilmiah yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim pada masa lalu telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah yang sangat gemilang dan memberikan sumbangan yang sangat signifikan kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah
tradisi ilmiah yang mapan dan karakteristik yang berbeda dengan tradisi ilmiah Barat.
Dengan demikian saya sampai pada kesimpulan bahwa tanpa dimilikinya sebuah tradisi ilmiah tertentu, maka bangsa kita tidak akan mencapai prestasi yang gemilang dalam hal kemajuan ilmu. Oleh karena itu, upaya yang sungguh-sungguh perlu dilakukan untuk membangun sebuah tradisi ilmiah tertentu di negeri ini.
Namun untuk mampu mendirikan sebuah tradisi ilmiah yang didambakan tidaklah mudah, dan kita membutuhkan sebuah model ideal untuk kita tiru. Untuk keperluan itulah maka saya mencoba, dalam buku saya yang lain Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, untuk memberi gambaran yang gamblang tentang bagaimana sebuah tradisi ilmiah dibangun.
Tradisi ilmiah Islam saya pilih sebagai model ideal untuk membangun tradisi ilmiah, karena pertama tradisi ini lebih cocok kita kembangkan di negeri ini yang berpenduduk mayoritas Muslim. Kedua karena tradisi ilmiah Barat telah lama diperkenalkan di sini, dan kita membutuhkan sebuah tradisi ilmiah yang baru sebagai alternatif.
Dalam buku Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam ini saya mencoba memotret tradisi ilmiah Islam dengan gamblang dengan maksud mencari tahu apa rahasia sukses para ilmuwan Muslim pada masa kejayaannya, untuk kemudian kita tiru, sehingga terbangunlah sebuah tradisi ilmiah yang didambakan. Buku ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan penting,yaitu
(1) faktor-faktor apa yang telah mendorong pesatnya ilmu pengetahuan di masa kejayaan Islam?
(2) Lembaga-lembaga pendidikan yang bagaimana yang telah bertanggung jawab atas munculnya ratusan ilmuwan Muslim yang agung di berbagai bidang, dan
(3) apa sistempendidikan yang diterapkan di sana? Selain tiga pertanyaan di atas adalah lagi tiga
pertanyaan yang tidak kalah fundamentalnya yaitu
(4) kegiatan-kegiatan ilmiah apa saja yang telah dilakukan para ilmuwan Muslim sehingga mereka telah melahirkan ratusan ribu karya ilmiah di berbagai bidang?
(5) riser-riset ilmiah yang bagaimana yang mereka lakukan sehingga mereka berhasil mengembangkan berbagai disiplin ilmiah, baik yang berkenaan dengan ilmu-ilmu agama (naqliyyah) maupun umum (‘aqliyyah) dan terakhir
(6) metodemetode ilmiah apa saja yang mereka gunakan dalam mempelajarai dan menganalisa
berbagai objek ilmu yang berbeda-beda jenis dan sifat dasarnya?
Dari upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka kita kemudian menjadi tahu apa yang menjadi kunci sukses mereka. Pertama, faktor-faktor yang mendorong pesatnya ilmu pengetahuan pada masa itu adalah
(1) dorongan religius di mana agama Islam sangat menekankan pentingnya bagi umat Islam untuk menuntut ilmu, dengan menjadikannya sebagai kewajiban agama.
(2) apresiasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap ilmu, ilmuwan dan buku, dan
(3) patronasi yang sangat besar dan tulus dari para penguasa dan pengusaha terhadap perkembangan ilmu.
Sebuah bangsa yang tidak lagi mempedulikan kewajiban agama dalam menuntut ilmu, tidak adanya apresiasi yang tinggi terhadap ilmu dan tidak ada pengayoman yang serius terhadap dari para penguasa dan pengusaha terhadap ilmu, maka di sana sulit dibayangkan ilmu pengetahuan akan mendapat kemajuan.
Selanjutnya tentang lembaga pendidikan yang di bangun pada masa itu, kita jadi mengenal dua jenis lembaga pendidikan. Pertama lembaga pendidikan formal dan yang kedua informal. Perdidikan formal berupa madrasah (colleges) yang didirikan para penguasa untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sedangkan lembaga-lembaga informal meliputi banyak jenis: akademi, perpustakaan, rumah sakit, observatorium, dan zawiyyah. Melalui lembagalembaga informal ini maka disiplin-disiplin ilmu umum telah dikembangkan dengan baik.
Tentang sistem pendidikan, para ilmuwan Muslim telah mengembangkan metode pengajaran yang khusus, yang sangat berpengaruh pada pesatnya perkembangan ilmu, yaitu menyalin buku, menghafal dan metode debat yang sangat merangsang daya kritis sang murid. Bebarapa poin penting yang saya diskusikan antara lain, motivasi mencari ilmu, yaitu untuk mencari kebenaran, dan bukan sekedar untuk mendapatkan pekerjaan seperti yang berlaku di negeri ini, menyusun klasifikasi ilmu, sehingga tahu peta ilmu dan saling hubungan antara bidang, dan kurikulum, yaitu materi-materi apa saja yang harus dipelajari oleh seorang murid.
Adapun tentang kegiatan ilmiah apa saja yang mereka lakukan, kita kemudian mengenal beberapa kegiatan ilmiah yang esensial bagi setiap tradisi ilmiah, yaitu memburu manuskrip, menerjemahkan, membuat komentar atas karya-karya orang-orang terdahulu, menulis karya-karya orisinal yang bukan saja ekstensif tetapi juga sangan intensif, menyalin dan mendistribusi buku, rihlah dan khalwat, sebuah upaya untuk mengeksplorasi dunia fisik dan dunia batin, seminar dan diskusi ilmiah baik yang diselenggarakan di lingkungan istana atau di tempat kediaman seorang sarjana, melakukan kritik baik yang bersifat ilmiah (agama maupun umum), sosial dan politik dn terakhir eksperimen-eksperimen yang menyebabkan ilmuwan-ilmuwan Muslim dipandang sebagai perintis metode eksperiman dalam kegiatan ilmiah mereka.
Tentang riset-riset ilmiah yang para ilmuwan Muslim lakukan, kita terperangah akan luasnya bidang yang mereka tekuni. Penelitian atau riset yang mereka lakukan ternyata tidak hanya ada bidang-bidang ilmu keagamaan sebegaimana yang dikesankan selama ini, tetapi juga bidang-bidang ilmu rasional yang melipun ilmu-ilmu fisika, matematika dan metafisika.
Ribuan karya telah mereka hasilkan dari penelitian tersebut. Terakhir, berkenaan dengan metode-metode ilmiah yang mereka gunakan dalam peneliian-penelitian ilmiah mereka.
Dari sini kita tahu bahwa mereka telah menggunakan berbagai metode yang berbeda, sesuai dengan bidang dan objek yang ditelitinya. Maka setidaknya empat metode telah teridentifikasa, yaitu, seperti telah disinggung, metode tajribi, burhani, ‘irfani dan bayani.
2) CIPSI dan Masa Depan Filsafat Islam: Implementasi
Selain upaya membangun sebuah tradisi ilmiah, seperti yang dibicarakan di atas, gerakan yang lebih kongkrit masih perlu dilakukan untuk mengembangkan filsafat Islam di Negeri ini. Oleh karena itu, saya dan kawan-kawan bertekad mendirikan sebuah lembaga yang bisa mengaktualkan tradisi ilmiah di atas sebagai implementasi dari citia-cita membangun sebuah tradisi ilmiah Islam di Indonesia. Oleh karena itulah pada bulan Juli yang lalu, kami mendirikan Pusat Kajian dan Informasi Filsafat Islam atau Center for Islamic-Philosophical Studies and Information (CIPSI). Sesuai dengan namanya, maka CIPSI bergerak pada dua divisi, pertama divisi kajian dan kedua divisi informasi. Divisi kajian meliputi penerjemahan, kajian dan diskusi, penelitian dan pengajaran. Sedangkan divisi informasi meliputi database, perpustakaan dan penerbitan.
Sampai saat ini CIPSI baru melakukan beberapa kegiatan ilmiah yang belum seberapa, dan belum bisa menggarap semua kegitan kedua divisi di atas. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan antara lain (1) mengkoleksi buku-buku klasik,(2) mendata biografi dan karyakarya para filosof/ilmuwan Muslim (3) menerjemahkan karya-karya terebut dan(4) menyelenggarakan beberapa kajian/diskusi baik intern maupun ekstern.
(1) Koleksi karya-karya ilmiah.CIPSI berusaha untuk menghidupkan kembali tradisi ilmiah Islam, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para ilmuwan Muslim. Salah satunya adalah mengkoleksi karya-karya kasik. Seperti ilmuwan-ilmuwan masa lalu berusaha keras untuk melakukan pemburuan manusikrip, maka CIPSI juga berusaha untuk menghimpun atau mengoleksi sebanyak mungkin karya ilmiah yang telah dihasilkan para ilmuwan Muslim dari masa klasik, abad tengah dan modern. Hingga saat ini CIPSI telah menghimpun sebanyak 110 judul (140 jilid/280 copies) dari karya filosofis bererapa filosof terkenal, dari al-Kindi hingga Muhammad Taqi Misbah Yazdi. (list karya tersebut dapat dilihat dalam slide terpisah). Dengan ini maka CIPSI turut melestarikan karya-karya besar filsafat/mistik/teologis yang sulit sekali diperoleh dan terancam punah kalau tidak ada usaha-usaha sadar dan terencana untuk melestarikannya.
(2) Proyek Pernerjemahan Serial. Menyadari bahwa orang-orang Indonesia tidak bisa secara umum diharapkan dapat mengerti bahasa Arab dengan baik, maka merupakan suatu keharusan, dalam rangka mengembangkan filsafat Islam di negeri ini, untuk menerjemahkan karya-karya utama tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Sampai saat ini CIPSI baru berusaha menerjemahkan sebuah karya inseklopidia dari Ikhwan al-Shafa’ yang berjudul Rasa’il Ikhwan al-Shafa’. Karya ini memiliki 4 jilid rata-rata 400 halaman, dan diterjemahkan oleh empat orang penerjemah yang masing-masing menerjemahkan satu jilid. Jilid pertama dari karya ini membahas tentang matematik (aritmatik, geometri, musik dan astronomi), dan juga logika. Jilid kedua membahas tentang fisika (meliputi topik materi dan bentuk, ruang, waktu dan gerak), juga tentang minerologi, botani,, zoologi, dan astronomi. Jilid ketiga, berkenaan dengan psikologi, dan keempat berkenaan dengan agama. Hingga saat ini penerjemahan telah mencapai sekitar 40 %. Adapun karya lain yang tengah dipersiapkan untuk penerjemahan berikutnya adalah al-Shifa karya Ibn Sina, yang meliputi semua cabang ilmu dan memiliki 10 jilid. Dipilihnya karya-karya yang bersifat ensiklopedis ini dimaksudkan sebagai contoh yang kongkrit dari model sains Islam
sebagaimana yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim dulu bagi orang-orang
modern.
(3) Database Biografis dan Bibliografis. Selain kegiatan di atas CIPSI juga telah membuat database berkenaan dengan nama-mana para filosof/ilmuwan Muslim, biografi dan karyakarya filosofis mereka. Dari pendataan ini, maka hingga saat ini CIPSI telah memiliki daftar sebanyak 800 orang filosof/ilmuwan, dan memiliki daftar karya filosofis sebanyak lebih dari 2000 karya filsfat dalam berbagai cabang ilmu. Tapi jumlah ini itupun baru diidentifikasi dari 40 filosof, padahal kita memiliki sekitar 800 filosof, sehingga seiring dengan waktu, kita sangat potensial untuk memperpanjang daftar karya ini hingga mencapai puluhan atau ratusan ribu karya. Dan karya-karya inilah yang akan kami usahakan mengoleksinya sehingga CIPSI diperkirakan akan mengoleksi puluhan atau bahwa ratusan ribu karya filsafat Islam di perpustakaannya.
(4) Kegiatan berikutnya adalah menyelenggarakan kajian-kajian/diskusi/seminar baik yang bersifat intern maupun ekstern. Untuk kajian intern CIPSI menyelenggarakan kajian-kajian intensif tentang beberapa isu yang hangat dan relevan dengan perkembangan zaman seminggu sekali. Sementara ini materi kajian intern diambil dari buku saya yang segera akan terbit Nalar Perenial: sebuah Respons terhadap Modernitas. Berbagai isu kontemporer didiskusikan, seperti tentang Islamisasi Ilmu, masyarakat madani, posisi wanita, tentang evolusi, pengaruh mistisisme atas fisika baru dan tentang etika lingkungan. Diskusi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menjawab tantangan-tangan kontemporer dari perspektif filsfat Islam. Adapun kajian ekstern, telah dilakukann di Mesjid Baitul Ihsan B.I. dengan tema Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Seminar ini dimungkinkan berkat kerjasama CIPSI dengan BI. Seminar enam kali pertemuan ini disemarakkan oleh pemikir-pemikir terkemuka negeri ini yang menjadi pembanding saya dalam setiap pertemuannya. Beberapa seminar juga telah direncanakan dan kerjasama dengan lembaga lain juga telah digalang.
Selain kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan di atas, CIPSI juga telah memetakan bebrapa lahan potensial untuk penelitian-pemelitian intensif filsafat Islam di Indonesia di masa depan. Dan itu akan meliputi peneltian di bidang biografis, gnomologis, sains Islam, filsafat perenial dan filsafat Islam paska Ibn Rusyd. Diharapkan dengan kegiatan-kegiatan ini CIPSI akan memberi sumbangan yang signifikan dan menentukan bagi perkembangan dan masa depan filsafat Islam di negeri ini.
nice post, semoga bermanfaat :))
ReplyDelete